Terkini

Pemanfaatan Lahan Nonkehutanan, UNDP dan KalFor Fokus Tingkatkan Ekonomi Masyarakat

person access_time 4 years ago
Pemanfaatan Lahan Nonkehutanan, UNDP dan KalFor Fokus Tingkatkan Ekonomi Masyarakat

Ribuan hektare hutan dalam kawasan produksi nonkehutanan sampai belum maksimal dimanfaatkan di Kaltim. (istimewa)

Hutan bernilai tinggi itu berasal dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

Ditulis Oleh: Robithoh Johan Palupi
Sabtu, 06 Juni 2020

kaltimkece.id Beragam temuan menarik dipaparkan tim kajian Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Dalam webinar Focus Group Discussion (FGD) final draf kajian Instruksi Presiden (Inpres) 08/2018, diketahui ribuan hektare hutan dalam kawasan produksi nonkehutanan sampai saat ini belum maksimal dimanfaatkan.

Diharapkan, kawasan ini dapat dimanfaatkan dengan tepat sehingga memberi dampak positif kepada upaya konservasi dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Webinar diadakan pada Jumat, 5 Juni 2020, difasilitasi Dinas Kehutanan Kaltim atas inisiasi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. FGD final menindaklanjuti program yang digagas Kalimantan Forest Project (KalFor) dan mendapat dukungan dari United Nations Development Programme (UNDP). Fokus kegiatan di wilayah Kutai Timur.

Poin penting dipaparkan di antaranya temuan lahan hutan dalam kawasan nonkehutanan dengan luas ribuan hektare. Dari analisis ruang alokasi penggunaan lain (APL) berdasarkan Rencana Tata Ruang  Wilayah Kabupaten (RTWRK) Kutai Timur 2015-2035, diketahui ada 161.374 hektare kawasan hutan di area APL. Area tersebut lebih luas dibandingkan analisis ruang berdasar Rencana Tata Ruang  Wilayah Provinsi (RTWRP) Kalimantan Timur 2016-2036. Dalam RTRWP Kaltim, hanya 135.218 hektare lahan hutan di area APL.

“Kami tidak dalam tahap memperdebatkan selisih antara RTRK dan RTRWP. Namun, temuan ini memperlihatkan potensi (areal hutan) yang bisa dimaksimalkan untuk berbagai kepentingan. Seperti konservasi dan kegiatan kehutanan lainnya,” ujar Heru Herlambang, anggota tim pengkajian Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman.

Perbedaan data tersebut mendapat tanggapan Sugiyono dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kutai Timur. Menurutnya, data RTRWK lebih menunjukkan tingkat kedetailan karena pemetaan menggunakan skala 1: 50.000. Sedangkan pemetaan provinsi, menggunakan skala 1: 250.000. “Saya menjamin tingkat akurasi kami lebih baik,” ujar Sugiyono.

Berdasarkan Inpres 8/2018, penekanan yang diinginkan presiden adalah upaya pembangunan areal hutan yang bernilai konservasi tinggi (high conservation value forest/HCVF). Hutan bernilai tinggi itu berasal dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Ancaman hilangnya potensi hutan di kawasan perkebunan kelapa sawit sangat besar. Di Kutai Timur, terdapat 140 unit usaha perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan oleh 13 grup usaha.  Baru 22 dari 140 unit usaha itu yang memiliki sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), dan baru tiga unit usaha yang telah memegang sertifikat Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO).

Tim kajian ini juga mengadakan FGD dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kutai Timur yang menyoroti terbitnya Inpres 8/2018. GAPKI menilai, ada oknum nakal dari pengusaha yang memiliki izin perkebunan ternyata tidak menjalankan usahanya. Bahkan ada yang hanya memiliki motif untuk sekadar mengeksploitasi kayu.

GAPKI juga menginginkan kesetaraan perlakuan prosedural dalam pemberian IUP sehingga memudahkan proses perizinan lengkap secara administrasi dan sah secara hukum. GAPKI Kutim menyebut jika Inpres yang menginginkan Area Bernilai Konservasi Tinggi (ABKT) tetap dipertahankan, juga mengklaim telah taat kepada anjuran tersebut.

https://kaltimkece.id/upload/artikel/2020-06/06/infografis-lahan-nonkehutanan.jpg

“Perusahaan di Kalimantan Timur terus kami dorong untuk melengkapi diri dengan kewajiban yang menyertainya, seperti keharusan mendapat sertifikat baik ISPO ataupun RSPO, termasuk juga dalam upaya mempertahankan ABKT,” ungkap Henny Herdiyanto, Sekretaris Dinas Perkebunan Kalimantan Timur.

Webinar yang berlangsung lebih kurang 2,5 jam itu juga membahas beberapa saran atas temuan dari tim kajian. Semisal tentang adanya perusahaan kelapa sawit yang belum dan tidak mencadangkan areal untuk areal konservasi, maka perlu adanya arahan dalam menentukan lokasi ABKT sesuai peta indikasi ABKT dan areal berhutan.

“Tujuan dari diadakannya kajian ini selain implementasi dari Inpres nomor 8 tahun 2018 dengan lokasi di Kutai Timur, juga untuk mencari rumusan pengelolaan ABKT baik untuk areal di dalam perkebunan kelapa sawit, ataupun di luar kawasan perkebunan kelapa sawit,” lanjut Heru Herlambang.

“Banyak hal bisa dilakukan masyarakat terhadap areal hutan. Misalnya untuk peningkatan ekonomi seperti wisata alam, juga untuk perlindungan kawasan lain, seperti halnya kawasan di wilayah hutan mangrove,” lanjutnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Amrullah, yang juga membuka webinar ini, menyebut jika pihaknya sangat mengapresiasi upaya dari berbagai pihak terkait, yang sudi membantu institusi yang dipimpinnya dalam hal tata kelola kawasan hutan. “Peran masyarakat memang sangat penting artinya. Sinergi ini sangat dibutuhkan, dan menunjukkan jika urusan kehutanan di Kalimantan Timur, bukan hanya bertumpu pada kinerja Dinas Kehutanan. Inisiatif seperti ini perlu ditingkatkan untuk menjamin keberadaan kawasan hutan tetap lestari,” ungkapnya.

Hal serupa juga disampaikan perwakilan Direktorat Jenderal Planologi dan Lingkungan (PKTL) Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, menyebut kajian yang dilakukan bisa membantu pihaknya dalam mencari model rumusan yang tepat. “Jangan lupa, di setiap daerah di Indonesia, selalu memiliki kearifan lokalnya masing-masing. Jadi perlu kajian yang komprehensif, karena bisa jadi model untuk satu wilayah tertentu, tidak pas jika dipaksakan untuk wilayah lainnya,” ungkap Ary Sudijanto.

Pertemuan yang diakhiri pukul 12.00 Wita tersebut, memang digelar secara virtual mengingat pandemi Covid-19 yang belum reda. Beberapa pihak terkait yang bisa menyempatkan hadir di antaranya dari KLHK Republik Indonesia, Dinas Kehutanan Kaltim, Dinas Perkebunan Kaltim, Bappeda Kutai Timur, BPKH Wilayah IV Samarinda, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, UNDP, KalFor, juga Dewan Daerah Perubahan Iklim (DPDI) Kaltim. (*)

 

Ikuti berita-berita berkualitas dari kaltimkece.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar