Terkini

Penjelasan Lengkap Citiasia Seputar Polemik Logo Magnificent Samarinda

person access_time 5 years ago
Penjelasan Lengkap Citiasia Seputar Polemik Logo Magnificent Samarinda

Foto: Ika Prida Rahmi (kaltimkece.id)

Menjadi buah bibir satu kota, konsultan pembuat logo angkat bicara. Tudingan pencurian dan plagiarisme dibantah seluruhnya. 

Ditulis Oleh: Ika Prida Rahmi
Jum'at, 01 Februari 2019

kaltimkece.id Citiasia Inc selaku konsultan yang membuat masterplan smart city dan logo branding Magnificent Samarinda menepati janji. Perusahaan tersebut memberikan keterangan pers pada Jumat, 1 Februari 2019. Mereka mengklarifikasi logo Magnificent Samarinda yang terindikasi plagiat. Klarifikasi di sebuah kedai di Jalan Juanda itu turut dihadiri sejumlah pejabat teras Pemkot Samarinda.

Citiasia berbicara mengenai dugaan plagiat yang mengemuka dari logo berbentuk “M” yang berimbuh sebuah lengkungan. Bagian di dalam logo tersebut serupa dengan AA Bridge, karya George Bokhua, seorang desainer visual dari Amerika Serikat.

Sebagai pembuka, Citiasia menjelaskan bahwa mereka adalah perusahaan yang berfokus dalam promosi dan pelaksana program smart city di sejumlah kota besar di Indonesia. Samarinda adalah salah satunya. 

Founder CEO Citiasia Inc, Farid Subkhan, mengatakan bahwa logo branding yang dirilis Pemkot Samarinda pada 21 Januari 2019 sebagai hasil karya Citiasia. Farid membantah keras tuduhan mencuri desain Goerge Bokhua. Logo buatan Citiasia yang diluncurkan pada ulang tahun Kota Samarinda merupakan modifikasi gabungan dari ejaan A, M, dan A. Sebuah lengkungan kemudian digabung dalam satu huruf sehingga membentuk kata Samarinda.

Menurut Farid, pada era dunia digital yang serba terkonvergensi seperti sekarang, terdapat jutaan ide di dunia maya. Ide bisa muncul dari mana saja. Kemiripan desain logo merupakan hal yang wajar. Farid menegaskan, Citiasia sudah mengadakan sejumlah penelitian mengenai karakteristik kota Samarinda sebelum memutuskan logo Magnificent Samarinda. Ejaan huruf A, M, dan A terinspirasi dari gabungan Jembatan Mahkota II dan Jembatan Mahakam IV. Sejumlah orang disebut berpartisipasi dalam pembuatan logo tersebut.

Baca juga:
 

"Yang pasti, di dalam proses pembuatan logo, kami sudah melakukan kajian. Diskusi dengan beberapa orang. Kami juga mempelajari beberapa dokumen Samarinda. Secara proses akademik maupun profesional, itu sudah selesai dan terpenuhi," urai Farid. 

Apabila logo branding yang dibuat Citiasia tidak sesuai keinginan sehingga harus diganti, bukan menjadi masalah. Masterplan smart city yang dimenangkan Citiasia, sudah selesai dikerjakan dan diserahkan kepada Pemkot Samarinda. “Mau diganti atau tidak, dari konteks produksi, kami sudah menjelaskan proses pembuatan logo. Yang namanya polemik atau pro-kontra di dalam sebuah logo pasti pernah terjadi di mana pun," lanjutnya. 

Farid menekankan, pihaknya tidak memiliki kapasitas mengganti logo. Di samping itu, walaupun pembuatan logo disayembarakan, tidak menjamin hasilnya adalah yang terbaik. “Boleh saja disayembarakan, tetapi apakah akan memunculkan yang terbaik? Tidak juga," imbuhnya. 

Baru Tahu George Bokhua

Citiasia mengaku tidak mengenal George Bokhua, desainer Amerika Serikat yang karyanya mirip dengan logo branding Magnificent Samarinda. Menurut Farid, dia baru mengetahui nama Bokhua setelah logo Magnificent Samarinda viral. Citiasia menekankan bahwa ide logo Magnificent Samarinda bukan dari membeli karya orang lain yang kemudian diubah. Ide melewati kajian yang melahirkan strategi branding tersebut.

"Saya juga sampai ikut-ikutan mencari siapa George Bokhua. Logo SAAP digunakan untuk perusahaan apa, dibuat untuk siapa, saya juga tidak tahu. Logo dia itu hanya dijual puluhan dollar. Hak beliau (Bokhua) juga bahwa dia berpikir pada 2015 pernah membuat logo SAAP dan ada kemiripan. Terus dia bilang itu adalah pencurian. Ya, boleh saja dia ngomong begitu. Tapi kami ‘kan tidak melakukan itu," bantah Farid. Dari seluruh penjelasan tersebut, dia menginginkan polemik logo segera selesai. 

Baca juga:
 

Disinggung harga pembuatan logo, Farid menjelaskan masih satu proyek dengan pembuatan branding smart city Samarinda. Untuk harga pembuatan logo, sifatnya subjektif. Ada perusahaan yang bisa membayar sampai miliaran rupiah.

"Ini adalah projects. Kami hanya ingin membantu Samarinda dalam konteks smart city agar Samarinda bisa menjadi smart city," lanjutnya. 

Farid sempat menyebutkan bahwa penyebab logo menjadi polemik karena peran media yang terlalu melebih-lebihkan. Media, sebut Farid, selalu mempersalahkan. Diulas sedemikian rupa demi mencari pembaca terbanyak. 

"Jangan kita kebanyakan ribut. Kita ini, kalau diributi terus, sampai setahun logonya tidak keluar. Tidak presentasi promosi Samarinda. Tidak mendapatkan apresiasi di tingkat nasional. Jadinya, tidak membangun juga. Yang penting jadi berita, terus viral. Teman-teman media dapat berita semua, ya, silakan saja," ucapnya. 

Banyak Logo yang Mirip

Hari Kusdaryanto, Chief Operating Officer Citiasia, turut memberi tambahan. Dia mengatakan, banyak logo pariwisata di daerah hanya modifikasi dari logo yang dikeluarkan Kementerian Pariwisata. Kalaupun logo buatan Citiasia dan buatan George Bokhua masih dipermasalahkan, ia mempersilakan publik untuk menilai.

"Kebetulan yang di-launching sementara baru logo dan jadi heboh. Sedangkan dokumen masterplan yang lain tidak. Secara legal, semua dokumen sudah kami serahkan. Pekerjaan kami selesai," terangnya. 

Kusdaryanto juga mengaku sempat kaget. Sepekan sebelum peluncuran logo, beredar sejumlah foto yang muncul terpotong-potong. Padahal, Citiasia tidak pernah mengeluarkan foto berisi filosofi logo. Gambar itu kemudian viral. “Jadi alurnya tidak jelas, kami punya filosofi. Satu font logo saja, (penjelasannya) bisa dua sampai tiga halaman. Ada penjelasannya semua," ucapnya. 

Kusdaryanto menyarankan agar seluruh penjelasan filosofi lebih dahulu dilihat. Bukan mengedepankan suka atau tidak suka. Dengan demikian, masyarakat dapat memahami bahwa logo muncul setelah terbentuknya konsep smart city yang dibuat Citiasia. Di dalamnya termuat blue print branding city, rancangan bangun Kota Tepian, hingga strategi pemasaran. 

"Jadi pemenang lelang harus menyusun masterplan. Membuat kajian rencana rancang membangun Mahakam. Begitu pula strategi marketing dan logonya. Bukan kapasitas Citiasia bahwa (pembuatan logo) ini harus disayembarakan," terangnya. 

Agar polemik tidak berkepanjangan, Kusdaryanto menyarankan logo Magnificent Samarinda didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM sebagai hak kekayaan kota Samarinda. "Supaya tidak polemik juga. Daftarkan saja sebagai HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Nanti mereka yang menentukan bahwa ini mencuri atau tidak," jelasnya. 

Bisa Diganti

Dalam jumpa pers, hadir Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Samarinda Aji Syarif Hidayatullah dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Samarinda, Asli Nuryadin. Kepada kaltimkece.id, Asli mengatakan, mengambil hikmah dari polemik dugaan plagiat. Menurutnya, Citiasia sudah bertanggung jawab atas kegaduhan. Asli meyakinkan bahwa proses pembuatan logo sesuai penyusunan kaidah filosofi.

Dari pernyataan Citiasia, Asli menegaskan bahwa dugaan plagiat sudah terbantahkan. Dirinya akan menyampaikan hal tersebut kepada Wali Kota Samarinda, Syaharie Jaang. "Suka tidak suka, pekerjaan ini sudah selesai secara legal,” tuturnya.

Selanjutnya, Asli mengatakan, Pemkot Samarinda mengenalkan dokumen masterplan smart city yang telah dibuat Citiasia. Hal itu agar masyarakat tak gagal paham mengenai kabar bahwa harga logo mencapai Rp 600 juta. Anggaran tersebut sebenarnya untuk keseluruhan masterplan.

Perihal perlunya penggantian logo branding Magnificent Samarinda, Bappeda akan membahas dengan tim smart city dan wali kota. ”Prinsipnya, di dunia ini tidak ada yang kekal abadi. Insya Allah bisa diganti. Saya kira bertahap itu nanti," jelas Asli. 

Kritik, Tipikal Smart City

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Annisa Wahyuni Arsyad, memiliki pandangan mengenai brand city Samarinda. Ia menilai persoalan logo hanya sebagian kecil dari city branding. Logo bukanlah satu-satunya indikator. 

Perempuan yang akrab disapa Ica ini juga mengatakan, dugaan plagiasi lambang Magnificent Samarinda perlu penelitian lanjutan. “Karena menyangkut aspek hukum,” ujarnya. Harus ditarik ke belakang mengenai filosofi logo serta penjelasan identitas logo tersebut. Logo sepatutnya membicarakan identitas mulai sejarah, filosofi, hingga hal yang ingin dikomunikasikan melalui logo tersebut. 

Jika ditarik ke belakang, city branding Samarinda sudah dibicarakan sejak 2015 lalu. Namun, kata Ica, ada kebingungan mau di bawa ke mana city branding tersebut. “Apakah tetap menggunakan slogan Kota Tepian atau waterfront city,” terangnya. 

Baru pada 2017, Pemkot Samarinda membuat masterplan dengan garis besar smart city. “Konsepnya bagus karena mengusung Samarinda sebagai Kota Tepian yang cerdas,” ujarnya. 

Namun demikian, Ica menambahkan, untuk menuju smart city prosesnya panjang. Sebelum menentukan magnificent sebagai salah satu kata di logo, mesti bicara hal fundamental. Sebagai contoh, soal kebersihan. Saat ini masih ada segelintir warga yang membuang sampah sembarangan. Padahal, kata “magnificent” memiliki arti yang wah, megah, dan luar biasa. Di situlah diperlukan sinergi antara city branding dan logo. Tidak dielakkan, proses pembuatannya memerlukan keterlibatan masyarakat. Masyarakat adalah bagian dari sebuah kota. 

Dosen mata kuliah manajemen komunikasi itu memberi contoh yang dekat dari Samarinda. Di Tana Paser, Kabupaten Paser, branding Kota Ungu dipakai. Branding tersebut sempat mendapat tentangan dari sebagian warga. “Itu contoh ketika pemerintah tidak mengomunikasikan kebijakan, bisa membuat masyarakat bereaksi,” tuturnya. 

Ica juga mengapresiasi gerakan sayembara yang digagas Yogi Setiawan, pemuda di Samarinda. Selain kreatif, cara tersebut santun. 

Baca Juga:
 

“Beginilah tipikal masyarakat smart city. Pemerintah harus bersiap dengan kritikan seperti itu,” terangnya. Ica setuju bahwa idealnya warga kota dilibatkan dalam penentuan logo. Pemerintah tak boleh menutup mata. Bila pemilihan logo dibuat dalam kompetisi terbuka, isu yang bergulir tak seperti sekarang. 

“Bahkan, kritik smart dari warga seperti sayembara itu, bisa memberi masukan bagi birokrat dalam mengambil keputusan,” pungkasnya. (*)

Dilengkapi oleh: Fachrizal Muliawan
Editor: Fel GM
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar