SASTRA

Potret Industri-Kesenian dari Kaca Mata Dua Seniman Kondang yang Bertandang ke PKT Bontang

person access_time 2 years ago
Potret Industri-Kesenian dari Kaca Mata Dua Seniman Kondang yang Bertandang ke PKT Bontang

Suwarno Wisetrotomo, seniman grafis.

Industri dan kesenian adalah dua dunia dengan karakter berbeda. Bagaimana potret hubungannya di mata Suwarno Wisetrotomo dan Joko Pinurbo?

Ditulis Oleh: .
Senin, 20 Juni 2022

kaltimkece.id Tigapuluhan pelukis dan penyair dari berbagai kota di Indonesia, termasuk Balikpapan, Samarinda, dan Bontang, mengadakan riset-observasi di dan sekitar PKT Bontang. Acara tersebut berkenaan dengan program yang diinisiasi budayawan Butet Karteradjasa atas fasilitasi direksi perusahaan pupuk terbesar di Asia Tenggara itu. 

Pada 5 sampai 8 Juni 2022, para seniman tersebut melihat dari dekat proses produksi pupuk. Kunjungan tersebut merupakan reaksi kreatif atas ‘kecurigaan’ hubungan berjarak dan saling memunggungi antara industri dan kesenian. Para pelukis dan penyair juga menjenguk alam dan masyarakat sekitar pabrik. Mulai hutan bakau di Bontang Mangrove Park hingga kehidupan nelayan di perkampungan atas laut Malahing.

Respons atas apa saja yang nampak dan terasa selama tiga hari di Bontang itu mereka tuangkan dalam karya seni. Sketsa-sketsa gambar dan ‘draf’ puisi yang hari-hari ini, di tempat masing-masing, tengah diolah menjadi lukisan dan muatan antologi puisi yang dipamer-luncurkan di Bontang, Desember tahun ini.

Bagaimana potret hubungan industri-kesenian sejauh ini, serta idealnya berdampingan isi-mengisi? Berikut wawancara jurnalis senior di Kaltim, Syafril Teha Noer, dengan seniman grafis dari Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo (SW), serta penyair kesohor Tanah Air, Joko Pinurbo (JP). Keduanya tempo hari ikut ke Bontang sekaligus menjadi kurator dalam pameran lukisan dan penerbitan antologi puisi yang memuncaki kegiatan itu nanti.

Interaksi industri dengan seniman --seperti yang tempo hari terjadi di PKT atau dulu di Pertamina-- lazim atau langka?

SW: Secara umum tidak langka tetapi belum lazim. Selain Pertamina, PT Djarum pernah membuat lomba patung publik untuk kompleks industri dan kantor di Kudus. Phillip Morris dan Gudang Garam bekerja sama dengan Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI) membuat kompetisi seni rupa. Ada pula Bank UOB dan Bank Mandiri. PKT di Bontang menambah daftar contoh itu.

JP: Sepintas mungkin terasa tidak lazim mempertemukan dua dunia dengan dua karakter yang berbeda. Dunia industri cenderung diasosiasikan sebagai dunia yang mengabdi kepada nilai-nilai pragmatis-ekonomis. Dunia seni adalah dunia yang digerakkan oleh nilai-nilai idealistis. 

Namun, justru di situlah tantangannya. Dapatkah keduanya saling mengisi? Dapatkah industri tetap menghargai sisi-sisi manusiawi manusia supaya manusia tidak sekadar menjadi bagian dari mesin? Sebaliknya, dapatkah dunia seni mengembangkan aspek ekonomi demi kelangsungan hidup para pelakunya? Itulah yang tempo hari kita coba dengan program PKT Menyapa Budaya (PMB) di Bontang. Kita lihat perkembangannya nanti.

_____________________________________________________PARIWARA

Apa artinya itu bagi kesenian dan kebudayaan secara umum?

SW: Saya melihat hal itu penting dan positif bagi tiga pihak; industri, seniman, dan masyarakat. Bagi industri, penting memerhatikan kesenian/seniman untuk investasi kebudayaan agar para pegawai dan masyarakat sekitar terasah dimensi kemanusiaannya. Terbangun citra positifnya. Bahwa industri tak hanya soal keuntungan ekonomi. 

Bagi seniman, sangat berarti karena mendapatkan dukungan nyata, meluaskan jaringan, menambah perspektif untuk memperkaya ide-ide. Bagi masyarakat, penting karena mendapatkan oase kehidupan melalui kesenian, sejauh masyarakat sekitar memiliki kesempatan dan kemudahan akses. 

Sebetulnya industri ‘ramah budaya’ seperti apa yang ideal bagi kesenian-kebudayaan kita? Tidakkah industri, dengan pabrik-pabrik yang relatif tertutup, hanya akan berbuat untuk dirinya, atau manusia di lingkungannya sendiri, seramah apapun dia kepada kesenian-kebudayaan? Dus, tetap berjarak juga dari masyarakat heterogen di sekitarnya?

SW: Ketika ‘keramahan’ (kerja sama dalam berbagai bentuk dan model) itu berkesinambungan, sistemik, tidak sporadis, bergantung selera sesaat. Karena sistemik, maka diperlukan tata kelola, pengelola, konsep, fasilitas, terbuka bagi publik (tanpa mengganggu kinerja industri), dan berpotensi “menggerakkan” masyarakat. Menggerakkan dalam pengertian menjadi pemicu kreativitas dan produktivitas. Jangan lupa, kesenian, praktik seni, dan karya seni berpotensi menggerakkan kreativitas lingkungan, masyarakat, kesadaran, dan membangun saling-pengertian antarpihak.  

Saya tidak pernah memikirkan atau membayangkan kesenian dapat menjangkau masyarakat seluas-luasnya. Kesenian selalu “terbatas” menjangkau penonton atau penggemarnya. Jika industri mampu menciptakan “kantung kesenian” di sekitarnya, memberi dukungan kepada aktivitas seni budaya, menjadi jembatan penghubung dengan beragam pemangku kepentingan (stake holder), mendukung program-program institusi kesenian (misalnya dewan kesenian setempat, festival-festival, pameran seni rupa, pertunjukan seni, dan sebagainya), itu sudah sangat memadai. 

Jika itu terjadi, pasti terjadi hubungan mesra antara dunia industri dengan masyarakat sekitar, atau bahkan dengan warga bangsa, melalui aktivitas seni-budaya.  

JP: Ini pertanyaan bagus. Dengan sumber daya yang dimilikinya, perusahaan atau badan usaha seperti PKT dimungkinkan berkontribusi menggerakkan kegiatan literasi dan kesenian masyarakat di sekitarnya. Bukan hanya membangun “rumah budaya” untuk lingkungannya sendiri. 

Bayangan terjauh saya adalah, bahwa pada suatu saat nanti, Bontang tidak hanya menjadi kota industri melainkan kota budaya. Kota yang menarik dikunjungi para pelaku dan penikmat seni serta masyarakat dari berbagai penjuru daerah. Semacam destinasi wisata seni ala Yogyakarta, kira-kira begitu. Lebih-lebih dengan pembangunan IKN di Kaltim, makin relevanlah menjadikan Bontang sebagai salah satu poros kegiatan seni dan literasi.

Butet Kartaredjasa melibatkan juga pelukis-penyair asal Kaltim dalam even di Bontang tempo hari. Apa yang secara spesifik Anda lihat dari mereka, dibandingkan para sejawat dari kota-kota lain, terutama Jogja dan Bali atau Jakarta yang seakan terlanjur jadi barometer?

SW: Membandingkan secara generik seniman dari Jogja, Jakarta, Bandung, atau Bali dengan teman-teman dari kota-kota di luar Jawa, saya pandang kurang proporsional. Kota seperti Jogja, atau Jakarta, misalnya, tak terelakkan menjadi “pusat” kelahiran, perkembangan, gerakan, praktik seni dan wacana seni rupa di Indonesia yang sangat dinamis. 

Berbagai peristiwa seni penting di Jogja, misalnya Jogja Biennale, ArtJog, Festival Kebudayaan Yogyakarta, Nandur Srawung, Yogya Open Studio, termasuk event lainnya, merupakan ruang kontestasi yang riuh, penuh, yang menantang. Implikasinya merupakan arena pertarungan kreatif, artistik, dan estetik. Ruang-ruang seperti Bentara Budaya, Sangkring Art Space, Sarang Building, Kersan Art Studi, Tembi Rumah Budaya, Institut Cemeti, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Taman Budaya, Galeri R.J. Katamsi, Srisasanti dan Tirodipuran Link, Studio Kalahan, dan lainnya, menjadi pendukung utama terciptanya kontestasi itu.

Dalam pandangan saya, keriuhan ruang dan kontestasi itulah yang belum tercipta di kota-kota di luar Jawa. Tanpa ruang kontestasi, perkembangan akan lamban karena kurang tantangan. Namun demikian, bukan berarti tidak ada seniman (perupa) yang baik dan kuat di luar Jawa. Tentu saja ada. Ruang pertemuan seperti di PKT Bontang ini dapat menjadi embrio terciptanya kolaborasi yang produktif dan menggerakkan.   

JP: Para penulis/penyair Kaltim lebih menguasai medan. Lebih paham seluk-beluk latar sosio-historis dan keunikan-keunikan lokal masyarakat Bontang atau Kaltim pada umumnya. Saya pribadi mungkin masih pelancong. 

Namun, memang mereka mendapatkan warisan ketertinggalan akses terhadap perkembangan seni dan sastra sebagai akibat dari pembangunan yang timpang. Berapa toko buku, penerbit, perpustakaan yang ada di Kaltim? Berapa galeri dan museum yang ada di Kaltim? Adakah festival seni dan festival sastra di Kaltim? Dalam hal ini, saya yang bermukim di Yogyakarta merasa punya banyak kemewahan.

_____________________________________________________INFOGRAFIK

Mengingat karya-karya para peserta kegiatan di Bontang itu bakal dikoleksi PKT, bagaimana masyarakat luas akan dapat mengaksesnya?

SW: Mengoleksi karya kawan-kawan ini tentulah sebuah “investasi” kultural bernilai panjang, dan lebih baik demikian metodenya. PKT tidak harus memburu koleksi karya-karya seni rupa dari para maestro masa lampau (sebutlah seni modern), karena diadang risiko yang tidak sederhana. 

Pertama, memerlukan upaya ekstra agar tidak mendapatkan karya yang diragukan keasliannya, misalnya. Kita tahu, kriminalitas di sekitar pasar seni rupa seperti pemalsuan, di mana pun, merupakan persoalan serius. Di samping itu, karya-karya semacam ini (maestro masa lampau; old master) biarlah diurusi oleh institusi negara seperti Galeri Nasional Indonesia atau museum-museum pribadi. 

Institusi seperti PKT justru akan mendapat perhatian dan sekaligus kontribusi bagi seni rupa jika mendukung dan mengoleksi karya seniman-seniman masa kini, dan karya-karya seni rupa kontemporer. Karya-karya yang “merekam’ situasi hari ini, dengan perspektif dan gaya mereka masing-masing.

Kedua, tantangan yang serius bagi institusi industri adalah fasilitas ruang --sebutlah galeri dan ruang koleksi-- yang memadai, termasuk tata kelola, pengelola, dan kepastian aktivitas berkesinambungan melalui payung regulasi. Jika kondisi semacam ini terwujud, masyarakat memiliki kesempatan mengakses, menikmati, dan tentu teredukasi.

Tahun 1973, ketika mengalami ledakan ekonomi pasca-krisis minyak, perusahaan-perusahaan besar di Jepang mulai berinvestasi membangun “galeri perusahaan” dengan membeli karya-karya seni rupa yang penting. Semua itu dilakukan dengan argumentasi yang sangat menarik; membangun galeri dan membeli karya seni menjadi bagian dari “etika perusahaan.” Kemudian membuka akses pada masyarakat luas “demi kepentingan para pekerja dan masyarakat luas”, seperti digambarkan dengan sangat baik oleh Maruska Svasek, antropolog budaya (dalam Anthropology, Art and Cultural Production, 2007).

JP: Saya berharap antologi puisi itu nanti dapat tersebar ke perpustakaan-perpustakaan dan komunitas-komunitas literasi di Kaltim. Dapat diakses dan dinikmati secara luas oleh pembaca dari manapun. Dapat menjadi sumber inspirasi dan pembelajaran bersama. Saya kira, teknologi digital memungkinkan untuk itu. (*)

Ditulis oleh Syafril Teha Noer, jurnalis senior dan pegiat seni di Kaltim, tinggal di Samarinda. 

Editor: Fel GM

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar