Terkini

Banjir 2019 yang Begitu Mirip dengan Permulaan Banjir Besar 1998

person access_time 5 years ago
Banjir 2019 yang Begitu Mirip dengan Permulaan Banjir Besar 1998

Sumber foto: Istimewa

Sejumlah kesamaan didapati dari banjir besar pada 1998 dengan 2019. Peringatan dini bagi pemegang kebijakan dalam mencegah bencana itu kembali terulang.

Ditulis Oleh: Fel GM
Senin, 10 Juni 2019

kaltimkece.id Sejarah pernah mencatat, banjir terbesar yang menginvasi Samarinda terjadi pada 1998 silam. Pada waktu itu, sebulan sebelum Waduk Benanga menumpahkan air bah dan menghantam seisi kota, Samarinda diguyur hujan nyaris tiada henti. Persis seperti yang sekarang ini terjadi. Hujan berhari-hari menyebabkan banjir. Dua kecamatan dengan 10.300 jiwa pun terdampak banjir sejak Sabtu dan Minggu, 8-9 Juni 2019. 

Dari kedua peristiwa yakni pada 1998 dan 2019, dapat ditarik tiga persamaan. Tiga-tiganya menjadi alarm bagi warga kota maupun pemegang kebijakan dalam mencegah dan mengantisipasi peristiwa itu berulang. 

Bulan Juni

Sama-sama diawali pada bulan Juni yang basah. Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Samarinda, rata-rata curah hujan pada Juni 1998 itu mencapai 363,1 milimeter. Curah hujan sedemikian sangat tinggi. Sejak 1978 hingga 2015 atau selama 34 tahun, rata-rata curah hujan di Samarinda pada bulan yang sama hanya 177 milimeter (Kajian Kondisi Biofisik Daerah Tangkapan Air Potensi dan Pemanfaatan Waduk Benanga di Wilayah Kota Samarinda, Jurnal, 2015).  

Hujan dalam intensitas tinggi itu pula yang mengguyur Samarinda pada 8-9 Juni 2019. Menurut catatan BMKG yang dilansir Badan Wilayah Sungai Kalimantan (BWS) III, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, curah hujan di Samarinda tercatat 55 milimeter sampai 140 milimeter. Curah hujan tertinggi terpantau di kawasan Tanah Merah, Samarinda Utara. 

Baca juga:
 

“Pada 9 Juni 2019, curah hujan di Samarinda rata-rata 50 milimeter. Ini (hujan yang) cukup deras,” jelas Juli Budi Kisworo, kepala Stasiun Meteorologi Temindung, kepada kaltimkece.id. Juli memperkirakan, hujan tetap turun beberapa hari ke depan namun tidak dalam intensitas tinggi lagi. 

Waduk Benanga Penuh

Kesamaan kedua ialah curah hujan yang tinggi membuat Waduk Benanga di Lempake kepayahan. Pada 1998, Waduk Benanga --yang waktu itu telah berusia 20 tahun dengan luas 159 hektare-- mulai ringkih. Beban berat yang dipikul bendungan irigasi tersebut membuat air merembes di bagian bawah waduk, disebut dengan istilah piping (Analisis Hidraulika Banjir Akibat Keruntuhan Bendungan: Studi Kasus Bendungan Lempake, Kota Samarinda, 2014, hal 2). 

Tanggul Waduk Benanga pun jebol sepanjang 20 meter, tepat pada 28 Juli 1998 malam, setelah Samarinda diguyur hujan sebulan. Dalam waktu singkat, jutaan meter kubik air menuju kota. Air meluncur ke arah Sungai Mahakam, 14 kilometer jauhnya dari bendungan, melalui Sungai Karang Mumus. Seisi kota tergenang dengan ketinggian air hingga 2 meter. Tiga kecamatan di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus dengan 105.835 jiwa dari 18.798 kepala keluarga terdampak banjir (Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999, 2017).

Pada musibah Juni 2019 ini, Waduk Benanga sudah semakin tua dalam usia, 41 tahun tepatnya. Luasnya menyusut menjadi 130 hektare. “Kemampuan penampungan tersisa 25 hektare atau 20 persen dari luas waduk,” demikian Sekretaris Kota Samarinda, Sugeng Chairuddin, ketika meninjau kondisi Benanga, 8 Juni 2019. 

Menurut laporan BWS Kalimantan III, Kementerian PUPR, tinggi muka air di Waduk Benanga pada Ahad, 9 Juni 2019, adalah 7,88 meter dengan status siaga. Sehari sebelumnya, Sabtu, 8 Juni 2019, tinggi muka air masih di angka 7,5 meter. Adapun puncak pelimpahan bendungan (ketinggian air yang mampu ditampung Benanga) adalah 7 meter saja. 

Air Pasang 

Banjir kali ini diperparah karena bertepatan dengan pasang air laut. Sebagaimana hukum pasang surut, permukaan Sungai Mahakam bersama anaknya, Sungai Karang Mumus, ikut naik. Kiriman air yang tak bisa ditampung di Waduk Benanga, yang seharusnya mengalir ke Sungai Mahakam, terperangkap di aliran Sungai Karang Mumus yang sedang pasang. Air pun meluber ke mana-mana. Peristiwa seperti ini pernah terjadi pada 2008 silam. Ketika itu, kawasan utara Samarinda yang dilintasi Karang Mumus tergenang selama sepekan. 

Fenomena pasang air laut seperti ini juga berperan pada peristiwa banjir besar 1998 silam. Meskipun tidak ada catatan pasang-surut air laut pada 28 Juli 1998 itu, namun dapat diperkirakan dengan melihat penanggalan Hijriah. Penanggalan Islam menggunakan sistem perhitungan bulan. Adapun pasang surut air laut terjadi karena gaya tarik bulan dan matahari. Ditemukan korelasi antara penanggalan hijriah dengan pola pasang-surut air laut.

Baca juga:
 

Dalam penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berjudul Indikator Penciri Penanggalan Hijriah pada Pergerakan Pasang Surut (2017), korelasi bulan baru di kalender Hijriah dengan pasang surut itu ditemukan. Pada pembuka bulan atau ketika hilal mulai terlihat, biasanya menjadi puncak pasang dan surut tertinggi. Pasang surut berkurang hingga ke titik terendah pada tanggal 7 dan 8 setiap bulannya. Kemudian, naik lagi hingga ke titik tertinggi pada tanggal 15-16 ketika bulan penuh sempurna. Setelah itu, pasang surut turun ke titik terendah biasanya pada tanggal 22-23 dan kembali menuju titik tertinggi pada bulan baru berikutnya. 

Sebagai catatan, kondisi ini tidak selalu berlaku umum. Pasang surut air laut juga dipengaruhi kondisi dasar samudra serta kedalaman laut. Makanya, pasang-surut air laut tidak umum digunakan untuk menentukan bulan baru dalam kalender Hijriah. 

Baca juga:
 

Namun, dari penelitian itu, setidaknya bisa diperkirakan kondisi pasang air laut pada suatu waktu. Seperti pada 2019 ini, air mulai menggenangi Samarinda sejak Sabtu, 8 Juni 2019. Dalam penanggalan Hijriah, Sabtu tersebut bertepatan dengan 5 Syawal 1440 Hijriah. Yang berarti, sesuai penelitian tadi, masih dalam masa pasang-surut menuju titik terendah (pada 7-8 Syawal). 

Demikian halnya banjir 1998. Waduk Benanga jebol diikuti banjir besar pada 29 Juli 1998. Dalam kalender Hijriah, tarikh itu bertepatan dengan 5 Rabiul Akhir 1419 Hijriah. Meskipun berbeda bulan, tanggal keduanya sama yakni hari kelima. Yang berarti, ketinggian pasang air laut pada 1998 ketika terjadi banjir besar, kemungkinan besar sama dengan banjir sekarang ini. (*)

Senarai Kepustakaan
  • P, Ni Nyoman Indah, 2014. Analisis Hidraulika Banjir Akibat Keruntuhan Bendungan: Studi Kasus Bendungan Lempake, Kota Samarinda. Tesis. Jogjakarta: Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
  • Salnuddin, 2017. Indikator Penciri Penanggalan Hijriah pada Pergerakan Pasang Surut. Dimuat dalam Jurnal Jurnal Ilmu Syariah Ahkam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
  • Sarip, Muhammad, 2017. Samarinda Tempo Doeloe, Sejarah Lokal 1200-1999, Samarinda: RV Pustaka Horizon.
  • Widayanti, Diyat Susrini, dkk, 2017. Kajian Kondisi Biofisik Daerah Tangkapan Air Potensi dan Pemanfaatan Waduk Benanga di Wilayah Kota Samarinda. Dimuat dalam Jurnal Prosiding Seminar Nasional: Pengelolaan Daerah Aliran Secara Terpadu. Pekanbaru: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Riau.

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar