Terkini

Motif Batik Organik Khas Kaltim, Bahan Sederhana yang Bertemu Anime Jepang dan Ekor Naga Erau

person access_time 3 years ago
Motif Batik Organik Khas Kaltim, Bahan Sederhana yang Bertemu Anime Jepang dan Ekor Naga Erau

Desi Soleha Syafril saat membatik di workshop miliknya. (samuel gading/kaltimkece.id)

Desi Soleha Syafril yang gemar membatik, telah menelurkan sejumlah motik menarik yang out of the box.

Ditulis Oleh: Samuel Gading
Sabtu, 20 Februari 2021

kaltimkece.id Uap air beterbangan ketika perempuan berhijab kelabu ini mengaduk kain di atas tungku. Kain yang sudah lusuh itu mengeluarkan sejenis tar, diikuti air yang tampak menggelap. Aroma lilin meleleh perlahan tercium. Setelah tiga menit, kain tersebut dibawa ke baskom dan dicuci. Memunculkan motif batik cantik yang tampak masih malu-malu.

Siang itu, Desi Soleha Syafril, 39 tahun, sedang mematangkan batik yang dicampur bahan-bahan organik. Di dapur belakang workshop itu, sudah tiga minggu cairan pewarna berbahan sisa biji buah alpukat, kulit manggis, daun nipah itu diramu.

Saat disambangi kaltimkece.id, Desi mengatakan bahwa ramuan pewarna bahan sisa itu memang membumi. Menimbulkan warna-warna alam seperti cokelat dan abu-abu. Proses itu memunculkan garis retak di motif kain dengan estetika organik yang tidak ditemukan di banyak kain batik.

"Justru itu yang jadi nilai jual, bagus begitu," ucap Desi, diwawancara kaltimkece.id, 20 Februari 2021.

Pembuatan batik jenis organik memang memakan waktu lebih lama. Mengumpulkan dan merebus bahan-bahan bisa sampai tiga hari. Disusul membuat motif selama dua minggu. Sementara untuk mewarnai kain, dibutuhkan waktu tiga minggu.

"Semakin banyak warna, semakin banyak yang ditutup. Ini yang benar-benar dinamakan batik tulis. Ini juga tidak bakal sama lagi. Walaupun ada mirip, tidak bakal persis," ucapnya.

Bahan Sisa Tidak Sia-Sia

Bahan-bahan batik organik tersebut sebenarnya tidaklah rumit. Bahkan mudah ditemukan sehari-hari. Mulai biji alpukat, kulit rambutan, daun nipah, daun ketapang, kulit manggis hingga serabut kelapa. Semua bahan tersebut cenderung memunculkan warna dan hasil kombinasi warna-warna gelap. Meskipun terkesan lusuh, batik organik terbukti memiliki nilai tinggi. Jika dibawa ke Pulau Jawa, dua meter kain bisa dihargai Rp 1 Juta.

Meski begitu, Desi mematok batik buatannya sebear Rp 750 ribu. Memilih harga miring demi mempromosikan batik asli Kaltim yang betul-betul memiliki keindahan.

"Saya berjuang memperkenalkan batik di sini. Tidak ada cara selain mempromosikan harga. Kalau di luar mahal karena biaya transportasi. Minimal kalau saya yang penting modal balik bahan," lanjutnya.

Dari Hobi hingga Edukasi

Perjalanan Desi mencintai batik telah dimulai sejak menjadi guru seni budaya di SMKN 3 Samarinda. Sewaktu masih mengajar pada 2005, dia mulai menyukai proses praktik dalam Seni Kriya. "Awalnya padahal mendalami seni peran, tapi setelah nyoba ini itu malah jadi kriya," terangnya.

Keseriusan berbatik pun semakin ditekuni pada 2013. Dia berangkat berguru selama dua hari ke Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta untuk belajar batik tulis. Namun perguruan singkatnya membuat dia tidak puas. Pada 2016, dia kembali menyambangi empat ahli batik yang masing-masing mengajarkan teknik membatik.

"Bolak-balik empat kali Jogja-Samarinda buat belajar teknik, pewarnaan dan sebagainya. Semua guru beda-beda tekniknya."

Desi menghabiskan Rp 20 juta untuk biaya kelas saja. Belum ditambah biaya tinggal dan waktu untuk merawat tiga orang anaknya. "Lebih mahal daripada umrah," bebernya. 

Namun demikian, akar berbagi ilmunya tidak pernah pergi. Pada 2017, Desi menginisasi kelas membatik di lantai dua rumahnya di Perumahan Bukit Pinang, Jalan Pangeran Suryanata, Kelurahan Bukit Pinang, Kecamatan Samarinda Ulu.

Kurang lebih 80 pembatik di Samarinda sempat dibina Desi. Mayoritas perkumpulan ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita. Selama pandemi, kegiatan edukasi batik terbukti efektif sekaligus menghasilkan sampingan untuknya. Hanya dengan Rp 1,5 juta, belajar kriya batik sudah bisa dilakukan.

"Alhamdulillah pernah juga ke daerah-daerah di lima kabupaten/kota. Samarinda, Bontang, Kukar, Kutim, dan dalam waktu dekat Balikpapan," ucap Desi.

Workshop membatik Desi rampung pada 2018, persis di sebelah rumahnya. Hingga kini, hampir tiap hari ada saja yang membeli maupun belajar batik.

Sepuluh Motif Batik Baru

Desi saat ini mengaku puas. Upaya kerasnya dibalas tuntas setelah menemukan 10 motif baru pada 2017. Didapat setelah berkeliling ke Samarinda, Kukar, dan Bontang. Motif dipadukannya degan tema dan teknik pembuatan yang tidak kalah estetik.

Di Kota Tepian, dia menemukan tiga motif yakni Bawang Tiwai, Tani Aman dan Motif Sarung Samarinda. "Bukan batik tenun, ya, tapi motif batiknya," tambahnya.

Di Bontang ada motif Geladi yang didapat dari daerah Malahi. Di Kukar, dia mendapat enam motif yakni Juhut Pija, Kelambu Haruan, Pucuk Singkil, Bunga Labu, Sulam Tumpar, dan Sisik Naga Erau.

Khusus pembuatan Sisik Naga Erau, dia mendapat izin dari Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang diwakili Kerabat Kesultanan, Aji Pangeran Haryo Kusumo Puger.

"Saya minta izin untuk menginterpretasikan Sisik Naga Erau yang memiliki corak warna-warni. Alhamdulillah dapat izin, meskipun tidak boleh melukiskan sirip naganya," imbuhnya.

Desi membuat batik dengan cara estetik. Mengombinasikan dengan cap dan tulis. Desi bahkan mempelopori pembuatan batik yang terinspirasi dari Anime Jepang bernama Pela dan teknik lukis batik dengan cara dipukul.

"Kalau teknik pukul, itu berangkat dari bahasa Kutai dari memukul yaitu Tepek. Kalau menggambar bentuk Anime, itu gambarnya dibentuk kayak warna-warna cerah dan gambar kartun. Karena waktu itu saya ada pemikiran sedikit nakal atau out of the box dari motif batik pada umumnya," urainya.

Desi terus mencoba berinovasi dari model batik mainstream. Menurutnya, corak keanekaragaman budaya dan tradisi Kaltim, harusnya juga mendorong keberagaman motif batik. "Kalsel (Kalimantna Selatan) ‘kan ada batik sasirangan. Coba deh di Kaltim ada batik tepek gitu," pungkasnya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar