Terkini

Ibu yang Patahkan Kaki Anak Kandung Dipastikan Depresi karena Cerai dan Korban KDRT

person access_time 4 years ago
Ibu yang Patahkan Kaki Anak Kandung Dipastikan Depresi karena Cerai dan Korban KDRT

Tono masih menjalani perawatan di rumah sakit. (arditya abdul azis/kaltimkece.id)

Melati menyimpan depresi setelah ditinggal cerai kala anak keduanya berusia empat bulan dalam kandungan.

Ditulis Oleh: Arditya Abdul Azis
Kamis, 21 November 2019

kaltimkece.id Melati terus mengelak ketika sembilan orang lawan bicaranya terus melempar tanya. Dari menundukkan hingga geleng-geleng kepala, ibu rumah tangga 24 tahun itu terus menjawab pertanyaan dengan ala kadarnya. Melati tak juga mengakui telah menganiaya anaknya, sebut saja Tono , hingga kekurangan gizi dan patah tulang.

Kamis pagi, 14 November 2019, Melati—bukan nama sebenarnya, dipanggil ke Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda untuk dimintai keterangan. Pemanggilan dilakukan Tim Penanggulangan Kekerasan (Tipiker) rumah sakit pelat merah tersebut. Melibatkan tim psikolog, seorang relawan, serta Budi dan Mawar, juga bukan nama sebenarnya.

Dua nama terakhir adalah saudara angkat Melati. Selama ini, sepasang suami istri itu juga bertindak sebagai orangtua angkat Tono.

Proses interogasi berlangsung alot. Tapi Sri Utari dari Tipiker beserta tim psikolog, bisa mendeteksi kebohongan Melati. Di balik wajah yang separuh tertutup masker biru, bola matanya sering berputar-putar. Sri Utari pun sangat yakin ada yang disembunyikan.

Benar saja. Setelah setengah jam, Melati akhirnya mengaku. Menyebut aksi bengisnya dilatarbelakangi kebencian terhadap wajah anak tiga tahun tersebut yang serupa sang mantan suami. Selalu setiap melihat wajah Tono, Melati sangat mudah tersulut emosi.

Melati rupanya menyimpan sakit hati. Saat Tono masih empat bulan dalam kandungan, Melati dicerai. Dan setelah resmi berpisah, anak pertamanya turut dibawa pergi pria yang dulu berjanji sehidup semati dengannya. Sejak itu Melati menyimpan depresi. Menaruh dendam yang mendalam.

Dari pengakuan tersebut, Melati akhirnya diperiksakan ke psikolog. Dari situ, diketahui bahwa Melati mengalami gangguan depresi dan stres berat.

"Kalau sudah stres berat, lama-lama bisa gangguan jiwa. Kalau sudah begitu, bahkan bisa sampai membunuh. Tapi dia ada itikad baik ingin sembuh dan berobat," terang Utari.

Kepada psikolog Melati membeberkan pola penyiksaan yang dilakukan terhadap Tono. Selain melipat tubuhnya ke belakang secara paksa, beberapa kali ia menginjak kaki sang anak. Perlakuan sadis itu pun berakibat patahnya tulang kaki Tono.

Dari konsultasi dengan psikolog, juga diketahui masa lalu Melati yang dihantui kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Ia kerap jadi bulan-bulanan orangtuanya. Disiksa sebagaimana dilakukan terhadap Tono. Melati sampai kehilangan saudara. Dibunuh ayah kandungnya sendiri. Setelah itu Melati ditelantarkan dan dirawat orangtua Budi yang kemudian jadi ayah angkat Tono.

Setelah divonis stres berat, kepolisian menetapkan Melati tidak dapat diproses hukum. Kendati demikian, Utari bakal tetap melaporkan kasus tersebut. "Kami tunggu lagi hasil dengan psikolog seperti apa. Dengan kepolisian kami masih sebatas koordinasi," urainya.

Kanit Reskrim Polsekta Samarinda Ulu, Ipda M Ridwan, memastikan selama Melati stres berat, kasus tidak bisa ditangani. Jika dipaksakan malah mempersulit penyidikan. Melati disarankan ditangani dulu keadaan jiwanya.

"Tapi sebelum ketahuan dia depresi, saya sampaikan kalau ada yang mau melaporkan, silakan laporkan ke kami," jelasnya.

"Jadi kami menunggu laporan pihak rumah sakit (Tipiker RSUD AWS). Kami mempersilakan melapor dan bisa menghadirkan saksi-saksi," sambung M Ridwan saat ditemui kaltimkece.id di Polsekta Samarinda Ulu.

Tetap Melapor

Tindak kekerasan yang diderita Tono ditanggapi serius Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Samarinda. Rabu siang, 20 November 2019, komisi tersebut telah melihat langsung keadaan Tono yang dirawat di RSUD AWS.

Kasus ini dipastikan mendapat penanganan intensif. Menjamin terus diproses secara hukum. Hingga berlanjut ke meja hijau. KPAID Samarinda termasuk yang bakal melapor ke Polresta Samarinda.

"Beberapa dokter ahli tulang, ahli anak, dan psikolog, sudah turun menangani. Kami mendampingi dan akan pantau terus perkembangannya," kata Aji Suwignyo, komisioner KPAID Samarinda.

Pendampingan KPAID kepada anak korban penganiayaan dilakukan hingga kembali ke pihak keluarga dan tumbuh dewasa. Pemantauan tumbuh kembang dipantau setiap tiga bulan. Bertujuan menjamin korban tidak mengalami hal serupa.

Bukan tanpa sebab. KPAID berkaca kasus-kasus sebelumnya. Hukum tindak pidana kekerasan terhadap anak kerap putus di tengah jalan. Disebabkan pelapor yang merupakan pihak keluarga, mencabut laporan saat kepolisian menangani kasus.

"Kalau pelapor dari keluarga itu rawan dicabut. Saya tidak mau terjadi berulang. Karena anak sudah sehat, tiba-tiba di cabut. Hukum kita seperti dimainkan. Kalau lembaga yang melapor, kemungkinan sulit mencabut," urainya.

Tindak kekerasan yang dialami Tono dirasa perlu mendapat penanganan serius. Apabila terhenti di tengah jalan, dikhawatirkan jadi preseden buruk dalam kasus-kasus KDRT. Tak ada efek jera.

Adapun kasus seperti dialami Tono, termasuk yang kerap ditangani KPAID selama ini. Anak usia balita, begitu rentan jadi pelampiasan ibu yang ditinggal cerai. Seorang perempuan yang berjuang menghidupi anak seorang diri, rentan mengalami perubahan suasana hati.

Seorang yang mengidap perilaku kekerasan juga sulit mengendalikan emosi. Menghindari tindakan kekerasan sebenarnya bisa dideteksi sejak awal. Untuk kemudian meminta pendampingan dari psikolog.

"Mencegah perilaku kekerasan itu tidak mudah. Jadi saya tidak akan percaya kalau ibunya nanti telah sadar dan menyesal, minta dicabut laporannya dengan mengaku berubah," pungkas Aji. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar