Risalah

Angkatan Udara, Persaingan Bisnis, dan Kusutnya Angkutan Sepinggan

person access_time 5 years ago
Angkatan Udara, Persaingan Bisnis, dan Kusutnya Angkutan Sepinggan

Koordinator Kelompok Kerja 30, Carolus Tuah (ilustrasi: Danoo)

Kelompok Kerja 30 mendampingi para sopir yang diusir dari Bandara Sepinggan. Mereka adalah korban dari persaingan bisnis. 

Ditulis Oleh: Carolus Tuah
Selasa, 14 Agustus 2018

kaltimkece.id Sejak dua bulan silam, sekretariat Kelompok Kerja 30 menjadi tempat berkumpul para sopir. Sebagian besar mereka adalah sopir “panggilan,” pengemudi yang bekerja berdasarkan panggilan. Mereka biasanya mengantar atau menjemput pelanggan di Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan. Berjumlah 50-an orang, para sopir berasal dari Samarinda, Bontang, Sangatta, hingga Muara Wahau.

Sopir-sopir ini bukanlah taksi gelap yang biasa ngetem mencari penumpang di bandara lewat bantuan calo. Mereka bukan pula angkutan online. Beberapa sopir “panggilan” ini sudah puluhan tahun bekerja sehingga memiliki banyak pelanggan setia. Sekali lagi, mereka hanya menjemput, bukan mencari atau menunggui penumpang. Sampai di sini, tidak terlihat ada masalah. Logikanya adalah, di mana kelirunya seorang sopir menjemput tuan dan nyonyanya? 

Sampai masalah itu datang. Para sopir dilarang menjemput penumpang, kenalan, bahkan keluarga sendiri. Mereka diusir, dikejar-kejar di dalam bandara. Ponsel mereka diperiksa, kunci mobil ditahan. Beberapa sopir bahkan mengaku diperlakukan kasar. Tebak siapa yang merazia? Ya, anggota berseragam TNI Angkatan Udara. 

Hal itu membuat para sopir sempat tidak beroperasi. Para penumpang yang biasanya memakai jasa mereka mulai kebingungan. Yang terjadi kemudian, penumpang mau tak mau memakai angkutan “resmi” versi bandara seperti taksi dan minibus. Bagian “terbaiknya” adalah para penumpang memanfaatkan jasa “resmi” itu hanya untuk keluar dari bandara. Begitu di luar, para penumpang akan berpindah kendaraan. Ujung-ujungnya, ya, ke mobil para sopir tadi. Ada pula penumpang yang enggan memakai angkutan bandara. Mereka akhirnya memilih jalan kaki ke luar. Berjalan ratusan meter seraya menyeret barang bawaan di bandara berkelas internasional. Mereka berpanas terik di bandara milik publik sekaligus kebanggaan rakyat Kaltim.

Pokja 30 mendampingi para sopir dengan membawa masalah ini ke Komisi IV DPRD Kaltim. Pada rapat dengar pendapat bulan lalu itu, sebagian besar anggota dewan mengaku mengenal para sopir. Para anggota DPRD itu termasuk para penumpang yang sering memakai jasa kendaraan carter. Bahkan ada yang sudah menjadi langganan. 

Dari rapat dengar pendapat di DPRD Kaltim pula, masalah pengusiran dan razia dibahas. Diketahui bahwa TNI Angkatan Udara sebagai pihak yang merazia. Hal itu diakui oleh Komandan Pangkalan Udara yang hadir di rapat tersebut. TNI AU bergerak atas dasar bahwa bandara merupakan objek vital nasional.

Persaingan Bisnis

Mari mengupas yang terjadi di bandara. TNI AU, sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, berwenang mengamankan objek vital nasional. Pengamanan berupa operasi militer selain perang, sesuai bunyi pasal 7 ayat 2b butir kelima. Hal ini diperkuat dengan penandatanganan nota kesepahaman antara TNI dan Kementerian Perhubungan. Memorandum of understanding pada Februari 2015 itu berisi penegakan hukum oleh TNI di area bandara, stasiun kereta api, dan pelabuhan.

Apakah itu menjadi dasar bagi anggota TNI AU merazia para sopir? Bisa ya, bisa tidak. 

Ya, jika pemeriksaan atau razia bertujuan untuk sterilisasi area bandara dari ancaman, misalnya, aksi terorisme. Itu berarti, seluruh kendaraan baik umum maupun pribadi mesti dicek. Namun, jawabannya juga bisa tidak, jika, pemeriksaan hanya kepada para sopir penjemput. Dan inilah masalah yang mengemuka. Sangat kentara bahwa razia bertujuan mengusir para sopir yang kaitannya jauh sekali dengan keamanan objek vital nasional. Yang nampak di permukaan justru persaingan bisnis.

Bukan rahasia bahwa angkutan “resmi” bandara memiliki afiliasi dengan keluarga besar TNI AU. Salah satu jasa transportasi di bandara yang berbentuk koperasi, memiliki hubungan dengan militer. Memang benar bahwa sejak UU TNI disahkan, anggota militer aktif memang tidak boleh lagi berbisnis. Namun, bisnis melalui koperasi purnawirawan atau para istri, tidak dilarang. Demikianlah di Bandara Sepinggan dan banyak lapangan terbang yang lain di Indonesia. Terjadi konflik kepentingan karena penegak hukum terhubung secara tidak langsung dengan entitas bisnis di wilayah hukumnya. 

Inilah hulu dari permasalahan angkutan bandara. Di hilir, kehadiran para sopir yang sebagian besar warga Kaltim jelas mengganggu nikmatnya atmosfer bisnis tersebut. Padahal, ketika angkutan umum di fasilitas publik dikuasai segelintir golongan, yang terjadi adalah praktik monopoli atau oligopoli. Hukum ekonomi jelas bunyinya. Tanpa persaingan usaha, tanpa tarif dasar yang jelas, konsumenlah yang akan tertindas. 

Jalan Keluar

Kembali ke pendampingan Pokja 30, ruang-ruang diskusi akhirnya terbuka. PT Angkasa Pura I sebagai pengelola bandara bersedia menerima para sopir. PT Angkasa Pura I juga memastikan tidak ada lagi razia. Kecuali masih ada yang diperiksa, kemungkinan besar adalah angkutan gelap. “Taksi” pelat hitam yang memang ngetem di bandara dan menggunakan calo.

PT Angkasa Pura I juga merangkul para sopir agar lebih profesional dan sejalan dengan aturan. Para sopir diminta membangun badan usaha agar bisa ikut dalam persaingan bisnis angkutan bandara. Ini langkah maju. Lewat koperasi, legalitas para sopir akan terjamin. Keputusan ini sekaligus jawaban bahwa masyarakat kecil pun berhak dan berkesempatan berusaha.

Baca juga: Risalah Carolus Tuah: Menilai Cara Isran Berdebat dengan Akal Sehat

Tentu saja, langkah PT Angkasa Pura I itu turut positif bagi TNI AU. Begitu pula respons Pemerintah Kota Balikpapan melalui pemimpinnya, Rizal Effendi, yang ikut mengawal permasalahan ini setelah viral di media sosial. Beruntunglah kita hidup pada era digital. Suara konsumen yang tertekan bisa segera digaungkan di ruang publik. Tak bisa dibayangkan jika peristiwa penumpang berjalan kaki ke luar bandara terjadi di Orde Baru. Respons pemerintah dan publik tentu tak sebegininya. 

Kehadiran para sopir “panggilan” di bandara Sepinggan juga akan membawa banyak hal baik. Semakin banyak jasa angkutan di bandara, stigma penguasaan pasar dan konflik kepentingan oleh TNI AU segera sirna. Lagi pula, para sopir, toh, rakyat Indonesia pula. Dan bukankah bersama rakyat, TNI kuat? (*)

Penulis adalah Koordinator Pokja 30. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis.

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar