Terkini

Demonstran Pengeroyok Polisi Diburu, Pelajar Ikut Unjuk Rasa Disanksi PR Menumpuk

person access_time 5 years ago
Demonstran Pengeroyok Polisi Diburu, Pelajar Ikut Unjuk Rasa Disanksi PR Menumpuk

Sekitar 4 ribu pengunjuk rasa ambil bagian dalam demonstrasi di depan kantor DPRD Kaltim, 26 September 2019. (Wahyu Musyifa/kaltimkece.id)

Rangkaian hukuman menanti setelah aksi di DPRD Kaltim. Disdik Kaltim ikut menelusuri pelajar yang terlibat.

Ditulis Oleh: Arditya Abdul Azis
Jum'at, 27 September 2019

kaltimkece.id Polisi menggelar olah tempat kejadian perkara (TKP) setelah demonstrasi besar-besaran di Samarinda pada Jumat pagi, 27 September 2019. Aksi berlangsung sehari sebelumnya di depan Kantor DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Karang Paci.

Penyelidikan berlangsung sejak pukul 07.00 hingga 09.00 Wita. Polresta Samarinda mengerahkan jajaran Satreskrim dan Tim Indonesia Automatic Finger Print Identification System (Inafis).

Olah TKP dilakukan terkait kasus pengeroyokan terhadap Ipda Hardiyansah di kerumunan demonstran. Perwira tersebut bertugas sebagai Kanit Intel di Polsek KP3 Samarinda. Saat unjuk rasa berlangsung, ia jadi bulan-bulanan setelah penyamarannya di tengah aksi ketahuan.

Baca juga:
 

Selain kasus pengeroyokan, polisi menyisir dan merekap kerusakan fasilitas dampak dari aksi tersebut. Beberapa di antaranya tembok yang dicoret, hingga pagar dan taman yang hancur di depan kantor DPRD Kaltim.

Ajun Komisari Polisi (AKP) Damus Asa, kasat Reskrim Polresta Samarinda, memastikan apabila hasil penyelidikan menemukan bukti pengeroyokan dan pengerusakan fasilitas, massa yang terlibat akan dikenakan sanksi hukum. "Sesuai prosedural, kami mengambil dokumentasi peralatan yang digunakan dalam aksi kemarin. Kami belum mengetahui pasti. Masih cukup gelap. Jadi belum ada yang kami mintai keterangan," ungkapnya.

Namun demikian, saat ini aparat kepolisian masih terus melakukan pendalaman. Setelah pengumpulan barang bukti, petugas fokus mencari keterangan. "Tentu kami proses kalau sudah ditemukan buktinya. Terutama aksi pengeroyokan, karena itu telah menyerang petugas," tegasnya.

Sejumlah barang bukti diamankan. Seperti besi, batu, dan kayu yang dilemparkan pengunjuk rasa ke kantor DPRD Kaltim. Belum ada saksi yang dimintai keterangan. Baik dari demonstran maupun warga. Polisi masih fokus menyelidiki kedua unsur. Yakni pengerusakan dan pengeroyokan petugas. "Sejauh ini kami belum mencari oknum provokator. Belum mengarah ke sana," tambahnya.

Dalam kasus tersebut, polisi mengenakan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan Pasal 170 KUHP terhadap pelaku pengerusakan fasilitas umum.

Sanksi untuk Pelajar

Dari demonstrasi Kamis itu, sekitar 4 ribu orang mengepung Kantor DPRD Kaltim. Lanjutan penolakan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang telah direvisi serta Rancangan UU KUHP Jilid II.

Unjuk rasa diwarnai bentrokan antara massa dan aparat kepolisian. Diperkirakan 150 lebih korban dari demonstran. Sedangkan dari kepolisian lima petugas.

Sebagian di antara lautan mahasiswa hari itu, adalah kelompok pelajar yang turut meneriakkan penolakan UU KPK. Keikutsertaan ratusan pelajar SMA itu tergabung dalam Aliansi Siswa Samarinda. Keberadaannya kini jadi perhatian serius Pemprov Kaltim.

Dinas Pendidikan (Disdik) Kaltim langsung menggelar rapat koordinasi. Kepala sekolah diminta memberikan sanksi pelajar yang turun aksi. Hukuman berupa pekerjaan rumah (PR) yang menumpuk.

Djoni Topan, sekretaris Disdik Kaltim, menilai sanksi tersebut paling sesuai. Masih dalam koridor pembinaan. Berbanding lurus dengan hak belajar-mengajar yang dimiliki pelajar. "Mereka hanya perlu dibina. Seperti memberikan tugas pelajaran bagi mereka," ungkapnya.

Sehari sebelum unjuk rasa, Disdik sebenarnya telah menghalau kemungkinan pelajar turun aksi. Instruksi diturunkan untuk seluruh kepala sekolah. "Karena dalam kalender pendidikan, saat itu tidak ada hari libur. Kalau anak-anak sekolah belajarnya sehari 8 jam, kalau dia tidak ikut jam pelajaran, berarti bolos," ucapnya.

Faktanya, imbauan tak berhasil. Ratusan pelajar SMA turun masih mengenakan seragam. Tak ayal, kehadirannya jadi perhatian. Tidak jarang jadi garda terdepan ketika berhadapan aparat.

Kasatmata, sedikitnya 300 pelajar berseragam turun dalam aksi tersebut. Disdik Kaltim kini menelusuri asal sekolah siswa tersebut.

"Kami belum tahu apakah berasal dari sekolah negeri atau swasta. Seharusnya mereka tak perlu ikutan turun. Apalagi masih hari sekolah. Mereka ini masih berproses menuju dewasa," tambahnya.

Djoni menegaskan, tugas pokok seorang siswa adalah belajar. Terutama pada jam sekolah. Bukannya belajar demonstrasi di jalanan.

Para pelajar dinilai salah pemahaman dalam menyampaikan aspirasi. Memahami demokrasi bukan berarti adu kekuatan dalam jumlah besar. Tapi dengan adu argumen yang terkonsep.

"Para kepala sekolah belum ada data laporan siswa yang ikut aksi. Telah dikoordinasikan agar kepala sekolah bisa menjaga siswa-siswi tetap sekolah," pungkasnya.

KPAI Satu Suara

Sanksi PR menumpuk untuk siswa pengunjuk rasa, mendapat dukungan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Samarinda. Seperti disebut Komisioner KPAI Samarinda, Aji Suwignyo, sanksi mesti tetap bersifat mendidik. Tanpa menghilangkan hak mendapatkan pembelajaran. Contoh lainnya adalah  membersihkan lingkungan sekolah.

Di sisi lain, Aji menilai pelajar masih belum tepat untuk berdemo langsung ke lapangan. Apalagi aksi begini sangat rawan tindak kekerasan. Ketika pelajar terluka, suasana bisa makin memanas. Yang disalahkan pasti aparat dan pemerintah daerah.

"Biarlah yang lebih tua dan paham yang melakukan. Jangan sampai ada mereka yang tua, malah menyuruh atau mengajak. Itu sangat keterlaluan," ungkap Aji.

Dengan kejadian tersebut, diharapkannya para guru bisa meningkatkan komunikasi. Terutama kepada orangtua murid. Sebagai peranan kunci membentuk pola pikir yang baik bagi para pelajar.

Lembaga perlindungan anak tersebut bakal mendeteksi para pelajar yang sempat turun aksi. Untuk menjalankan upaya edukasi secara langsung. Maupun melalui pihak terkait seperti sekolah dan keluarga.  "Ada cara yang lebih santun. Yang lebih humanis. Janganlah mengambil keputusan yang mengarah ke ranah hukum. Jika ada apa-apa, sampaikan dulu ke pihak sekolah. Agar sekiranya tepat apa yang ingin dilakukan," pungkasnya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar