Terkini

Mirisnya Kondisi Jalan dan Listrik Kaltim, Cermin Ketimpangan yang Dirasakan Daerah

person access_time 5 years ago
Mirisnya Kondisi Jalan dan Listrik Kaltim, Cermin Ketimpangan yang Dirasakan Daerah

Ambulans yang diangkut ke Kecamatan Long Apari, Mahakam Ulu, 2017 silam. Harus menggunakan kapal karena tiadanya jalan. (dinas kesehatan mahulu)

Dibandingkan Pulau Jawa, kondisi jalan dan kelistrikan Kaltim ketinggalan jauh. Tanpa upaya luar biasa, perlu waktu panjang mengejarnya. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 06 Agustus 2019

kaltimkece.id Libur semester genap telah berakhir. Stanislaus Nyopaq, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, itu, harus segera kembali ke ibu kota provinsi. Selepas menyiapkan segala keperluan, pemuda berdarah Dayak Aoheng itu bergegas menuju tepi Sungai Mahakam. Setiap hari, hanya satu long-boat bermesin ganda yang bisa mengantarnya keluar dari kampung. Perahu panjang itu berangkat pagi-pagi sekali. 

Juli 2018 silam adalah terakhir kali Stanis pulang ke Kampung Tiong Ohang di Long Apari. Kampung ini berdiri di kecamatan paling hulu di Sungai Mahakam, wilayah Kabupaten Mahakam Ulu. Stanis memulai lima jam pertama dalam perjalanannya di atas perahu. Ia berangkat dari Long Apari menuju arah hilir sejauh 160 kilometer. Dalam pelayaran itu, perahu mesti melewati dua riam yang berbahaya yakni Riam Panjang dan Riam Udang. Bebatuan sungai berukuran besar di kedua riam siap menerkam jika motoris tidak lihai memainkan kemudi kapal. 

Setelah tiba di ibu kota Mahakam Ulu, Long Bagun, Stanis berpindah kapal. Empat jam berikutnya dia habiskan lagi di atas perahu. Ketua Ikatan Mahasiswa Kabupaten Mahakam Ulu ini melahap 140 kilometer Sungai Mahakam untuk tiba di Kecamatan Tering, Kutai Barat. Kali ini, jalur sungai lebih bersahabat. Tidak ada riam-riam seperti di hulu sungai. Begitu tiba di Tering, Stanis sudah sembilan jam di kapal dengan jarak tempuh 300 kilometer.  

Setibanya di Kutai Barat, jalur darat telah tersedia hingga Samarinda. Jarak dari Kecamatan Tering menuju ibu kota provinsi adalah 310 kilometer. Kondisi jalur berstatus jalan nasional itu sukar dibilang mulus. Makanya, Stanis harus duduk di dalam mobil selama hampir sembilan jam. Sebagai perbandingan, jarak Tering-Samarinda setara dengan DKI Jakarta-Pemalang, Jawa Tengah. Jika melalui jalan tol dekat Pantura, waktu tempuhnya cukup 5 jam 30 menit. 

“Total seluruh perjalanan dari Long Apari ke Samarinda sekitar 18 jam. Biayanya sekitar Rp 700 ribu. Setara harga promo tiket pesawat,” tutur Stanis kepada kaltimkece.id. Ada tawa yang pahit ketika ia bercerita. 

Baca juga:
 

Bupati Mahakam Ulu, Bonifasius Belawan Geh, menilai harus ada upaya luar biasa membuka isolasi transportasi darat. Masalah infrastruktur menciptakan beragam permasalahan di kabupaten yang baru berusia enam tahun tersebut. “Kami tak henti-henti berkomunikasi dengan pemerintah provinsi dan pusat untuk membuka dan meningkatkan kondisi jalan di Kabupaten Mahulu,” jelasnya. 

Kondisi Jalan Kaltim

Kampung Stanis di Tiong Ohang, Kecamatan Long Apari, adalah satu dari 50 desa di Kabupaten Mahakam Ulu yang belum tersambung jalan darat. Sementara dari 1.038 desa di sekujur Kaltim, sejumlah desa di luar Mahulu juga bernasib sama. Adapun sebagian desa di Kaltim yang bisa diakses melalui darat, jalannya masih hancur-lebur. 

Menurut catatan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kaltim pada 2017, panjang jalan nasional dan jalan provinsi di Kaltim adalah 2.891 kilometer. Dari 1.710 kilometer jalan nasional, baru 1.490 yang beraspal dan hanya 81,59 kilometer yang kondisinya benar-benar baik. Sementara untuk ruas provinsi  sepanjang 1.181 kilometer, hanya 831 kilometer yang beraspal. Jalan provinsi yang dalam kondisi rusak dan rusak berat mencapai 45 persen atau sepanjang 534 kilometer. 

Selain jauh dari kata mulus, ketersediaan jaringan jalan di Kaltim masih sangat kecil. Perbandingan kesenjangan jalan di Kaltim dengan Pulau Jawa ini digambarkan dalam Analisis Kesenjangan Wilayah yang dibuat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Analisis tersebut menggunakan istilah “kerapatan jalan”. Di sini tergambar jangkauan jalan lewat rasio antara panjang jalan dengan luas wilayah. Nilai kerapatan jalan ini diperoleh dari pembagian panjang jalan (kilometer) dengan luas wilayah (kilometer persegi). Semakin kecil nilai kerapatan jalan, semakin kecil jalan menjangkau suatu wilayah. Demikian sebaliknya. 

Menurut perhitungan Bappenas, kerapatan jalan di kawasan barat Indonesia sebesar 0,46. Sementara kerapatan jalan di kawasan timur hanya 0,15. Jika data itu diperas lagi, jangkauan jalan di antara pulau-pulau di Indonesia makin menunjukkan kepincangan. Jawa dan Bali adalah pulau yang memiliki kerapatan jalan tertinggi yaitu 0,89. Itu berarti, setiap 1 kilometer persegi (100 hektare) wilayah Jawa-Bali tersedia jalan sepanjang 890 meter. Adapun kerapatan jalan di Kalimantan, hanya 0,10. Dengan demikian, setiap 1 kilometer persegi wilayah di Kalimantan, hanya tersedia jalan sepanjang 100 meter (Analisis Kesenjangan Wilayah, Jurnal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2012, hlm 40). 

Listrik Belum Merata

Ketimpangan pembangunan di tingkat nasional berjalan sejak kemerdekaan Indonesia hingga berakhirnya Orde Baru yang sentralistik pada 1998. Selama 53 tahun, infrastruktur di kawasan timur Indonesia, termasuk Kaltim, begitu tertinggal dibanding wilayah barat. Kehadiran otonomi daerah yang senapas dengan era reformasi sebenarnya membawa harapan baru bagi pemerataan pembangunan. Sayangnya, kondisi infrastruktur Kaltim sudah tertinggal jauh dibandingkan Pulau Jawa. 

Selain jalan, infrastruktur dasar yang belum merata adalah kelistrikan. Tidak sedikit desa di Kaltim yang belum tersentuh jaringan PLN. Dalam Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kelistrikan, Kementerian ESDM (2019, hlm 37), jumlah kepala keluarga di Kaltim adalah 894.331 KK. Pelanggan PLN Kaltim hingga akhir 2019 tercatat 891.430 KK. Sementara jumlah rumah tangga berlistrik yang tidak bersumber dari PLN sebanyak 27.800 KK. Itu berarti, sekitar 3,1 persen warga Kaltim belum dilayani PLN. 

Keadaan yang jauh berbeda nampak ketika mengambil Pulau Jawa sebagai perbandingan. Dari 9,24 juta KK di Jawa Tengah, hanya 29.420 KK atau 0,31 persen warga yang belum dilayani PLN. Di DKI Jakarta yang memiliki 2,73 juta KK, hanya 127 KK atau 0,004 persen yang belum dilayani PLN. 

Rumah-rumah di Kaltim yang belum mendapat layanan setrum dari PLN terpaksa mengandalkan mesin pembangkit listrik pribadi atau milik desa. Hanya dinyalakan saat malam dengan durasi paling lama enam jam. Masalahnya, biaya bahan bakar untuk membuat generator set bekerja sangatlah mahal. Untuk semalam, ongkos satu rumah membeli 5 liter solar sekitar Rp 30 ribu. Maka dalam sebulan, tak kurang Rp 900 ribu mereka keluarkan demi menikmati terang yang hanya sekian jam di setiap malam. (*)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar