Terkini

Wajah Muram Kota Tenggarong-2: Hilangnya Pesona Planetarium Jagad Raya

person access_time 4 years ago
Wajah Muram Kota Tenggarong-2: Hilangnya Pesona Planetarium Jagad Raya

Teater Bintang PJRT tak beroperasi sejak Februari 2019. (Fachrizal Muliawan/kaltimkece.id)

Dari 32 ribu kunjungan jadi hanya 7 ribuan dalam setahun. Planetarium Jagad Raya Tenggarong kehilangan pesonanya.

Ditulis Oleh: Bobby Lolowang
Jum'at, 26 Juli 2019

kaltimkece.id Nama Tenggarong dan Kutai Kartanegara sedang harum-harumnya pada awal 2000. Sebagai kabupaten induk yang baru dimekarkan --melahirkan Kutai Timur dan Kutai Barat--, Kukar menjadi daerah ketiga yang memiliki planetarium di Indonesia. Sebelumnya, hanya Jakarta dan Surabaya yang memiliki fasilitas angkasa raya tersebut. Kebanggaan semakin berlipat-lipat karena Planetarium Jagad Raya Tenggarong atau PJRT menjadi yang pertama di Asia Tenggara yang memiliki tayangan tiga dimensi yang bisa dinikmati tanpa kacamata.

Planetarium adalah teater bintang atau alam semesta. Menyuguhkan visual atau pengamatan langsung isi alam semesta dan susunan tata surya. Dibangun sejak 2000, PJRT diresmikan Wakil Presiden RI ke-9, Hamzah Haz, pada 16 April 2003. Gedungnya berdiri di Jalan Pangeran Diponegoro, bersebelahan bangunan Museum Mulawarman. Planetarium pun dengan segera menjadi destinasi wisata utama Tenggarong.

Menurut dokumen yang diperoleh kaltimkece.id, pembangunan planetarium Tenggarong dibiayai APBD Kukar sebesar Rp 18 miliar. Fasilitas ini dilengkapi optical system Zeiss Skymaster ZKP 3 buatan Carl Zeiss dari Jerman. Perabotan astronomi ini memiliki tinggi 2.750 milimeter dengan berat 250 kilogram. Dilengkapi 100 lensa untuk memproyeksikan berbagai bentuk benda langit seperti matahari, bulan, komet, meteor, bintang, rasi, dan galaksi. Planetarium Tenggarong juga dilengkapi sistem digital Zeiss Powerdome dengan video system 2 vp Zeiss Velvet (1+1 center).

Selain proyektor utama, Skymaster ZKP 3 memiliki pendukung berupa efek proyektor. Ada pula delapan proyektor slide yang berfungsi memproyeksikan gambar. Hasil proyeksi perangkat teknologi tersebut ditampilkan di sebuah ruang berbentuk kubah dengan diameter 11 meter. Penonton bisa menyaksikan keindahan semesta dari 92 kursi yang ditempatkan melingkar, menghadap ke proyektor.

Ruang teater bintang, demikian namanya, dirancang dengan meminimalisasi masuknya cahaya untuk mengoptimalkan pertunjukan. Ruangan ini dilengkapi mesin pendingin untuk melancarkan sirkulasi udara. Termasuk, menjaga perangkat teknologi di dalamnya bekerja di bawah suhu rendah yang ideal.

Pada 2014, semasa pemerintahan Bupati Rita Widyasari, PJRT melewati upgrade besar-besaran. Fasilitas terbaru memungkinkan teater bintang menayangkan cuplikan tiga dimensi yang bisa dinikmati tanpa kacamata. Fitur tersebut muncul berkat upgrade optik ke ZKP 4. Konon, tak satu pun planetarium di Asia Tenggara memiliki fasilitas tersebut saat itu.

Geliat teknologi baru, sempat mengembalikan kejayaan PJRT yang sempat meredup. Pada Idulfitri 2014, lebih 2 ribu orang datang berkunjung dalam sehari. Jam tayang diputar hingga delapan kali, sedari biasanya hanya empat kali sehari. Sepanjang 2014 saja, jumlah kunjungan mencapai 22 ribu orang. Angka wisatawan segitu mencetak Rp 160 juta ke pendapatan asli daerah atau PAD Kukar.

Sayangnya, antusiasme publik hanya sesaat. Setelah mencatatkan puncak kunjungan pada 2015 dengan 32.100 kedatangan, tahun berikutnya turun jadi 32.066. Sedangkan pada 2017, merosot tajam ke angka 7.025 (Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka 2018, Badan Pusat Statistik Kukar).

Merosotnya antusiasme publik seturut dengan kondisi PJRT. Fasilitas yang dibanggakan itu sudah tak beroperasi penuh. Sejak Februari 2019, teater bintang tak lagi bersinar. Tingkat kunjungan pun terjun bebas. “Proyektor sebenarnya masih berfungsi. Tapi tidak optimal,” terang Kepala Dinas Pariwisata Kukar, Sri Wahyuni, kepada kaltimkece.id, Rabu, 17 Juli 2019.

Dalam beberapa penayangan, layar dome tak lagi terlihat penuh. Sebagian sisi tak menampilkan visual secara optimal. Selain mengganggu konsumen, dikhawatirkan memperparah kerusakan jika tetap dipaksakan. “Namanya juga menggunakan teknologi optik, pasti saling berkaitan dengan perangkat lain. Satu tak berfungsi, bisa mengganggu fungsi yang lain,” sebut Sri di ruang kerjanya.

Celakanya, kerusakan tak bisa segera mendapat perbaikan. Dinas Pariwisata Kukar sebagai pengelola, sudah beberapa tahun ini kehilangan kontak dengan Carl Zeiss sebagai penyedia teknologi. “Tapi kini saya sudah dapat kontak perwakilan Carl Zeiss Jerman yang berkantor di Malaysia. Sudah berkomunikasi dan mereka akan datang ke Tenggarong,” jelasnya.

Masalah serupa, kata Sri, juga terjadi dengan planetarium lain di Indonesia. Penerapan teknologi tersebut sejauh ini masih menggunakan produk perusahaan yang sama. Masalah kehilangan kontak baru terpecahkan setelah pengelola planetarium se-Indonesia berkumpul pada ulang tahun Planetarium Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu.

Disebutkan Sri, pemeliharaan rutin planetarium selama ini dijalankan Dinas Pariwisata Kukar sebagai pengelola. Namun, perawatan sebatas penerangan dan pendingin ruangan. Segala hal berkaitan teknis optical, diserahkan kepada perusahaan produsen alat.

Sri menolak menjawab dengan perinci mengenai besaran anggaran pemeliharaan planetarium. Begitu pula jumlah rupiah yang digelontorkan ketika upgrade besar pada 2014 silam. Proyek peningkatan, sebutnya, di bawah Dinas Pekerjaan Umum Kukar. Dinas Pariwisata Kukar hanya mengelola begitu proyek siap dioperasikan. “Yang jelas, namanya teknologi tinggi, pasti biayanya tinggi,” sebut Sri.

Dalam penelusuran kaltimkece.id, laman resmi Carl Zeiss tak merinci besaran biaya yang dipatok terhadap teknologi keluarannya. Namun mengacu pendataan Worldwide Planetarium Database, Bays Mountain Park & Planetarium di Kingsport, Tennessee, Amerika Serikat, membayar USD 1,3 juta atau setara Rp 18,19 miliar pada 2009 untuk upgrading Zeiss ZKP4 dan fulldome. Peralatan yang persis dengan yang dipasang di Planetarium Jagad Raya Tenggarong pada 2014.

Sri juga mengaku belum mendapat gambaran besaran dana untuk perbaikan optik. Angka pasti masih menanti hasil pemeriksaan langsung Carl Zeiss. Yang dikhawatirkan, biaya mendatangkan teknisi perusahaan ke Tenggarong dibebankan kepada pengelola. Bisa-bisa, total perbaikan semakin tinggi. Padahal, PJRT sudah lama tak beroperasi penuh. Praktis minim pemasukan dari kunjungan.

Meski demikian, menurut Sri, planetarium yang juga kepentingan sains, sudah sewajarnya berbiaya tinggi. Bukan profit yang dikejar. Kebutuhan operasional mengandalkan subsidi. PJRT dibangun bukan semata untuk hiburan. Tapi juga memperkenalkan dunia astronomi kepada publik dengan cara aktraktif.

Tanpa teater bintang, planetarium kini mengandalkan fitur seperti display benda tata surya. Memamerkan pola tata kerja sistem surya. Seperti proses gerhana matahari dan fenomena alam serupa di lantai satu. Teropong untuk pengamatan juga tersedia, namun tidak dipamerkan. Hanya dikeluarkan pada masa-masa tertentu seperti pengamatan komet atau gerhana bulan. (*)

Dilengkapi oleh: Arditya Abdul Aziz
Editor: Fel GM
 
Baca juga serial liputan khusus ini:
 
 
 
 
 
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar