Terkini

Mengapa Membawa Sengketa Pers ke Polisi Bukanlah Langkah Tepat?

person access_time 4 years ago
Mengapa Membawa Sengketa Pers ke Polisi Bukanlah Langkah Tepat?

Diskusi antara insan pers dan polisi di Samarinda. (Fachrizal Muliawan/kaltimkece.id)

Tak sedikit publik memperkarakan produk jurnalistik. Namun melapor ke polisi, bukanlah langkah awal yang tepat.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Jum'at, 06 September 2019

kaltimkece.id Jurnalis, pewarta, wartawan, atau apapun sebutannya, adalah profesi yang dibatasi kode etik. Profesi ini juga dilindungi Undang-Undang 40/1999 tentang Pers. Maka, setiap wartawan dan produk pers, diatur dalam peraturan tersebut.

UU Pers juga jadi acuan ketika produk yang dibuat dipermasalahkan secara hukum. Sebagai landasan penyelesaian masalah di Dewan pers. Namun, selama produk pers belum terindikasi pelanggaran hukum pidana.

Hal itu diperkuat nota kesepahaman antara Dewan Pers selaku organisasi yang menjadi atap insan pers, bersama kepolisian. Nota kesepahaman itu ditandatangani Kapolri Tito Karnavian dan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo pada 2017 dengan Nomor: 2/DP/MoU/II/2017 dan Nomor: B/15/II/2017. Tema dari nota kesepahaman tersebut adalah Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakkan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.

Permasalahannya, masyarakat awam kerap tak puas dengan sebuah produk jurnalistik. Lalu memperkarakan ke ranah hukum tanpa menjadikan UU 40/1999 sebagai landasan. Biasanya, aduan dilaporkan berlandas dugaan pencemaran nama. Juga pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dan kepolisian selaku penerima laporan akan menangani kasus tersebut.

Padahal, prosedur kasus begini diatur dalam nota kesepahaman tadi. Secara garis besar, ketika polisi menerima pengaduan dugaan perselisihan sengketa produk jurnalistik dengan masyarakat, akan mengarahkan yang berselisih dengan proses bertahap. Mulai hak jawab hingga hak koreksi pengaduan. Ketentuan ini dirincikan dalam pasal 4 MoU tersebut.

Sedangkan pasal 5 membahas terkait koordinasi di bidang penegakan terkait penyalahgunaan profesi wartawan. Tertuang bahwa Dewan Pers maupun polri akan berkoordinasi bila ada aduan masyarakat terkait dugaan sengketa pers.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan Biro Samarinda, melihat hal tersebut sebagai isu krusial. Dari payung-payung hukum tersebut, mestinya berbagai persoalan sengketa pers cukup diselesaikan di Dewan Pers.

Duduk perkara isu inipun jadi bahan diskusi hangat di Kantor Berita Antara, Jalan Dahlia, Samarinda, Jumat, 9 September 2019. Diskusi bertajuk Membedah MoU Dewan Pers dan Polri. Mempertemukan insan pers dengan kepolisian.

Hadir sebagai pembicara Nalendro Priambodo dari divisi advokasi AJI Balikpapan Biro Samarinda, ahli pers Charles Siahaan, dan Kasubag Hukum Polresta Samarinda Iptu Nainuri.

Nalendro yang ditunjuk sebagai pemantik diskusi, menyebut bahwa pembahasan ini menjadi dasar untuk membangun sinergi kedua pihak. Dalam pasal 5 nota kesepahaman Dewan Pers dan Polri, disebutkan beberapa tahap untuk penanganan sengketa pers. "Mulai hak jawab dan koreksi, hingga proses verifikasi dari Dewan Pers," ujarnya.

Bila Dewan Pers menilai produk jurnalistik memiliki indikasi pelanggaran pidana, akan diserahkan ke kepolisian. Namun apabila murni sengeketa pers, cukup ditangani sesuai kode etik jurnalistik.

Wartawan kaltimkece.id itu menyebut, pada 2008 ada 16 kasus jurnalis diperkarakan hukum dengan dugaan pelanggaran UU ITE. Padahal, setelah dilakukan proses verifikasi, semua diselesaikan di Dewan Pers. "Sayangnya, dalam kenyataannya, insan pers yang produk persnya dipermasalahkan, sempat diperiksa di kepolisian," ujarnya.

Ahli pers Charles Siahaan menyadari situasi itu membuat insan pers harap-harap cemas beberapa tahun terakhir. Cukup banyak pelapor membawa barang bukti berupa produk pers. Terutama media daring. Pengaduan dilaporkan sebagai pelanggaran UU ITE.

Sebagai informasi, ahli pers adalah wartawan yang mendapat sertifikasi oleh Dewan Pers. Di Kaltim, hanya dua wartawan dengan sertifikasi ahli pers. Salah satunya Charles. Tugasnya termasuk menjadi saksi ahli bila sebuah sengketa pers terindikasi pelanggaran pidana.

Dalam pembahasannya, Charles melanjutkan, nota kesepahaman Dewan Pers dan Polri pada 2017 adalah pembaruan dari nota kesepahaman sebelumnya yang ditandatangani pada 2012. Isinya pun kurang-lebih sama. "Nota kesepahaman ini semangatnya sebenarnya agar dua pihak sama-sama bisa menjaga marwah masing-masing," ujarnya. Polri sebagai penegak hukum, Dewan Pers dengan kebebabasan persnya.

Charles berpendapat, diundangnya terlapor sebagai saksi tak akan terjadi bila komunikasi antara Polri dan Dewan Pers terjadi. "Banyak sekali sengketa pers berujung mediasi," ujarnya. Menurut dia lagi, pemanggilan penyelidikan atas sengketa pers adalah bentuk intimidasi.

Dipanggil Sebagai Saksi Belum Tentu Salah

Menanggapi dua pembicara tadi, Iptu Nainuri menjelaskan bahwa kepolisian, dalam hal ini, berlaku adil. Apalagi Pasal 102 KUHAP menuangkan bahwa penyelidik yang mendapat laporan masyarakat harus segera menanganinya. "Kami berada di tengah-tengah sebenarnya," terangnya.

Masing-masing pihak, dalam hal ini masyarakat yang melapor dan insan pers yang dilaporkan punya sudut pandang masing-masing. "Sudut pandang pelapor, bila tak dilakukan penyelidikan tentu bakal merasa laporan mereka tak digubris. Sementara dari awak pers merasa produk yang mereka hasilkan sudah memenuhi kaidah jurnalistik," ujarnya.

Nah, dua pihak ini yang mesti ditangani oleh kepolisian. "Kami dalam proses penyelidikan pun akan berkoordinasi dengan organisasi pers," ujarnya. Jadi, kata dia, bila masih dipanggil menjadi saksi tak perlu takut. Bahkan, hal itulah yang menjadi hak untuk membantah bahwa produk pers yang dimuat melanggar pidana tertentu. "Setelah semua jelas, kami pun kemudian akan menyerahkan dulu ke Dewan Pers," ujarnya.

Perwira balok dua itu menuturkan, memang terlihat ribet. Namun hal tersebut menjadi cara agar masing-masing pihak merasa dipenuhi haknya. Polri sendiri kini sedang mengejar pola penanganan kasus yang transparan dan akuntabel. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar