PARIWARA

Peliknya Masalah Penggiat Seni dan Kebudayaan Kaltim

person access_time 5 years ago
Peliknya Masalah Penggiat Seni dan Kebudayaan Kaltim

Foto: Fachrizal Muliawan (kaltimkece.id)

Kegiatan seni dan budaya kurang dapat dukungan. Tarkatung-katung karena dipandang sebelah mata.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Selasa, 16 April 2019

kaltimkece.id Untuk melindungi, memanfaatkan, dan mengembangkan kebudayaan Indonesia, pemerintah bersama Komisi X DPR RI mengeluarkan Undang-Undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan RI. Koordinator undang-undang adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Minggu, 14 April 2019, diselenggarakan Millennial Gathering. Mengangkat tema Pemajuan Kebudayaan di Era Revolusi Industri 4.0 di Pendopo Bupati Kutai Kartanegara, Tenggarong.

Hadir siang itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian dan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, Hilmar Farid. Berbagai permasalahan kebudayaan di Kaltim terkuak. Hetifah berharap Kukar bisa menjadi etalase Kaltim. Tak lepas dari identitas kabupaten yang kaya komunitas budaya seni.

Baca juga:
 

Hetifah sempat menyindir Hilmar soal pemberian bantuan terhadap komunitas-komunitas budaya di Indonesia. Pada 2018 hanya 10 komunitas budaya mendapat anggaran APBN. Tertinggal dengan daerah-daerah lain yang jumlahnya mencapai ratusan.

Sebagai contoh, Kaltara menerima 21 bantuan, Jawa Barat 204. Yang lebih miris, kampung budaya di Kaltim tak satupun menerima dari kementerian. Padahal, jumlah bantuan yang dialokasikan ada 459. “Miris sekali. Enggak mungkin dong di Kaltim tak ada kampung budaya,” ujar Hetifah.

Tantangan ke depan mesti ditanggapi. Perlu pengaturan yang lebih kondusif terhadap ekosistem untuk kemajuan kebudayaan. Dengan adanya Undang-undang Kemajuan Kebudayaan, berarti tugas legislasi jalan.

Menanggapi hal tersebut, Hilmar menuturkan bila Kaltim tak kurang mendapat bantuan. Namun kebanyakan lantaran masalah administrasi. “Dalam hal ini proposal, kurang lengkap dan bersuara,” ujarnya. Ketika pemerintah ada program, proposal jadi kunci disetujuinya bantuan.

Maka dari itu, Hetifah dan Hilmar merasa perlu adanya bimbingan teknis untuk permasalahan administratif. “Mulai proposal hingga laporan pertanggungjawaban,” ujar Hilmar. Penggiat kebudayaan di Kaltim didorong makin profesional. Baik dalam hal produksi hingga urusan administasi.

Bicara revolusi industri 4.0, permasalahan yang sering ditakutkan adalah masalah pemutusanhubungan kerja atau PHK. Bila sebelumnya pekerjaan tetap adalah hak yang dikerjar, pola pikirnya harus dibalik. Yakni dengan tetap bekerja. “Itu menjadi satu tantangan baru,” ujarnya.

Pada periode tersebut, bukan hanya pekerjaan bisa hilang. Perusahaan pun belum tentu bertahan. Contohnya produsen ponsel raksasa Nokia yang runtuh. Dengan pola pikir tetap bekerja, kata dia, pendidikan penambahan skill mesti dilakukan. “Maka kata kuncinya adalah kreatif. Juga realistis dengan keadaan,” ujarnya.

Nasib Pendidikan dan Penggiat Kebudayaan Kaltim

Tak selesai sampai acara diskusi, Hetifah dan Hilmar bertandang ke Rumah Budaya Kutai. Sebuah wadah komunitas-komunitas budaya di Kukar dan Kaltim berkumpul. Di sana mereka menerima realita yang dihadapi penggiat kesenian dan kebudayaan Bumi Etam. Salah satunya dari Dewan Kesenian Kaltim. Syafril Teha Noer, ketua Dewan Kesenian Kaltim, menuturkan bahwa tahun iniorganisasi tersebut tak mendapat anggaran APBD 2019. “Ada kesempatan dianggarkan dalam anggaran perubahan. Tapi tak boleh lebih Rp 200 juta,” ujarnya.

Syafril menyebut, realitas Dewan Kesenian kerap berada dalam ketidakjelasan. Menurut dia, cukup logis ketika birokrat terhalang produk hukum. Pasalnya, alas hukum Dewan Kesenian dikeluarkan 1981. “Yang notabene agak kedaluwarsa,” ucapnya.

APBN pun belum bisa mengucurkan. Terselamatkan oleh pembinaan yang diserahkan kepada gubernur. Dengan begitu, pembiayaan dikucurkan lewat APBD tapi tetap terbatas. “Dengan hadirnya Ibu Hetifah dan Pak Hilmar, kami berharap bisa mendengar realitas ini,” ujarnya.

Syafril menuntut kejelasan Dewan Kesenian. Entah penting atau tidak. Bila penting, jelaskan implementasinya. Kalau tidak penting pun mohon dijelaskan. “Supaya kami enggak maju kena, mundur kena,” ujarnya.

Institut Seni Budaya Indonesia atau ISBI Kaltim pun mengalami nasib nyaris serupa. Wakil Koordinator Rintisan ISBI Kaltim, Aji Eka Qamara, menilai kemungkinan terburuk mahasiswa ISBI akan dikembalikan ke Jogjakarta. Itu bila infrastruktur ISBI tak kunjung dibangun. “Hingga kini kami masih mengontrak gedung di area Museum Mulawarman,” ujarnya.

Tahun lalu, permasalahan ISBI adalah lahan. Akhir tahun lalu Pemkab Kukar sudah menyediakan lahan. Tapi hingga kini titik terang belum juga terlihat. “Bola justru berada di Pemprov Kaltim,” ujarnya.

Eka telah menghadap Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi. Dia menyebut satuan kerja di era pemerintahan sebelumnya sedang dirombak. Padahal, bila fasilitas tak kunjung selesai, mahasiswa juga kesulitan dalam kurikulum. Praktis, kurikulum hanya mengacu pusat mereka di Jogjakarta. “Mau enggak mau tenaga pengajar ini curi-curi dalam memberikan materi kearifan lokal,” ujarnya.

Menanggapi dua masalah tersebut, Hetifah menegaskan UU Pemajuan Kebudayaan bisa menjadi cantelan untuk legal standing Dewan Kesenian. Namun, mesti ada didahului komunikasi dengan Pemerintah Pusat. “Sebelum ke sana, ada baiknya bila Dewan Kesenian memunjukkan usaha konkret dalam bidang kesenian dan kebudayaan,” ujanrnya.

Pemerintah Pusat disebut bakal menganggarkan dana abadi kebudayaan senilai Rp 5 triliun. Dialokasikan dalam RAPBN 2020. “Ya karena judulnya dana abadi, baru bisa dinikmati setahun setelah dicairkan,” ucap Hetifah.

Skema dana abadi, setelah dicairkan, dana diendapkan dalam bentuk deposito. Nah, bunga deposito itulah yang akan dipakai. Sebagai gambaran, deposito sebesar Rp 5 triliun menghasilkan bunga sekitar Rp 300 miliar per tahun.

Sementara untuk ISBI Kaltim, Hetifah tak memungkiri Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi masih memandang sebelah mata sekolah tinggi berbasis seni dan budaya. Salah satu contoh, bila ada acara-acara rektor perguruan tinggi, pengelompokkan fakultas dan jurusan berbasis sains dan sosial sudah jelas. “Nah, budaya ini kadang enggak diberi slot jadi mesti bergabung dengan jurusan di luar kesenian dan budaya,” terang Hetifah.

Dengan tak diperhatikannya institut seni dan budaya, akhirnya banyak yang meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menaungi. “Agak susah juga kalau begitu,” ujarnya.

Hetifah siap memfasilitasi ISBI untuk menemui orang-orang berkepentingan di pusat. Selama ini, pemangku kepentingan di pusat kerap memilih sikap menunggu. “Tidak ada yang jemput bola atau mengawal program,” ucapnya.

Dukungan dari Senayan

Selain pengurus, pada Minggu sore Hetifah juga menemui mahasiswa ISBI. Baik yang sudah lulus, maupun masih mengenyam pendidikan. Pada mahasiswa didorong tetap fokus terhadap fasilitas kampus. Sedangkan para alumni, diharap bisa menyiapkan industrinya. “Biar nanti ada jawaban bila ada yang nanya, kuliah budaya lulus ,mau jadi apa?”

Meski begitu, sama seperti saran kepada Aji Eka Qamara, Hetifah mengajak para mahasiswa ISBI memperjuangkan kampus mereka. “Udah ada prestasi loh, sayang bila tak diperjuangkan. Saya siap jadi back up dari Senayan,” pungkas Hetifah. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar