PARIWARA

Mengejar Misi Zero Lost Time Accident Pupuk Kaltim

person access_time 5 years ago
Mengejar Misi Zero Lost Time Accident Pupuk Kaltim

Foto: Departemen Hubungan Masyarakat PT Pupuk Kaltim

Pupuk Kaltim membukukan 20.758.223 jam kerja aman tanpa kecelakaan hingga akhir Desember 2018. Misi K3 telah menjadi budaya.

Ditulis Oleh: PARIWARA
Rabu, 30 Januari 2019

kaltimkece.id Pupuk Kaltim terus berupaya meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 kepada karyawannya. Penerapan budaya ini menjadi acuan standardisasi kinerja aman menuju target Zero Lost Time Accident. Salah satunya melalui Survey Safety Culture, terkait penerapan standardisasi K3 di lingkungan Pupuk Kaltim.

Kegiatan tersebut diikuti karyawan grade satu hingga lima dari seluruh unit kerja. Dihadiri Tim Champion Safety Culture Pupuk Indonesia Grup, berlangsung di Ruang Mahoni Kantor Pusat Pupuk Kaltim, 29 Januari 2019.

Dikatakan Direktur Teknik dan Pengembangan Pupuk Kaltim Satriyo Nugroho, kegiatan tersebut adalah tindak lanjut program Safety Culture Pupuk Indonesia bagi seluruh anak perusahaan. Ajang ini juga dikhususkan menilai tingkat budaya K3 di Pupuk Kaltim.

Melalui survey, penerapan budaya K3 di seluruh unit kerja dapat terus ditingkatkan serta diperbaiki. Misi ini bertujuan mendukung kinerja serta performance perusahaan yang lebih baik. Karyawan pun diimbau menerapkan standar K3 di lingkungan kerja secara konsisten dan aktif.

“Dengan survey, kita dapat melihat sejauh mana tingkat budaya K3 di Pupuk Kaltim, agar target Zero Lost Time Accident mampu tercapai dengan baik,” kata Satriyo.

Baca juga:
 

Ia mengapresiasi kinerja karyawan yang sejauh ini menerapkan budaya K3 di lingkungan perusahaan. Pupuk Kaltim pun berhasil membukukan 20.758.223 jam kerja aman tanpa kecelakaan hingga akhir Desember 2018. Satriyo berharap capaian itu dapat ditingkatkan. Dengan demikian, produktivitas perusahaan dapat terdorong dari lingkungan kerja aman, nyaman, dan sehat.

“Jika budaya K3 terlaksana dengan baik, kasus kecelakaan dan penyakit akibat bekerja dapat ditekan. Biaya yang timbul akibat kasus tersebut juga bisa dihindari,” tambah Satriyo.

Rangkaian Level Budaya K3

Pengukuran Safety Culture Pupuk Kaltim dilakukan dengan kuesioner. Ada 18 item pertanyaan terkait penerapan K3 yang selama ini berjalan. Metode penilaiannya adalah scorecard. Kuesioner wajib diisi seluruh karyawan. Mulai top management, middle management, hingga pelaksana dan kontraktor.

Konsultan Health, Safety, and Environment (HSE) Indonesia Bambang Murtjahjanto, turut hadir dalam kesempatan tersebut. Ia menyampaikan, sebelum melaksanakan survei, wajib ada pemetaan posisi budaya K3 perusahaan sesuai acuan yang berlaku. Budaya K3 yang saat ini diterapkan perusahaan dunia, merujuk kepada Sheel dan Dupont dengan karakteristik masing-masing. “Perbedaan keduanya terletak di level budaya K3 yang diterapkan. Sheel memiliki lima level budaya K3, sedangkan Dupont hanya empat,” kata Bambang.

Level terbawah budaya K3, menurut Sheel, bersifat patologi. Pola ini bekerja tanpa standar dan penghitungan. Seluruh pekerjaan hanya didasarkan common sense. Tak ada usaha memetakan apa yang akan dilakukan terhadap standar. Pekerjaan memiliki risiko sangat tinggi.

Namun, jika perusahaan mulai menerapkan standar meski belum mencapai target, budaya K3 naik di level reaktif. Level ini menindaklanjuti kesadaran adanya penyimpangan. “Dua budaya tersebut tidak sesuai kaidah teknologi yang seharusnya,” kata Bambang.

Akan tetapi, jika perusahaan mampu memperbaiki standar dan berhasil naik di tataran batas, budaya K3 menanjak ke level kalkulatif. Saat seluruh perbaikan level kalkulatif melebihi standar, budaya K3 masuk tingkat proaktif, yang seharusnya mulai dikejar hingga level generatif. “Level generatif berupa penerapan standar yang saat ini dipakai, dibarengi berbagai upaya menumbuhkan standar baru di lingkungan kerja,” tambah Bambang.

Menurut Dupont, patologi dan reaktif adalah gabungan dalam satu level. Agar reaktif bergeser, perusahaan wajib melakukan perbaikan hingga level budaya dependent, yakni pengawasan atau supervisi kuat. Dengan demikian, tidak adanya penyimpangan dengan kondisi aman terlebih dulu bisa dipastikan.

Level selanjutnya, menurut Dupont, adalah budaya independent. Di sini karyawan mampu menerapkan serta memahami level dependent dengan baik, mulai dilepas secara perlahan. Dalam level selanjutnya, saat karyawan mampu melakukan sharing dan lebih generatif menimbulkan ide baru, budaya K3 perusahaan dikategorikan inter-dependent. Level ini berada di kategori tertinggi. “Untuk mencapai level budaya tersebut, perlu adanya Key Performance Indicator (KPI) sebagai target yang harus diperbaiki dengan memahami seluruh karakteristik yang ada. Upaya ini patut diterapkan secara baik dan konsisten di Pupuk Kaltim,” pungkas Bambang. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar