Terkini

Ngeri-Ngeri Sedap Efek Pengurangan Produksi Batu Bara

person access_time 5 years ago
Ngeri-Ngeri Sedap Efek Pengurangan Produksi Batu Bara

Foto: Getty Images

Produksi batu bara Kaltim diminta dibatasi. Ancaman besar untuk pertumbuhan ekonomi provinsi ini.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Jum'at, 29 Maret 2019

kaltimkece.id Sektor pertambangan dan penggalian, terkhusus batu bara, masih sektor utama dana konstruksi perekonomian Bumi Etam. Sebagai gambaran, hingga triwulan III 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim mencatatat peran pertambangan, terutama batu bara, mencapai 45,93 persen dalam pertumbuhan ekonomi provinsi ini.

Atas ketergantungan itu, Gubernur Kaltim Isran Noor menerima surat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM. Berisi pembatasan produksi batu bara yang berasal dari izin usaha pertambangan atau IUP. Kebijakan ini diprediksi Isran mengganggu pertumbuhan ekonomi Kaltim. Seperti disebutkannya kepada kaltimkece.id, Rabu, 27 Maret 2019.

Baca juga:
 

Dalam surat tersebut, produksi batu bara dari IUP akan dikurangi. Hanya boleh memproduksi 4x8 juta ton. Angka 8 juta ton ini berasal realisasi Domestik Market Obligation atau DMO batu bara dari IUP pada 2018.

Sebagai gambaran, produksi batu bara IUP di Kaltim pada 2018 adalah 92 juta metrik ton.Jika memakai acuan yang sama dari capaian produksi 2018, batu bara yang dapat diproduksi berdasarkan surat Kementerian ESDM hanya 32 juta ton. "Yang bisa diproduksi hanya itu, 4x8 juta ton, berarti 32 juta ton. Artinya, 60 juta ton tidak bisa diproduksi," bebernya.

Menurut Gubernur, kebijakan ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi Kaltim. Dia sudah melakukan simulasi bersama Bank Indonesia. Pada penutupan 2019, pertumbuhan ekonomi Kaltim bakal minus sekitar 2,8 hingga 3 persen. Ini berarti, dampaknya akan lebih buruk dibanding 2016 hingga 2017, ketika pertumbuhan ekonomi minus 1,8 persen. “Itu saja sudah acak-acakan di mana-mana. Bagaimana minus 2,8 persen? Pasti ngeri-ngeri sedap,” terangnya.

Sebagai reaksi, Isran sudah menyurati presiden dan Kementerian ESDM. Dalam permohonannya, Isran mengungkapkan sejumlah kekhawatiran. Salah satunya, pembatasan produksi 32 juta metrik ton yang berbuntut 10 ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan. Mestinya, kata Isran, kebijakan mesti diteliti sebelum dikeluarkan. ““Bukan untuk protes, tapi meminta pertimbangan. Saya berharap tak ada pembatasan,” ujarnya.

Saran Bank Indonesia

Sanksi pembatasan produksi batu bara yang diterima Kaltim, tak lepas dari kegagalan memenuhi 25 persen kuota DMO. Menanggapi hal ini, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Muhamad Nur, mendukung langkah Isran Noor.

Menurut Nur, kebijakan Kementerian ESDM justru mengganggu pertumbuhan ekonomi Kaltim dan nasional. Dari simulasi yang dilakukan, dampak kebijakan ikut memengaruhi sektor lain.

"Pada 2018, PKP2B Kaltim produksinya sekitar 160 juta metrik ton. Yang IUP 95 juta metrik ton. Ketentuan DMO-nya 25 persen sekitar 23 juta metrik ton. Tapi ternyata, DMO Kaltim hanya 8 juta metrik ton ekuivalen 8,7 persen," ungkap Nur ketika dijumpai di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Kamis, 28 Maret 2019.

Pembatasan produksi 4 kali DMO jatuh di angka 32 juta metrik ton. Dampaknya, dana bagi hasil atau DBH Kaltim ikut turun. Diprediksi sekitar Rp1,3 triliun. Secara nasional, batu bara juga komoditas ekspor. Dampak terhadap cadangan devisa negara pun turun hingga USD 2,6 miliar.

Reaksi Pemprov Kaltim dinilai tepat. Ia menyarankan sanksi dievaluasi. Jangan sampai kebijakan malah secara nasional ikut mengganggu neraca pembayaran.

"Ini yang kita harus cari solusi agar dua-duanya jalan. Harus duduk bersama. Jadi nanti Kementerian ESDM tidak bisa hanya lihat sendiri. Kalau hanya berpatokan pada itu, celaka ekonomi makronya," tuturnya.

Prediksi pertumbuhan ekonomi Kaltim minus 2 persen sulit dibayangkan. Berdasar pengalaman 2015-2016, saat sektor batu bara merosot, pertumbuhan yang hanya minus 1,2 persen sudah membuat Bumi Etam lesu. Samarinda terancam sepi. Bak pion domino jatuh menimpa domino lain, sektor sekitar ikut kena imbas. “Dari properti, perdagangan, itu penyedia alat berat nanti tidak bisa bayar. Mereka juga pakai dana bank, akan ke kredit macet. Minusnya akan lebih besar. Dan yang jadi perhatian, minus 2,7 persen itu bangkitnya lagi susah," ungkap Nur. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar