Terkini

DPRD Minta Proyek Masjid Dihentikan, Sikap Tepat yang Terlambat

person access_time 5 years ago
DPRD Minta Proyek Masjid Dihentikan, Sikap Tepat yang Terlambat

Ilustrasi: Danoo (kaltimkece.id)

Legislatif yang menyetujui, legislatif pula yang menolak pembangunan masjid di Lapangan Kinibalu. Sikap yang tepat namun terlambat.

Ditulis Oleh: Arditya Abdul Azis
Selasa, 11 September 2018

kaltimkece.id Pembangunan masjid Pemprov Kaltim di Lapangan Kinibalu yang memangsa uang rakyat sebesar Rp 64 miliar terus mendapat tentangan. Setelah mengadakan rapat dengar pendapat di kantornya, DPRD Kaltim mengambil sikap yakni menolak pembangunan masjid sekaligus meminta pekerjaan dihentikan. 

Senin, 10 September 2018, DPRD telah menerima data, fakta, dan kata, dari berbagai pihak. Telah terang-benderang bahwa warga sekitar, khususnya, dan umumnya Samarinda, menolak pembangunan masjid di lapangan bersejarah itu. Pemprov juga dinilai melanggar hukum karena pekerjaan pendirian rumah ibadah dipastikan tidak dilengkapi izin mendirikan bangunan atau IMB. 

Melalui ketua lembaga, Syahrun HS atau Haji Alung, DPRD Kaltim menyatakan segera menerbitkan surat rekomendasi berisi penolakan pembangunan masjid. Surat itu akan dikirimkan kepada Pemkot Samarinda dengan tembusan kepada Gubernur Kaltim pada Rabu, 12 September 2018. 

“Kami sudah mendengarkan penjelasan semuanya. Salah satu wilayah kerja DPRD adalah pengawasan dan kami meminta pekerjaan itu dihentikan,” jelas Haji Alung kepada kaltimkece.id, sejenak selepas pertemuan di kantornya berakhir. Ia menambahkan, kewenangan penghentian pembangunan yang tak ber-IMB berada di Pemkot Samarinda. “Rabu, surat rekomendasi kami kirim kepada Pemkot Samarinda,” paparnya.

Jalannya Dengar Pendapat

DPRD Kaltim mengundang pihak-pihak yang bersilang pendapat terhadap pembangunan masjid di Lapangan Kinibalu untuk hadir dalam pertemuan di Gedung Dewan Lantai 6, Karang Paci, Samarinda. Rapat dipimpin Ketua DPRD Kaltim Syahrun HS. Ia didampingi Wakil Ketua DPRD Kaltim Henry Pailan Tandi Payung bersama sejumlah anggota dewan seperti Abdurrahman Alhasnie, Sarkowi V Zahry, Rita Barito, dan Jafar Haruna. 

Sejumlah unsur hadir. Mulai utusan Kepolisian Daerah Kaltim, Komando Resort Militer 091 Aji Surya Natakesuma, Kejaksaan Tinggi Kaltim, hingga jajaran Pemkot Samarinda. Mewakili warga sekitar, Forum Masyarakat Peduli Lapangan Kinibalu serta para ketua RT. 

Satu-satunya pihak yang tidak hadir justru Pemprov Kaltim selaku pemilik proyek pembangunan masjid. DPRD Kaltim memastikan, telah mengundang pemprov. kaltimkece.id juga berusaha meminta penjelasan ketidakhadiran tersebut dari Sekretaris Provinsi Kaltim Meiliana, sepanjang Selasa, 11 September 2018. Sampai warta ini diturunkan, panggilan maupun pesan kaltimkece.id belum ditanggapi Meiliana.  

Baca juga:
 

Kembali ke meja rapat, pertemuan dimulai dengan mendengarkan keterangan Forum Masyarakat Peduli Lapangan Kinibalu. Melalui koordinatornya, Achmad Jayansyah, forum menegaskan pembangunan masjid tidak sesuai ketentuan hukum. Satu di antaranya adalah melanggar Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 34 Tahun 2004. Pada saat di-groundbreaking oleh Gubernur Awang Faroek Ishak, kata Jayansyah, pemprov menunjukkan pelang pembangunan. Di papan itu tertulis IMB sudah ada.  

“Belakangan, itu bukanlah IMB melainkan nomor registrasi. Kami bersama warga sudah menanyakan kepada Wali Kota Syaharie Jaang dan Sekkot (sekretaris kota Sugeng Chairuddin). Jawaban mereka, belum sama sekali (IMB terbit),” beber Jayansyah dalam pertemuan. Perihal IMB ini juga telah dibenarkan Pemkot Samarinda. 

IMB masjid tidak bisa diterbitkan karena belum adanya rekomendasi dari Forum Komunikasi Umat Beragama, FKUB, Samarinda. Suwoko, wakil ketua FKUB Samarinda, menyatakan bahwa rekomendasi tidak diberikan karena masih ada pertentangan. “Kami tidak ingin masalah tersebut bergejolak di tengah-tengah masyarakat yang tidak menginginkan pembangunan masjid ini," tegas Suwoko, masih dalam rapat dengar pendapat.

Dasar penolakan warga berikutnya, menurut Forum Masyarakat Peduli Lapangan Kinibalu, yakni diajukannya lapangan tersebut sebagai objek cagar budaya. Sutrisno, tim advokasi dari forum, menyatakan bahwa pengajuan telah berjalan sejak Desember 2017. Proses penetapan cagar budaya menunggu pembentukan tim dari pusat yang akan mengecek lokasi. Sutrisno menambahkan, dalam proses tersebut, lokasi yang diajukan sebagai cagar budaya semestinya bebas dari kegiatan apapun termasuk pembangunan rumah ibadah.

Baca juga:
 

Jajaran Pemkot Samarinda turut dimintai penjelasan. Lurah Jawa, Septiani, menceritakan bahwa dia hanya memberi surat pengantar kepada panitia pembangunan masjid. Kelurahan Jawa tidak memiliki kewenangan menyetujui pembangunan rumah ibadah. Satu nada, Camat Kecamatan Samarinda Ulu, Fahmi, memastikan tidak mengeluarkan rekomendasi pembangunan masjid. Terbitnya IMB tidak berkaitan dengan lurah maupun camat.

“Kami memang pernah menghadiri pertemuan pembahasan masjid. Tetapi, sampai saat ini, kami belum pernah menandatangani persetujuan IMB,” jelas Fahmi.

Pernyataan lurah dan camat bertolak belakang dengan klaim Gubernur Awang Faroek Ishak. Saat jumpa dengan juru warta pada Senin, 3 September 2018, Faroek mengatakan bahwa seluruh proses pembangunan masjid sudah dilewati. Dalam kalimat Gubernur yang direkam media, pernyataan pembangunan masjid dari camat dan lurah setempat sudah didapat. 

Tanpa dilengkapi IMB, penghentian pekerjaan di Lapangan Kinibalu tinggal menunggu keputusan wali kota. Kepala Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik Samarinda memastikan hasil pertemuan di DPRD Kaltim akan dilaporkan kepada Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang. 

Terlambat Bersikap

Dua keputusan penting diambil dalam rapat dengar pendapat di DPRD Kaltim. Pertama, DPRD provinsi meminta kepada wali kota menghentikan pekerjaan di Lapangan Kinibalu karena belum dilengkapi IMB. Keputusan kedua adalah DPRD Kaltim menolak pembangunan masjid meskipun lembaga ini turut mengetuk palu dalam pengesahan anggaran. 

Keputusan DPRD Kaltim menolak pembangunan masjid disebut sangat terlambat. Sikap itu semestinya ditunjukkan sejak proyek ini pertama kali diajukan Pemprov Kaltim pada 2017. Namun, bukannya mendengar polemik yang berkembang sejak awal, DPRD justru menyetujui usulan pembangunan. Manakala persetujuan itu dianulir oleh DPRD sendiri, yang timbul adalah ketidak-etisan politik. 

“DPRD Kaltim awalnya memberi amanah kepada gubernur untuk mendirikan masjid. Penolakan atas kebijakan yang telah disetujui adalah mencabut amanah tadi dengan cara yang tak amanah. Tidak etis secara politik,” ulas pengamat kebijakan politik dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Lutfi Wahyudi. 

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini menjelaskan, kebijakan dibagi menjadi tiga, yakni tekstual, kontekstual, dan konten. Dalam tahap kontekstual, kebijakan pembangunan masjid di Lapangan Kinibalu sah secara hukum karena disepakati eksekutif dan legislatif. Namun demikian, hal-hal krusial seperti memerhatikan polemik di tengah masyarakat malah terlewatkan dalam proses pengesahan anggaran. 

“Ketika anggaran disahkan di Dewan, mayoritas anggota DPRD menyetujui pembangunan masjid. Ketika belakangan kebijakan itu ditolak, patut dikatakan bahwa kesalahan terbesar justru di DPRD Kaltim, bukan pemprov,” jelasnya. 

Menurut Lutfi, jika DPRD mendengarkan aspirasi warga sejak awal, masalah tidak akan seruwet sekarang. Membatalkan kebijakan ketika anggaran telah berjalan bukan perkara mudah. Selain terdapat kontrak dengan pihak ketiga selaku kontraktor, uang rakyat telah dibelanjakan. Penghentian pekerjaan berarti membuang uang rakyat. “Korban paling besar dari kebijakan seperti ini, sebenarnya, adalah masyarakat. Padahal, ini bisa dihindari sejak awal,” tegasnya. 

Poin kedua yang ditangkap Lutfi adalah muatan politik dalam sikap DPRD. Wajah garang legislatif baru muncul setelah Gubernur Awang Faroek menyatakan mengundurkan diri. Pengunduran diri Gubernur karena hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI. “DPRD seperti melepas tanggung jawab dan baru berani ketika gubernur sudah tak berdaya,” kritiknya.

Muatan lain yang patut dicermati adalah tahun politik. Sikap DPRD dalam pembangunan rumah ibadah muncul menjelang masa kampanye pemilihan legislatif 2019. Harus dicatat, sebagian besar anggota DPRD Kaltim kembali maju tahun depan. Tanpa langkah konkret pembatalan proyek, penolakan DPRD dikhawatirkan manis di bibir saja. “Tapi masyarakat sudah cerdas. Kunci dari kebijakan pembangunan masjid itu adalah DPRD karena mereka yang menyetujuinya. Sekali lagi, kesalahan terbesar adalah di DPRD,” tegas Lutfi. 

Baca juga:
 

Dosen Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, turut memberi pandangan. Menurut Castro, sapaan pendeknya, penolakan DPRD semestinya pertanda fungsi pengawasan legislatif telah berjalan sesuai Undang-Undang 23/2014 juncto Peraturan Pemerintah 12/2018. Pengawasan berkaitan erat dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini, pembangunan masjid yang tidak disertai dengan IMB.

"Di sisi lain, DPRD harus dikritik. Penolakan ini baru di level teknis yakni pembangunan masjid tanpa IMB, bukan substansi kebijakan," jelasnya. Pertanyaan berikutnya, jika IMB diterbitkan, apakah pembangunan masjid kembali direstui DPRD?

Jika DPRD sungguh-sungguh menolak, Castro menyarankan, permasalahan ini dibawa ke forum resmi. DPRD dapat menggunakan hak interpelasi atau hak bertanya kepada gubernur. Cara itu sekaligus menjadi koreksi bagi DPRD yang sebelumnya telah menyetujui proyek tersebut. Lewat hak interpelasi, DPRD secara tidak langsung memberikan tekanan kepada gubernur menghentikan proyek pembangunan masjid. Sambil menunggu proses berjalan, Pemkot Samarinda dapat memakai otoritasnya dengan menghentikan atau membongkar pekerjaan karena tidak dilengkapi IMB. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar