Risalah

Sumirnya Akurasi Tingkat Kematian Covid-19 dan Pertaruhan Berbahaya Pemda Mengambil Kebijakan

person access_time 4 years ago
Sumirnya Akurasi Tingkat Kematian Covid-19 dan Pertaruhan Berbahaya Pemda Mengambil Kebijakan

Kapal Diamond Princess, lokasi sempurna untuk melihat penyebaran Covid-19 sesungguhnya.

Ditulis oleh Rian Hilmawan PhD, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman.

Ditulis Oleh: .
Selasa, 31 Maret 2020

kaltimkece.id Suatu malam di Bergamo, Provinsi Lombardy, wilayah timur laut Italia, kerumunan penduduk merayakan kemenangan klub sepak bola kebanggaan mereka. Atalanta, nama klub itu, adalah sebuah klub semenjana yang secara mengejutkan melaju ke babak 16 besar Liga Champions. Lawannya adalah Valencia dari Spanyol yang mereka jinakkan dengan skor 4-1. 

Kalender menunjukkan hari ke-19 dalam bulan Februari 2020. Hampir sepertiga dari populasi Bergamo bergerombol. Tidak sekadar berkerumun masif, mereka berpelukan, menari-nari, dan berciuman. Semua telah larut dalam kegembiraan. Sedikitnya, 10 ribu orang turun ke jalan, berkumpul, dan berdekatan.

Empat puluh hari kemudian, pada 31 Maret, dilaporkan 1.969 orang meninggal di kota itu. Penyebab dari kematian massal ini adalah coronavirus disease 19 atau Covid-19. Virus ini kali pertama kali menginfeksi penduduk di wilayah Wuhan, Tiongkok.

Covid-19 sudah menyebar hampir di 180 negara. Total terkonfirmasi positif corona sebanyak 785 ribu orang dengan jumlah kematian hampir 38 ribu. Data ini, menurut John Hopkins University, dikumpulkan sampai 31 Maret 2020. 

Selanjutnya, muncul dua pertanyaan. Pertama, benarkah virus ini begitu mematikan? Kedua, seberapa akurat tingkat kematian atau fatalitas yang dibawa oleh virus tersebut?

Reliabilitas Data Seputar Tingkat Fatalitas 

Organisasi kesehatan dunia, WHO, merilis data fatality rate akibat Covid-19 sebesar 3,4 persen. Sementara Pemerintah Indonesia mencatat tingkat fatality hampir 9 persen. Apakah persentase kematian ini mencerminkan akurasi pengukuran atau reliabilitas data yang sesungguhnya dari angka mortalitas?

Persentase ini sebenarnya diperoleh dari sekadar membagi jumlah orang yang meninggal (total deaths) dengan mereka yang terinfeksi. Dengan demikian, angka ini adalah estimasi kasar sehingga tingkat fatalitasnya tinggi. Ketidakpastian terbesar sebenarnya adalah memperoleh data reliabel yang mencerminkan jumlah terinfeksi dalam suatu populasi.

Sejumlah fakta menunjukkan, mereka yang terinfeksi positif Covid-19 beriwayat asimptomatis alias tanpa gejala. Sebagian yang lain memiliki gejala yang relatif moderat sehingga sangat sulit membedakan gejala itu dipicu virus SARS-Cov-2, influenza, flu, atau penyakit lain. Mayoritas bahkan tidak merasa perlu dirawat atau sukarela memutuskan untuk dites karena merasa tidak terekspos.

Jadi, yang kita ketahui mengenai jumlah yang terinfeksi ini sebenarnya seperti fenomena gunung es. Kondisi yang demikian memungkinkan bahwa fatality rate Covid-19 bisa jauh lebih kecil dari 8 persen (di Indonesia), atau di bawah 3,4 persen (di dunia). Bahkan, tingkat kematian ini juga bisa berada antara 0,1 hingga 1 persen, sebagaimana kalkulasi Profesor John Ionidis dari Stanford University dan beberapa tim peneliti dari Imperial College London, Inggris.

Untuk mengetahui seberapa berbahaya virus ini kepada tingkat mortalitas, idealnya diperlukan data dengan kondisi semua orang dalam populasi dites Covid-19. Cara ini dapat dengan akurat menggambarkan jumlah orang dalam sebuah populasi yang terinfeksi. Tapi tentu saja, pengujian secara agresif ini sangat sulit ketika suplai alat tes ini dibatasi.

Sebagai alternatif, pengujian sampel secara acak (randomised general sample) yang representatif dapat dipilih. Hasil datanya dapat diperluas di luar yang tersedia namun tetap mengikuti pola kecenderungan dari data yang tersedia itu. Dengan kata lain, dilakukan ekstrapolasi jumlah orang yang terinfeksi dalam suatu populasi.

Keadaan ini pernah dibuktikan beberapa peneliti menggunakan populasi di Kapal Diamond Princess sesaat setelah kapal tersebut dikarantina di perairan Jepang pada awal Februari lalu. Kapal Diamond Princess adalah eksperimentasi ideal untuk pengujian. Lokalitas orang yang terinfeksi tidak dapat keluar sementara mereka yang tidak terinfeksi terpaksa hidup berdampingan dengan yang terinfeksi. 

Hasilnya adalah tingkat infeksi mencapai hampir 20 persen. Angka ini mengindikasikan tingkat penularan sangat tinggi. Dari 20 persen yang terinfeksi, 1 persen dinyatakan meninggal. Data ini sempurna untuk memberikan informasi akurat menyangkut tingkat fatalitas dari hampir setiap orang dalam populasi kapal tersebut.

Adapun 1 persen yang meninggal itu, berasal dari populasi usia lanjut dengan umur rata-rata adalah 50 tahun dengan median 65 tahun. Kesimpulannya, kelompok usia tua memiliki risiko tinggi, kelompok usia muda berisiko lebih rendah, anak-anak alih-alih memiliki tingkat risiko sangat kecil.

Namun begitu, terbesit pertanyaan; mengapa Italia begitu menderita akibat penetrasi virus ini? Pada kasus di Italia, ada banyak faktor yang berpengaruh. Negara raksasa sepak bola Piala Dunia ini secara umum memiliki demografi penduduk usia tua tertinggi di Eropa, bahkan salah satu yang tertinggi di dunia.

Berdasarkan data yang telah dirilis, rata-rata kematian di Italia adalah mereka yang berusia 61 tahun. Situasi ini relatif mirip dengan sampel populasi terdampak di kapal Diamond Princess. Faktor-faktor lain boleh jadi turut berkontribusi. Penduduk Negeri Menara Pisa memiliki sejarah merokok yang sangat kuat dengan level tinggi untuk penyakit koroner jantung. Kapasitas kamar intensive care unit (ICU) per populasi di Italia juga rendah. Selain itu, epidemi influenza pada musim dingin mungkin bisa menjadi determinan yang lain.

Pelajaran Pandemi Global bagi Daerah

Berkaca dari peristiwa global ini, keputusan pemerintah daerah secara cepat dalam menangani pandemi Covid-19 patut diapreasiasi. Meskipun demikian, keputusan yang dibuat atas dasar kepanikan, rumor, dan tekanan masyarakat tanpa didasari data-data yang reliabel, dapat memperparah keadaan.  

Isolasi setiap orang di rumah dan menerapkan lockdown total mungkin merupakan cara efektif mencegah penularan. Namun, opsi ini menyisakan banyak konsekuensi. Dengan kultur masyarakat seperti Indonesia, lockdown berkonsekuensi mayor terhadap ekonomi. Jika ekonomi runtuh, ada ledakan pengangguran, peningkatan drastis angka kemiskinan, dan kebangkrutan usaha level mikro hingga menengah.

Periode lockdown yang panjang juga menimbulkan disrupsi ekonomi dan sosial yang masif. Hal ini akan berdampak kepada memburuknya kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan, prevalensi kasus serangan jantung, bahkan mungkin potensi bunuh diri. Akumulasi dari semua itu bisa jadi berkontribusi lebih banyak kepada kematian dibandingkan tingkat fatalitas dari virus Covid-19.

Kita sedang menghadapi ancaman dengan data yang sangat terbatas. Kepemimpinan yang tepat pada era krisis memang tidak mudah. Kedisiplinan dan persiapan adalah kunci karena kita tidak mengetahui seperti apa puncak epidemi ini dan seberapa tinggi ia akan berjalan.

Ada beberapa strategi yang perlu dilakukan. Pertama, kelompok populasi usia tua atau di atas 60 tahun, kelompok dengan riwayat penyakit pernapasan kronis dan masalah imunitas, adalah populasi yang paling rentan mengalami kematian. Kepada mereka, pemerintah harus memastikan perlindungan dan sedapat mungkin tetap di rumah.

Kedua, menerapkan strategi eradikasi pandemi dengan memastikan perilaku hidup sehat dan bersih, memastikan imunitas tubuh terjaga, dan memastikan psikologis tidak panik. Bukan hanya membantu menghindari atau memaksimalkan kemampuan antibodi dalam melawan virus Covid-19, cara ini dapat menangkal serangan virus yang lain. Secara keseluruhan, langkah ini berdampak positif mengurangi angka prevalensi sakit masyarakat sehingga sistem kesehatan dan fasilitas rumah sakit tidak overload.

Ketiga, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keuntungan. Ruang gerak penularan penyakit sangat dipengaruhi faktor geografis. Strategi menjaga ketat perbatasan mungkin efektif dalam mengurangi risiko virus memasuki wilayah kita. Namun demikian, perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati. Ada konsekuensi penurunan kegiatan ekonomi secara drastis. 

Pemerintah daerah harus siap memastikan kebutuhan primer terjaga. Dalam situasi krisis, semua orang akan kembali ke basic need-nya. Kemudian, terhadap pelaku ekonomi dan masyarakat miskin yang terdampak karena kehilangan pendapatan, pemerintah harus memiliki skema kompensasi.

Pemenuhan kebutuhan dasar secara cepat dan tepat sasaran harus dilakukan. Mungkin ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, terutama di era krisis saat ini. Namun, berbagai skema bantuan sosial, transfer kas langsung, dan pendataan masyarakat miskin, telah kita miliki sebelumnya. Modal tersebut dapat mempercepat proses alokasi berdasarkan tingkat estimasi. (*)

(Penulis menamatkan pendidikan dari Department of Economics and Finance, University of Canterbury, New Zealand, awal 2020, sebelum negara di Samudra Pasifik itu lockdown. Mendalami isu-isu pembangunan dengan metode pemrograman ekonometrika, quasi experiment, dan analisis spasial).

Editor: Fel GM

Catatan redaksi: isi artikel ini sepenuhnya tanggung jawab penulis. 

Baca juga ulasan mendalam kami yang lain:
 
Ikuti berita dan ulasan berkualitas kaltimkece.id dengan menyukai halaman Facebook kami berikut ini:

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar