Terkini

Bandara APT Pranoto dan 32 Tahun Penantiannya

person access_time 5 years ago
Bandara APT Pranoto dan 32 Tahun Penantiannya

Foto: dokumentasi kaltimkece.id

Presiden Joko Widodo meresmikan Bandara APT Pranoto di Samarinda pada 25 Oktober 2018. Akhir dari penantian panjang selama 32 tahun. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Jum'at, 26 Oktober 2018

kaltimkece.id Jika ditelusuri sejak awal, perjalanan pembangunan Bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto sungguh sangat panjang. Wacana pembangunan lapangan terbang ini, sebelumnya disebut Bandara Samarinda Baru atau BSB, sudah dimulai sejak 1986 atau 32 tahun silam. Pada saat itu, tahun yang sama ketika Presiden Soeharto meresmikan Jembatan Mahakam, studi penetapan lokasi bandara dimulai. Hasil studi Pemprov Kaltim dan Pemkot Samarinda menyatakan, tiga tempat cocok untuk bandara. Ketiganya adalah Kelurahan Sei Siring, Kelurahan Makroman, dan Bayur. 

Hasil studi itu rupanya hanya tersimpan rapi di lemari selama delapan tahun. Menurut rekam data Dinas Perhubungan Kaltim yang diterima kaltimkece.id, pengadaan tanah untuk pembangunan Bandar Udara Samarinda Baru berjalan pada 1994. Pemprov Kaltim mengalokasikan Rp 1,5 miliar untuk membebaskan lahan seluas kurang lebih 300 hektare. Setahun kemudian, pada 1995, Pemprov Kaltim menyetujui penyerahan tanah tersebut sebagai lokasi pembangunan pengganti Bandar Udara Temindung. Lahan di tepi batas Samarinda-Kutai Kartanegara itulah yang kelak menjadi lokasi bandara sekarang.

Namun, baru saja pembangunan bandara hendak dimulai, badai krisis moneter dan krisis multidimensi menerpa Indonesia pada 1997. Kaltim terkena dampak yaitu kesulitan anggaran. Proyek pembangunan bandara dihentikan sementara. Lima tahun lamanya, pembangunan bandara macet. Ketika ekonomi Indonesia pulih, pada 2002, rencana induk pengganti Bandara Temindung baru kembali dicetuskan Pemprov Kaltim. Saat itu, Suwarna Abdul Fatah adalah gubernurnya. 

Suwarna sempat membuat nota kesepahaman antara Pemkab Kutai Kartanegara dan Pemkot Samarinda. Nota tersebut dilatarbelakangi keinginan Bupati Kukar Syaukani Hasan Rais yang hendak pula membangun bandara di Kecamatan Loa Kulu. Sempat terjadi “perebutan” pembangunan bandara antara Samarinda dan Kukar. Namun, karena lokasi perencanaan kedua bandara sangat berdekatan, Gubernur Suwarna akhirnya menerbitkan penetapan. Lokasi lapangan terbang yang dipilih adalah Sungai Siring, Samarinda Utara. Penetapan itu disampaikan kepada Menteri Perhubungan Agum Gumelar pada 2004. Sampai di sini, kewenangan pembangunan bandara sepenuhnya masih di tangan Pemprov Kaltim.

Berselang setahun kemudian atau pada 2005, muncul surat Wali Kota Samarinda Achmad Amins. Surat yang ditujukan kepada Gubernur Kaltim dengan tanggal 21 Oktober 2005 itu memohon pelimpahan kewenangan pembangunan BSB dari Pemprov Kaltim kepada Pemkot Samarinda. Gubernur menjawab surat itu, yang pada intinya, menyetujui usulan tersebut. Hasil konsultasi ke Menteri Perhubungan pada 2006 menyatakan, pemerintah pusat meminta pelimpahan kewenangan dikoordinasikan internal oleh pemerintah daerah Kaltim. 

Pembangunan BSB akhirnya ditangani Pemkot Samarinda sesuai surat keputusan gubernur pada 2007. Pembiayaan pembangunan BSB bersumber dari dana sokongan Pemprov Kaltim sebesar 60 persen dan Pemkot Samarinda 40 persen. Sebagai investor, muncul nama PT Nuansa Cipta Realtindo atau PT NCR. Pembangunan bandara pun mulai berjalan pada 2009. Dan inilah awal mula dari berbagai kendala yang datang kemudian. 

Diambil Alih Provinsi

Jam kerja telah jauh pergi ketika rapat tertutup di lantai dua Kantor Gubernur Kaltim akhirnya selesai. Di depan Wali Kota Samarinda Achmad Amins dan jajaran, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak menunjukkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan yang mengaudit pembangunan BSB. Audit teknis itu menyimpulkan bahwa PT NCR, investor sekaligus diduga kontraktor proyek, tidak memenuhi syarat. 

Pertemuan pada Jumat tengah malam, 16 Juli 2010, itu, menjadi babak baru dari perjalanan panjang BSB. Audit teknis BPK memuat 13 poin. Mulai dari penunjukan PT NCR yang disebut tidak sesuai prosedur, kejanggalan penentuan harga satuan pekerjaan, sampai tiadanya pengalaman perusahaan membangun bandara. Di samping itu, posisi PT NCR sebagai investor juga tidak jelas karena perusahaan dibayar menurut progres pekerjaan, selazimnya kontraktor. 

Setahun selepas rapat tengah malam itu, Pemprov Kaltim di bawah Gubernur Awang Faroek Ishak mengambil alih kewenangan pembangunan bandara dari Pemkot Samarinda. Langkah tersebut sekaligus menghentikan kontrak dan pekerjaan PT NCR. Keputusan itu membuat PT NCR menggugat ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia. PT NCR menang atas gugatan kepada Pemkot Samarinda dan Pemprov Kaltim yang disebut wanprestasi atau ingkar janji. 

Di tengah gugatan PT NCR, Pemprov Kaltim meneruskan pembangunan sisi darat. Pembiayaannya sebesar Rp 690 miliar, berasal dari APBD Kaltim dengan skema kontrak tahun jamak. Pada 2013, ketika masa jabatan periode pertama Awang Faroek tuntas, sisi darat bandara yakni terminal penumpang juga rampung.

Awang Faroek melanjutkan pembangunan sisi udara yakni landasan pacu pada periode keduanya. Selepas sengketa hukum di sisi udara klir pada 2015, Pemprov Kaltim mengebut pembangunan sisi udara. Namun, sejumlah kendala kembali ditemui. Lahan landasan pacu berkarakter tanah gambut sehingga beberapa kali longsor di titik 2.100 meter landasan pacu. Di tengah pergelutan menangani tanah gambut, Pemprov Kaltim membuka polling nama bandara secara online pada 2016. Nama Aji Pangeran Tumenggung Pranoto dipilih yang kemudian mengganti nama Bandara Samarinda Baru. 

Seluruh pekerjaan sisi udara kelar pada awal 2018. Setelah delapan tahun pembangunan diambil alih pemprov, Bandara APT Pranoto akhirnya berfungsi menggantikan Bandara Temindung sejak Kamis, 24 Mei 2018. Presiden Joko Widodo kemudian meresmikan Bandara APT Pranoto pada Kamis, 25 Oktober 2018, atau tepat 32 tahun sejak wacana bandara ini dicetuskan. (*)

Baca juga:
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar