Gaya Hidup

Mengenal Janda Bolong yang Sedang Naik Daun dan Bahaya Fenomena Monkey Business yang Menguntitnya

person access_time 3 years ago
Mengenal Janda Bolong yang Sedang Naik Daun dan Bahaya Fenomena Monkey Business yang Menguntitnya

Monstera adansonii atau janda bolong.

Harga jual janda bolong hingga ratusan juta adalah hal yang tak masuk akal.

Ditulis Oleh: Fel GM
Sabtu, 03 Oktober 2020

kaltimkece.id Tidak ada yang istimewa dari menjual tanaman hias bernama janda bolong kecuali yang satu ini; harga yang selangit. Janda bolong dijual mulai belasan juta, puluhan juta, hingga yang tidak masuk akal sekalipun, ratusan juta rupiah. Akademikus ilmu pemasaran menduga ada fenomena monkey business di baliknya.

Janda bolong yang punya nama ilmiah Monstera adansonii sebenarnya bukan tanaman hias tulen. Tumbuhan merambat dari daerah tropis di Amerika Selatan ini dikenal sebagai tanaman obat. Dalam publikasi ilmiah berjudul Medicinal Plants of the Guianas (2004), khasiat janda bolong tidak diperoleh dengan memakannya karena mengandung racun. Sebagian orang-orang lokal di tempat flora ini berasal menggunakan janda bolong hanya dengan mengoleskan air rebusan.

Monstera adansonii disebut dapat mengobati sengatan kalajengking dan gigitan ular di kulit. Ketika dioleskan, getah janda bolong menimbulkan sensasi terbakar. “Kadang-kadang digunakan juga buat mengobati tukak nekrotik (luka atau borok yang disebabkan matinya sel di permukaan kulit), abses (benjolan berisi nanah), dan nyeri di kulit,” tulis publikasi tersebut.

Tidak ada catatan bahwa janda bolong menjadi obat oral. Tanaman tersebut mengandung kristal kalsium oksalat. Ketika masuk ke mulut, zat beracun itu akan menimbulkan rasa seperti ditusuk ratusan jarum kecil di lidah dan tenggorokan. Kalsium oksalat memang bisa dipecah dengan memasak tanaman atau mengeringkannya. Namun demikian, orang-orang dengan keluhan rematik, asam urat, dan batu ginjal harus amat berhati-hati jika ingin memakannya (Encyclopedia of Herbs and Their Uses, 1995).

Janda bolong, alih-alih sebagai tanaman obat, akhirnya lebih banyak dijadikan tanaman hias. Bentuk tanaman dari keluarga Familia Aracae tersebut unik karena ada bolongan di setiap helai daunnya. Orang-orang Eropa menjuluki Monstera adansonii sebagai Keju Swiss atau tanaman lima lubang. Bolongan di daun dianggap mirip keju dari Swiss.

Monstera cocok digantung karena merambat. Akarnya menempel di tanah atau bahkan batu sehingga mudah dibudidayakan. Tumbuhan ini dapat merambat hingga ketinggian 4 meter. Janda bolong bisa tumbuh subur di lingkungan yang bercahaya cukup dengan tingkat keasaman tanah 5,5 sampai 7 --sedikit asam hingga netral (Swiss Cheese Plant Profile, artikel, 2020).

Keanehan dari Ilmu Ekonomi

Harga jual janda bolong yang baru-baru ini menembus langit ketujuh adalah sebuah keanehan. Kecuali bolongan di daun yang katanya indah, tanaman hias ini biasa-biasa saja jika dilihat dari sudut pandang ekonomi. Janda bolong mudah dibudidayakan sehingga tidak perlu biaya besar untuk merawatnya. Tanaman ini juga tidak berstatus langka karena banyak yang memeliharanya.

Pada dasarnya, menurut ilmu ekonomi, harga suatu barang ditentukan produsen berdasarkan tujuan bisnisnya. Jika produsen sedang mengadakan promo atau ingin menyaingi produk sejenis, harga bisa ditetapkan lebih rendah dari biasanya. Apabila produsen ingin menyasar pembeli bermerek yang sangat mementingkan gaya hidup, harga sengaja ditetapkan lebih tinggi tetapi masih masuk akal. Apapun tujuan produsen, penentuan harga pada dasarnya terbentuk dari biaya produksi, biaya pemasaran, dan laba. Lain tidak.

Ketika produk memasuki pasar, harga kemudian bisa berubah-ubah. Situasi ini dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan. Permintaan yang tinggi, bisa disebabkan karena pasokan produk terbatas, akan menaikkan harga. Permintaan yang tinggi bisa juga disebabkan karena suatu kondisi yang membuat produk tersebut diburu pembeli. Seperti halnya masker pada awal pandemi, harganya meningkat meskipun pasokan cenderung tetap.

Janda bolong bukanlah produk yang memerlukan biaya produksi besar apalagi hingga puluhan juta rupiah. Ia juga bukan tumbuhan langka. Tidak pula sedang dicari-cari karena kebutuhan yang mendesak. Dalam teori pemasaran yang lebih mendalam, sebagaimana disebutkan bapaknya ilmu pemasaran, Philip Kotler, harga berhubungan erat dengan nilai dan manfaat. Harga jual janda bolong, faktanya, tidak mengikuti konsep tersebut. Nilai produk yang konsumen dapatkan dari janda bolong tidak sesuai dengan puluhan juta rupiah yang dikeluarkan pembeli.

“Sesuai teori Kotler dalam konsep bauran pemasaran (produk, harga, distribusi, dan promosi), janda bolong ini sebenarnya menggunakan promosi untuk meningkatkan harga jual,” demikian Dr Jusuf Kuleh, akademikus ilmu pemasaran dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Samarinda.

Orang-orang yang berkepentingan di bisnis ini memakai strategi komunikasi terpadu atau integrated communication lewat isu 'lebih cepat kaya.' Tidak ada yang keliru dari integrated communication. Apple, sebagai contoh, berhasil menggunakan komunikasi terpadu ini untuk meningkatkan nilai produk.

Masyarakat sebenarnya mengetahui bahwa sebagian besar fungsi produk Apple seperti iPhone bisa ditemukan di Android. Namun demikian, harga iPhone cenderung lebih mahal dan orang-orang rela membayarnya. Apple berhasil meningkatkan kesadaran merek terhadap gaya hidup. Walaupun fungsinya sama dengan Android, iPhone dianggap bisa meningkatkan kelas sosial seseorang.

Tentu strategi komunikasi pemasaran Apple berbeda dengan isu 'lebih cepat kaya' ala janda bolong. Kuleh mengatakan, isu janda bolong menyeruak di tengah masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi dan psikologi pada masa pandemi. Pada masa inilah, banyak orang menyalurkan hobi merawat tanaman. Harga fenomenal janda bolong pun tidak masuk akal. Berbeda dengan iPhone yang walaupun mahal, tidak jauh-jauh dari harga ponsel-ponsel Android.

Memang benar bahwa ada beberapa produk berharga tinggi yang tidak sebanding dengan nilainya. Lukisan, perangko, atau mobil antik, adalah salah tiganya. Barang-barang koleksi seperti itu disebut produk yang dikecualikan. Harganya tinggi karena diburu kolektor. Para pembelinya adalah golongan tertentu.

Yang membedakan produk-produk koleksi di atas dengan janda bolong adalah motif dalam membeli. Kolektor membeli produk karena mencintai dan menyenangi barang tersebut. Mereka tidak lagi memikirkan uang saat membelinya. Sementara janda bolong dibeli bukan karena benar-benar dicintai atau disukai. Orang-orang memburunya karena motif ingin mendapatkan uang yang lebih besar ketika dijual nanti. Motif investasi.

Fenomena Monkey Business

“Fenomena monkey business sebagai praktik kotor pemasaran terindikasi dari janda bolong ini,” tegas Dr Kuleh.

Indonesia sudah punya banyak contoh fenomena monkey business. Menurut Kuleh yang mengajar mata kuliah ilmu pemasaran di Program Studi Magister Manajemen, gelombang cinta (Anthurium), batu akik, ikan arwana dan louhan, hingga burung love bird adalah sederet contoh nyata praktik bisnis monyet.

Menurut kamus Merriam Webster, monkey business adalah tindakan yang menipu atau menyimpang. Fenomena ini dikenal dengan kisah perburuan monyet yang telah diceritakan lewat beragam versi.

Syahdan, di sebuah desa, seorang pengusaha kaya datang dan meminta penduduk mencari monyet. Seekor monyet dihargai Rp 50 ribu. Warga yang antusias karena menganggap monyet adalah hama mulai mengadakan perburuan. Penduduk berhasil menangkap monyet dalam jumlah besar sehingga yang tersisa sedikit. Karena semakin langka, pengusaha tadi menaikkan harga seekor monyet menjadi Rp 100 ribu.

Warga semakin kesulitan mencari monyet dan pengusaha tadi menawarkan Rp 500 ribu per ekor. Selanjutnya, pengusaha tadi berkata akan pergi ke tempat lain karena suatu bisnis. Urusan perburuan monyet diserahkan kepada asistennya. Setelah pengusaha itu pergi, si asisten mengatakan kepada warga ada monyet yang terkurung dalam jumlah besar. Asisten tersebut menjual seekor monyet Rp 350 ribu. Warga nanti bisa menjual kepada pengusaha dengan harga Rp 500 ribu per ekor.

Baca juga:
 

Warga yang sudah terbayang-bayang akan keuntungan segera mengumpulkan uang. Tabungan mereka kuras untuk membeli monyet-monyet tersebut. Setelah seluruh persediaan monyet di kandang habis dibeli penduduk, asisten tadi diam-diam meninggalkan kampung tersebut. Pengusaha dan asistennya untung besar. Warga kehilangan hampir seluruh uang mereka.

“Salah satu ciri khas dari monkey business adalah isu yang digaungkan lebih banyak untuk investasi daripada fungsi,” jelas Kuleh. Isu yang lebih santer dalam pemasaran janda bolong adalah lebih cepat kaya karena harga janda bolong terus melambung (investasi) ketimbang sebagai tanaman hias atau obat (fungsi). “Isu itu cocok dengan karakter sebagian masyarakat kita.”

Bagaimana Seharusnya?

“Saran saya, pertama, jangan latah. Bisnis ini pasti hanya sementara. Kedua, pastikan tidak terlibat bisnis kotor ini. Jangan membeli secara membabi buta tanpa tahu risiko bisnis. Ketiga, percayalah bahwa tidak ada profit yang tinggi lewat cara instan,” saran Kuleh.

Kesimpulan dari monkey business, kata Kuleh, para pengusaha mestinya meningkatkan kesadaran moral serta membuat batasan dengan menjalankan good business. Ada etika bisnis yang buruk ketika menjalankan monkey business. Praktik bisnis kotor seperti ini hanya merugikan banyak pihak.

Pemahaman dan pelaksanaan etika berbisnis yang baik akan membawa suatu perusahaan ke arah manajemen bisnis yang baik. Dengan demikian, citra yang baik di mata semua orang bisa didapatkan. “Monkey business make some people like a monkey,” tutup Kuleh.

‘Bisnis monyet’ membuat sebagian orang seperti monyet. (*)

Senarai Kepustakaan
  • Brown, Deni, 1995. Encyclopedia of Herbs and Their Uses. Dorling Kindersley DK Publishing. 
  • DeFilipps, Robert A; Maina, Shirley L;  dan Crepin, Juliette; 2004. Medicinal Plants of the Guianas (Guyana, Surinam, French Guiana). Department of Botany National Museum of Natural History Smithsonian Institution: Washington DC. 
  • Kotler, Philip, dan Keller, Kelvin lane. 2016. Manajemen Pemasaran. Edisi 12, Jilid 1. PT. Indeks: Jakarta.
  • VanZile, Jon, 2020. Swiss Cheese Plant Profile, artikel The Spruce.

 

Temui kami di Instagram!

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar