Mereka

Sultan Parikesit, Raja Terkaya yang Sengsara saat Orla dan Orba

person access_time 5 years ago
Sultan Parikesit, Raja Terkaya yang Sengsara saat Orla dan Orba

Foto: Majalah Pandji Poestaka, No. 57, Th. VI, 7 Juli 1928: 990-991.

Bermahkota sejak muda 
Berkuasa dan berharta 
Berakhir merana

Ditulis Oleh: Fel GM
Rabu, 21 November 2018

kaltimkece.id November adalah bulan yang sangat istimewa bagi Aji Muhammad Parikesit. Pada bulan inilah, sultan terakhir Kutai Kartanegara Ing Martadipura itu lahir, naik takhta, dan mangkat. Parikesit lahir pada 21 November 1895, tepat hari ini 123 tahun yang lalu. Nama lahirnya Aji Kaget. Ia putra mahkota Sultan Alimuddin atau cucu dari Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang tersohor. 

Parikesit berusia 15 tahun ketika sang ayah wafat. Namun, ia tak segera naik takhta karena belum cukup umur. Terdapat jeda 10 tahun yang harus dilewati Parikesit untuk menyelesaikan pendidikan di OSVIA, sekolah jurusan pemerintahan milik Belanda di Serang, Jawa Barat. 

Ketika berusia 25 tahun kurang sepekan, tepatnya 16 November 1920, barulah Parikesit diangkat. Ia menjadi sultan ke-19 Kutai, sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang begitu luas di Kalimantan Timur. Di bawah pemerintahan Parikesit, Kesultanan Kutai masih melintasi zaman keemasan. Salah satu penyebabnya adalah perjanjian antara kakek Parikesit, Sultan Aji Muhammad Sulaiman, dengan Belanda. 

Dalam perjanjian berisi konsesi minyak dan batu bara yang telah diperbarui, gaji sultan adalah 7.000 gulden per bulan. Jika merujuk harga emas pada tahun yang sama, gaji Sultan Parikesit sekarang setara Rp 518 juta sebulan. Pendapatan kesultanan juga bertambah dari biaya tahunan yang dibayar Belanda sebesar 30.500 gulden atau sekitar Rp 2,2 miliar. 

Dari semua angka itu, pendapatan terbesar sultan tentu saja dari royalti 5 persen konsesi minyak, batu bara, dan hutan di Kutai. Royalti ini dibayar oleh Belanda termasuk 16.500 gulden setahun sebagai hak atas tanah di sepanjang Sungai Mahakam. Dari uang tahunan itu, Belanda menerima kekuasaan mengendalikan seluruh pajak di kawasan sungai. Burhan Djabier Magenda dalam bukunya bertajuk East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy (1991) menulis, "Sultan Parikesit memiliki lebih dari 10 juta gulden (kira-kira Rp 740 miliar) sebulan untuk dibelanjakan." (hlm 16-21)

Kekayaan Sultan

Memiliki kekayaan luar biasa, Sultan Parikesit gemar menyalurkan minat pribadi. Hobinya dikenal mahal. Sultan mengoleksi mobil, perahu motor, dan speedboat. 

Sepenggal kehidupan Parikesit direkam seorang sarjana Amerika bernama William Otterbein Krohn yang mengunjungi Kutai. Krohn melahirkan buku berjudul In Borneo Jungles Among the Dyak Headhunters (1927). Di situ ditulis, istana Parikesit di Tenggarong berisi perabotan yang diimpor dari Eropa. Mulai tirai, tempat tidur, kanopi, permadani, karpet, meja, kursi, jam, hingga lukisan. Krohn melukiskannya dengan kalimat, "Seperti yang terlihat di istana megah di Wina." 

Sultan Parikesit juga memiliki satu kapal pesiar serta tiga mobil. Dua mobil dari pabrikan Amerika, satu mobil lagi jenama Eropa. Yang menarik, tulis Krohn, Sultan disebut tinggal di negara yang tidak memiliki jalan untuk kendaraan. Ada beberapa jalan setapak di desa, namun tidak cocok untuk mobil. Hanya sebuah jalan sempit, sekitar 600 meter panjangnya. 

Sultan pernah memerintahkan bawahannya membawa ketiga mobil bersamaan. Namun, jalur yang dilalui terlampau sempit sehingga tidak ada tempat untuk berputar. Pada saat seluruh mobil sampai di ujung jalan, satu per satu mobil memasang perseneling mundur untuk kembali ke istana. 

Sultan Parikesit amat terkenal di antara para sultan yang berkuasa di Hindia Belanda. Sebagai perbandingan, anggota kabinet Sultan Parikesit menerima gaji 3.500 gulden atau sekarang setara Rp 259 juta sebulan. Pejabat yang lebih rendah bisa mendapatkan 1.000 gulden atau Rp 74 juta sebulan. Pendapatan sedemikian bahkan lebih tinggi dari gaji para bangsawan Hindia Belanda. 

Kesohornya kekayaan Sultan Parikesit makin melambung setelah kesultanan meminjamkan uang kepada pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia. Pinjaman serupa turut diberikan kepada sejumlah kesultanan yang sedang kesulitan keuangan (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 1991, hlm 18). 

Puncak kejayaan Parikesit ketika merombak istananya. Enam belas tahun berkuasa atau pada 1936, Sultan mengganti istana kayu ulin di Tenggarong dengan bangunan dari beton yang dirancang arsitek bernama Estourgie. Pembangunannya melibatkan perusahaan konstruksi Belanda bernama Hollande Beton Maatschappij. 

Rakyat Biasa dan Masa Orde Lama

Pidato Parikesit yang luar biasa dalam sebuah rapat umum di Lapangan Kinibalu, Samarinda, pada 23 Januari 1950 menjadi permulaan. Secara terbuka di hadapan rakyat, Parikesit menyampaikan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menyetujui bentuk negara kesatuan untuk seluruh Indonesia (Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999, 2017).

Saat itu, pengaruh Hindia Belanda di Tanah Air telah berakhir setelah kedaulatan Republik Indonesia diakui dalam Konferensi Meja Bundar. Kondisi politik Indonesia berubah cepat dan dinamis. Pada 21 Januari 1960, Kesultanan Kutai Kartanegara resmi berakhir. Parikesit membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda serah terima kepada wali kota pertama Samarinda, Soedjono. Berakhirlah Permintahan Daerah Istimewa Kutai sekaligus keberadaan kesultanan yang telah berusia 659 tahun. 

Dari sultan yang berkuasa, bertakhta, dan kaya raya, Parikesit akhirnya menjadi rakyat biasa pada usia 65 tahun. Parikesit adalah rakyat Indonesia di bawah pemerintahan Orde Lama-nya Presiden Soekarno. Saat itu, Presiden tengah mencetuskan konsep nasakom --nasionalisme, agama, dan komunisme. 

Kehilangan takhta menjadi prahara bagi kehidupan Parikesit berikut anggota keluarganya. Pada pertengahan 1964 atau empat tahun setelah tak lagi berkuasa, Parikesit ditangkap angkatan bersenjata. Sultan bersama beberapa anggota kerajaan dimasukkan ke penjara. Bersamanya ada nama Gubernur Fomler dan Aji Pangeran Tumenggung Pranoto --gubernur pertama Kaltim.

Perintah meringkus para pejabat datang dari Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman, Kolonel Suhario Padmodiwiryo. Suhario adalah perwira muda dari pejuang angkatan 45 yang disebut-sebut dekat dengan Presiden Soekarno. Suhario menuduh para bangsawan Kutai mencoba menghidupkan kembali pemerintahan feodal atau swapraja. Para petinggi kesultanan disebut bekerja sama dengan pemberontak asing. Kaum ningrat, tuding Suhario, kurang membantu gerakan revolusi Presiden Soekarno (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 2010, hlm 62). 

Baca juga:
 

Setelah Parikesit ditahan di Balikpapan, Kolonel Suhario melanjutkan aksi penghinaan kepada bangsawan Tenggarong. Dia memerintahkan massa membakar pakaian kebesaran sultan di halaman keraton. Sebagian besar patung dan lambang kesultanan juga dibakar. Tiang bendera setinggi 30 meter dirobohkan. Suhario bahkan berencana membakar istana Tenggarong seperti halnya keraton Kesultanan Bulungan yang ia ratakan dengan tanah beberapa tahun sebelumnya (Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kertanegara, 2018). 

Namun, rencana massa membakar istana diketahui Gubernur Kaltim Abdoel Moeis Hassan. Sang gubernur yang namanya kini tengah diajukan sebagai pahlawan nasional itu segera mengirim polisi. Istana Tenggarong yang sekarang menjadi Museum Mulawarman pun terselamatkan. 

Orde Baru dan Wafatnya Parikesit

Orde Lama tumbang setelah peristiwa 30 September 1965. Parikesit telah dibebaskan. Namun, selama setahun ditahan, Parikesit kehilangan semua usahanya. Akhirnya ia harus menjual sebagian harta karena impitan ekonomi pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru. Pernah tersiar kabar, seorang Amerika mengangkut barang-barang antik dari Kutai dengan tiga helikopter. Majalah Tempo dalam laporan utamanya pada 1 Januari 1970 berjudul Parikesit, Sultan Terakhir sampai-sampai menulis, “Tapi (Parikesit) tak tahu dari mana mendapat makan. Karena itu, ketika ada orang mengerling pedang emasnya, tanpa tawar-menawar lagi dilego hanya dengan harga Rp 300 ribu.”

Parikesit sebenarnya sempat mencoba memulai usaha di sektor kehutanan. Pada 1967, izin pengelolaan hutan yakni hak pengusahaan hutan atau HPH mulai diterbitkan rezim Presiden Soeharto. Seperti saudara-saudara kandungnya, Parikesit mengajukan permohonan HPH. Tidak besar, hanya 50 hektare.

Masih dalam laporannya, Majalah Tempo menulis bahwa Gubernur Abdoel Wahab Sjahranie yang menerima permohonan itu. Parikesit meminta HPH di kawasan Bengalon, kini di Kutai Timur, yang sebelumnya memang hak kesultanan. Tunggu punya tunggu, tak ada hasilnya. Parikesit pun bertekad berangkat ke Jakarta. 

Begitulah, pada 1967, ia berhasil menemui Presiden Soeharto di Bina Graha. Kepadanya, Soeharto hanya berkata, "Wah, mengapa baru sekarang diajukan? Kenapa tidak dulu-dulu? Sekarang tidak ada lagi hutan yang baik untuk dikerjakan. Yah, sayang sekali, Pak Sultan ketika itu tidak bilang kalau sudah mengajukan sejak tahun 1967.” 

Baca juga:
 

Sampai beberapa tahun sesudahnya, HPH tersebut tak pernah diterima Parikesit. Ia merasa masygul karena kabar HPH itu telah tersiar di telinga masyarakat. Namun Parikesit tak pernah mengeluhkannya. Dia hanya berkata, "Mudah-mudahan kita semua tetap diberi petunjuk oleh Tuhan."

Tanpa mengejar HPH untuk pribadinya, Parikesit justru berusaha menyampaikan kesusahan rakyat Tenggarong yang dulu pernah dipimpinnya. Kepada Presiden Soeharto juga, Parikesit menyampaikan kritik. Sesuatu yang tidak biasa pada zaman Orde Baru. Kritik Parikesit waktu itu adalah masyarakat masih kurang mendapat perhatian. Listrik di Tenggarong, misalnya, baru dinikmati di rumah-rumah pejabat saja. Parit-parit kurang terurus, kebersihan lingkungan kurang terjaga. 

Akhir cerita, Parikesit hidup apa adanya. Memang, Presiden memberinya subsidi Rp 100 ribu  sebulan. Merujuk nilai dolar Amerika saat itu, besarnya sekarang sekitar Rp 2,8 juta. Bantuan disampaikan melalui Gubernur Sjahranie setiap tahun, saban 8 Juni yang bertepatan dengan kelahiran Presiden Soeharto. Tidak begitu jelas apakah bantuan itu pengganti izin pengelolaan hutan yang hilang. Terakhir, Parikesit menerima uang pensiun sebesar Rp 18 ribu sebulan atau sekarang Rp 500 ribu. 

Parikesit wafat dalam kesederhanaan pada 22 November 1981. Ia mangkat ketika berusia 92 tahun, meninggalkan 14 anak dan sejumlah cucu. Namanya telah diabadikan sebagai nama rumah sakit terbesar di Kutai Kartanegara. Nama yang serupa dengan salah satu tokoh pewayangan. Di Kalimantan Timur, Parikesit adalah raja terakhir kesultanan Kutai. Di dunia pewayangan, Parikesit juga raja terakhir pada zaman purwa menjelang 'masa baru' dari zaman madya. Bedanya, kisah hidup Sultan Parikesit nyata adanya, bukan lakon pewayangan belaka. (*)

Senarai Kepustakaan
  • Krohn, William O, 1927. In Borneo Jungles Among the Dyak Headhunters, Indianapolis: The Bobbs-Merrill Company.
  • Majalah Tempo, edisi 1 Januari 1972, Parikesit, Sultan Terakhir
  • Magenda, Burhan Djabier, 2010. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, Jakarta: Equinox Publishing.
  • Sarip, Muhammad, 2018. Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan, Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kartanegara, Samarinda: RV Pustaka Horizon.
  • Sarip, Muhammad, 2017. Samarinda Tempo Doeloe, Sejarah Lokal 1200-1999, Samarinda: RV Pustaka Horizon.

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar