Peristiwa

Dari Hari Jadi Tenggarong, Kebaikan Hati dan Kesetiaan Suku Lampong setelah Menerima Sultan Aji Imbut

person access_time 2 years ago
Dari Hari Jadi Tenggarong, Kebaikan Hati dan Kesetiaan Suku Lampong setelah Menerima Sultan Aji Imbut

Museum Mulawarman yang dulunya adalah keraton Kesultanan Kutai Kertanegara.

Sultan Aji Imbut tidak sendiri memindahkan pusat pemerintahan ke Tangga Arung. Ada peran penduduk Suku Lampong.

Ditulis Oleh: Aldi Budiaris
Selasa, 28 September 2021

kaltimkece.id Sultan Aji Imbut sedang menghadapi masalah pelik ketika baru naik takhta pada 1780. Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martadipura yang dipimpinnya tengah kerepotan menghadapi perompak dari Solok, Filipina. Gangguan penjahat perairan itu menyebabkan pusat pemerintahan di Pamerangan, Jembayan, kurang kondusif. Sultan Kutai ke-16 itu lantas mengumpulkan petinggi kerajaan. Ia mengadakan musyawarah dan meminta masukan.

Kepada Aji Imbut yang bergelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin, para tetua adat serta penasihat kerajaan menyampaikan sebuah usulan. Pusat pemerintahan, kata mereka, sebaiknya dipindah saja ke arah hulu Sungai Mahakam. Sekitar 25 kilometer ke hulu, terhampar sebuah tanah yang cukup datar bernama Tepian Pandan.

Sultan Aji Imbut yang berkuasa sekitar dua setengah abad silam itu mempertimbangkan masukan tadi. Di samping masalah perompak, Aji Imbut ingin menghilangkan kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado. Bagaimanapun, Aji Imbut duduk di takhta kesultanan setelah merebutnya dari tangan Aji Kado.

______________________________________________________________PARIWARA

Masukan tersebut akhirnya ditindaklanjuti Sultan Aji Imbut dengan mendatangi Tepian Pandan. Sultan Aji Imbut begitu puas setelah mengelilinginya. Dataran rendah yang luas cocok untuk permukiman. Bukit di utara dan selatan adalah benteng penting untuk mengintai kapal di Sungai Mahakam. Sebuah pulau yang membelah sungai menambah eksotis wilayah itu.

Akan tetapi, kawasan ini rupanya telah dihuni sebuah komunitas bernama Kedang Lampong. Kepala sukunya bernama Sri Wangsa. Kepada kepala suku, Sultan segera mengutarakan keinginannya bermukim di Tepian Pandan. Termasuk, memindahkan pusat pemerintahan, keluarga, berikut rakyatnya.

"Sri Wangsa selaku kepala Suku Lampong menerima permintaan itu dengan baik," terang Sekretaris Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martadipura, Awang Yacoub Luthman, kepada kaltimkece.id, Selasa, 28 September 2021.

Kisah kebaikan hati Sri Wangsa dari Suku Lampong ini, sebut Awang Yacoub, belum banyak diketahui khalayak. Oleh sebab itu, kesultanan ingin bagian ini dapat diklarifikasi agar menjadi warisan bagi generasi mendatang. Kesultanan juga segera bersurat dengan Pemkab Kukar agar peran Suku Lampong dalam pemindahan pusat kerajaan ke Tenggarong disertakan.

Kembali ke masa lampau, Aji Imbut akhirnya memindahkan pusat pemerintahan ke Tepian Pandan. Pemindahannya pada 28 September 1782, tepat hari ini 239 tahun yang lalu. Sri Wangsa menyambut Sultan Aji Imbut dengan gembira. Kepala Suku Lampong itu membangunkan sebuah rumah yang disebut Tangga Arung atau rumah raja. Dengan demikian, pusat kerajaan Kutai Kertanegara telah dua kali dipindah. Dari Kutai Lama (Anggana) ke Pemarangan (Loa Kulu) kemudian ke Tangga Arung (Tenggarong).

Awang Yacoub mengatakan, keturunan dari Sri Wangsa masih ada di Tenggarong sampai hari ini. Kesultanan menyatakan, tidak akan melupakan peran nenek moyang suku Lampong yang berperan membantu pembangunan ibu kota di Tenggarong.

Awang M Rifani adalah kerabat kesultanan sekaligus budayawan Kukar yang melanjutkan penjelasan. Wakil Rektor lll Universitas Kutai Kartanegara itu bilang, suku Lampong sebenarnya sebuah kerajaan kecil yang berbeda dengan Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martadipura.

Komunitas Kedang Lampong bermukim di daratan Tanjong Pagar, sekarang di sekitar Desa Loa Raya yang berseberangan dengan Mangkurawang. Letaknya kira-kira dua ribu depa ke darat dari tepi Sungai Mahakam. Kerajaan kecil ini bernama Dusun Danau Baru. Wilayah kekuasaannya ke hulu sampai Mangkurawang, Tepian Pandan, dan Pondok Labu. Sementara di hilir sampai Muara Kian, menyeberang ke Jongkang, mudik ke hulu Kampung Landap, Tanjong Pagar, Luah Durian, Luah Raya sampai ke Kampong Tiwau, Durian Kuburan, dan Pesopang, sebagaimana ditulis Awang Rifani dalam jurnal Meniti Jejak Penduduk Asli Tenggarong (2012, hlm 5).

Kerajaan yang dipimpin Sri Wangsa ini bersedia berbagi tanah dengan Sultan Aji Imbut. Mereka lantas membangun permukiman dan mendirikan pemerintahan bercorak Islam. Suku Lampong juga memilih berafiliasi dengan kesultanan.

Kerukunan inilah yang membentengi Tangga Arung dari berbagai marabahaya. Sri Wangsa bersama tiga panglima perang Kesultanan Ing Martadipura berhasil menjaga ibu kota kesultanan. Mereka mengusir perompak sampai melawan pemberontak yang ingin menghancurkan Tangga Arung. Ketiga panglima itu bernama Angga Pahlawan, Sri Setia, dan Sri Mangku Jagat, yang berdarah Lampong.

"Ketiganya setia kepada Aji imbut. Suku Lampong memang terbuka dan suka menolong," terang Awang Rifani.

______________________________________________________________INFOGRAFIK

Sejarawan Kaltim, Muhammad Sarip, menambahkan bahwa dalam aspek sejarah, komunitas Kedang Lampong mempunyai kontribusi signifikan dalam berdirinya Kota Tenggarong. Peran komunitas itu sudah ia tulis dalam bukunya bertitel Dari Jaitan Layar Sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara.

“Pimpinan komunitas Kedang Lampong beserta warganya berpartisipasi dalam menyediakan lokasi baru ibu kota Kesultanan Kutai Kertanegara,” jelas Sarip.

Sementara itu, Awang Rifani menilai, peran besar suku Lampong bagi Tenggarong mengandung banyak nilai baik. Mulai dari kedermawanan, kebaikan hati, kepahlawanan, dan kesetiaan. Selamat hari jadi, Kota Tenggarong. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar