Risalah

Mewawancarai Habib Luthfi bin Yahya, Pemimpin Sufi Sedunia

person access_time 1 year ago
Mewawancarai Habib Luthfi bin Yahya, Pemimpin Sufi Sedunia

Penulis (kanan) bersama Habib Luthfi bin Yahya di kediamannya di Jakarta. FOTO: ARSIP PRIBADI

Ulama yang disegani ini memiliki informasi yang berkelindan dengan sejarah Islam di Kalimantan Timur. Penulis berkesempatan bertemu muka dan mewawancarainya. 

Ditulis Oleh: Muhammad Sarip
Sabtu, 20 Mei 2023

kaltimkece.id Puluhan tamu sedang mengantre. Mereka berasal dari berbagai daerah. Ada politikus dan pengusaha. Sejumlah tenaga pengamanan sipil berjaga di sebuah rumah Duren Sawit, Jakarta Timur. Tuan rumahnya adalah seorang ulama yang disegani tak hanya di Indonesia tapi juga di lingkup global. Namanya Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thaha bin Yahya Ba’alawi Al-Husaini. Sosok pemimpin Forum Sufi Sedunia ini dikenal dengan nama singkatnya, Habib Luthfi bin Yahya. 

Protokol kenegaraan melekat kepada tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini. Ia menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Republik Indonesia. Pemerintah Kota Samarinda melalui Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menugaskan saya untuk menemui Habib Luthfi. Saya mesti mewawancarai Habib Lutfhi untuk mengklarifikasi sebuah soal sejarah Islam di Kalimantan Timur. 

Di Desa Kutai Lama, Kabupaten Kutai Kartanegara, terdapat makam Tuan Tunggang Parangan. Tokoh ini merupakan ulama yang mengislamkan Raja Kutai Kertanegara pada abad ke-16. Dakwah Islam kemudian tersebar di kawasan timur Kalimantan, terutama di daerah pesisir Kutai. Penduduk Samarinda yang kala itu masih berwujud komunitas kampung-kampung juga termasuk yang menerima Islam sebagai agama barunya.

Sejarah Tuan Tunggang Parangan tercatat dalam naskah Arab Melayu Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. Naskah ini populer dengan nama ringkasnya yakni Salasilah Kutai. Namun, naskah klasik ini tidak menyebutkan siapa nama sebenarnya dari tokoh yang bergelar Tunggang Parangan. Dalam Salasilah Kutai, diceritakan hikayat mubalig tersebut menunggangi ikan parangan—satwa perairan sejenis hiu gergaji—di Sungai Mahakam ketika tiba di Kutai.

Lantas, ilmuwan Constantinus Alting Mees dalam buku disertasinya yang berjudul De Kroniek van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting (1935, hlm 54) memberi interpretasi. Bahwasanya, sang ulama tersebut tidak secara harfiah menunggangi ikan parangan. Ia menaiki sebuah perahu yang ujungnya lancip seperti moncong ikan parangan.

Di makam Tunggang Parangan, terpasang papan nama bertuliskan Habib Hasyim bin Musaiyah. Sementara itu, saya juga menemukan empat klaim versi nama Tunggang Parangan. Semua versi saya himpun dalam naskah buku yang difasilitasi penerbitannya oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Samarinda.

Petunjuk asal-muasal nama Habib Hasyim bin Musaiyah saya peroleh dari seorang mantan pejabat Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kutai Kartanegara. Eks pejabat ini, dua dekade silam, melaksanakan kegiatan pemugaran makam Tunggang Parangan. Mengenai riwayat Tunggang Parangan, saya disarankan bertanya kepada Habib Luthfi.

Dengan bantuan orang kepercayaan Wali Kota Samarinda, saya dicarikan jadwal bertemu ulama kelahiran Pekalongan tersebut. Akhirnya saya tiba di kediaman Habib Luthfi pada Senin, 15 Mei 2023, sekitar pukul sembilan malam. Setelah menunggu sekitar 40 menit di ruang tengah rumah, saya masuk kamar privat figur pemimpin Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) itu. Habib Luthfi mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang putih. Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah itu tidak memakai peci dan serban ataupun atribut formal keulamaan lainnya seperti yang dilakukan di ruang publik.

Saya mulai dengan perkenalan diri dan menerangkan maksud serta tujuan wawancara. Saya perlu mendapatkan data dari sumber Habib Luthfi yang telah mengekspos nama Habib Hasyim bin Musaiyah sebagai nama asli Tuan Tunggang Parangan. Jika saya hanya mengambil sumber dari papan nama di makam, sumbernya anonim dan relatif lemah sebagai data sejarah.

Dengan mewawancarai Habib Luthfi, saya mempunyai sumber lisan yang otoritasnya cukup valid berbicara tentang silsilah tokoh penyebar Islam di Kepulauan Nusantara. Nama dan nasab Tuan Tunggang Parangan, menurut ulama pendiri organisasi kemasyarakatan Petanesia (Pecinta Tanah Air Indonesia), adalah Hasyim bin Musaiyah bin Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Yahya bin Hasan bin Ali bin Alwi bin Ali bin Muhammad Muladawileh bin Muhammad Faqh Muqoddam bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbat bin Ali Kholi Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-‘Uraidi bin Jafar Shadiq bin Muhammad Al-Baghir bin Ali Zainal Abidin bin Husein Assibt (cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) bin Ali bin Abi Thalib. 

Saya juga meminta pendapat Habib Lutfhi mengenai perbedaan narasi daerah asal Tuan Tunggang Parangan. Benarkah dari Hadramaut-Yaman? Ataukah dari Minangkabau? Atau malah dari Aceh? Jawabannya ada dalam buku yang segera terbit berjudul Tuan Tunggang Parangan: Sejarah Islam di Timur Kalimantan Abad XVI. (*)

Ditulis oleh Muhammad Sarip, Sejarawan Publik

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar