Terkini

Dua Tersangka Pengunjuk Rasa UU Cipta Kerja Diberi Pendampingan Hukum LBH Samarinda

person access_time 3 years ago
Dua Tersangka Pengunjuk Rasa UU Cipta Kerja Diberi Pendampingan Hukum LBH Samarinda

Barang bukti yang diamankan polisi dari tersangka pengunjuk rasa. (giarti ibnu lestari/kaltimkece.id)

LBH Samarinda melakukan pendampingan terhadap dua demonstran yang ditetapkan tersangka Polresta Samarinda.

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Sabtu, 07 November 2020

kaltimkece.id Unjuk rasa di depan gedung DPRD Kaltim berujung ricuh pada Jumat, 5 November 2020. Massa unjuk rasa menamakan diri Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat (Mahakam) menyuarakan penolakannya terhadap Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang per 2 November resmi menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020.

Jumat, 6 November 2020 Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Samarinda menetapkan dua demonstran sebagai tersangka. Dua mahasiswa itu berinisial FR berusia 24 tahun, mahasiswa Politeknik Negeri Samarinda, Jurusan Teknik Elektro; dan WJ, 22 tahun, mahasiswa Universitas Mulawarman, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol).

Pada Jumat malam, pukul 19.30 Wita Tim Advokasi Untuk Demokrasi Kaltim melakukan konferensi pers secara virtual membahas tindakan kekerasan dan penetapan tersangka massa aksi tolak Omnibus Law di Samarinda.

Fathul Huda dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, mengatakan ada 12 orang yang merupakan massa unjuk rasa diamankan di Polresta Samarinda. Ketiganya diperiksa secara khusus di ruang Reskrim Polresta Samarinda dan dua diantaranya ditetapkan sebagai tersangka. Proses pemeriksaan telah dilalui demonstran sebagai saksi pada Kamis malam dan sebagai tersangka pada Jumat siang.

"Yang menjadi catatan kami ketika mendengar keterangan massa aksi yang juga di sana, mereka diperlakukan dengan cara-cara tidak manusiawi. Dipukuli, diinjak, dan ditendang hingga rambutnya digundul. Kami mengecam tindakan kepolisian itu. Aparat keamanan telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Kami mengecam keras atas tindakan-tindakan brutal yang dilakukan oleh aparat kepolisian," ucap Fathul Huda.

"Kami juga meminta aparat kepolisian yang melakukan kebrutalan atas penangkapan terhadap massa unjuk rasa segera ditindak lanjut dan diproses secara hukum. Bahkan kalau bisa dikenakan pelanggaran kode etik hingga pemecatan secara tidak hormat."

Fathul beranggapan jika unjuk rasa tersebut berjalan baik, hanya saja ada sedikit gesekan yang akhirnya mengakibatkan kericuhan. "Kami menuntut kepada Polda Kaltim dan Polresta Samarinda untuk menindak tegas anggotanya yang melakukan aksi brutal."

Bernard Marbun yang juga dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda mengatakan pihaknya tidak dapat mendampingi langsung dari awal ketika para mahasiswa tersebut diamankan di Polresta Samarinda. Pihaknya kesulitan menemui mahasiswa yang diamankan hingga diusir oleh oknum kepolisian.

Terkait tersangka FR yang merupakan pengunjuk rasa, saat aksi ricuh sedang membantu rekannya. FR kemudian terjatuh dan di hantam. Delapan meter dari FR didapatkan senjata tajam (sajam) berupa badik dan FR dituduh jika ia pemiliknya.

"Tetap kami yang mendampingi, dia tetap bersikeras menolak terhadap tuduhan yang ditujukan kepadanya. Seluruh keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bahwa FR betul-betul tidak mengetahui asal muasal sajam itu dari mana. Dari BAP, saat FR ikut demo, betul-betul dia tidak ada menbawa senjata dan hal-hal lain. Dia justru dengan tangan kosong menjadi peserta unjuk rasa. Ketika FR ditangkap dan dibawa ke dalam halaman DPRD ada yang meneriakkan ada sajamnya."

"Tapi tetap kita terus berupaya mempertegas bahwa tuduhan tersebut tidak benar dan kita tetap memperjuangkan apa yang disampaikan saudara FR. Bahwa dalam hal ini oknum-oknum kepolisiaan melakukan tindakan represif, tindakan brutal terhadap pengunjuk rasa penolak UU Ciptaker. Ini mencerminkan bahwa demokrasi dalam keadaan akan dipasung. Ini menjadi permasalahan besar yang harus disikapi serius oleh seluruh elemen masyarakat Kaltim," lanjut Bernard.

Sebelumnya dari aksi tersebut, kepolisian mengamankan sebanyam sembilan orang. Tujuh di antaranya masih diperiksa terkait perannya. Sedangkan dua lainnya terbukti berbuat pidana dengan membawa senjata tajam (sajam) jenis badik, melakukan pelemparan batu, dan melakukan pengerusakan pagar DPRD Kaltim. "Tidak menutup kemungkinan tersangka akan bertambah. Keduanya adalah mahasiswa," terang Kapolresta Samarinda, Komisaris Besar Polisi Arif Budiman.

"Barang bukti ada senjata tajam berupa badik, dua balok ulin kira-kira panjangnya 1,5 meter. "Ini bukan unjuk rasa lagi kalau begini. Membawa sajam. Kita pidanakan. Kita tindak tegas," sambungnya.

Dari keterangan kepolisian, tersangka FR membawa badik saat unjuk rasa berlangsung, yakni ketika ricuh terjadi polisi melihat FR membawa badik yang disimpan di pinggang sebelah kirinya. Saat dilakukan penangkapan badik tersebut terjatuh, terlepas dari pinggang tersangka. Tersangka FR dijerat dengan Undang-Undang Darurat.

Tersangka kedua berinisial WJ diduga telah melakukan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tentang Penganiayaan dengan ancaman dua tahun delapan bulan penjara.

Aksi tersangka WJ melempar batu ke dalam halaman kantor DPRD Kaltim terekam video dan foto. WJ terekam foto dan video melemparkan batu ke dalam gerbang kantor DPRD Kaltim saat unjuk rasa ricuh ketika water cannon menyemprotkan air ke massa unjuk rasa. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

 

Ikuti berita-berita berkualitas dari kaltimkece.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar