Ekonomi

Mengurai Masalah PDPAU, Utang Miliaran Rupiah, Tanpa Kontribusi untuk PAD Samarinda

person access_time 3 years ago
Mengurai Masalah PDPAU, Utang Miliaran Rupiah, Tanpa Kontribusi untuk PAD Samarinda

Kantor PDPAU Samarinda. (Rizki Hadid/Kaltimkece.id)

Sorotan tajam mengalir deras kepada PDPAU. Perusda Samarinda tersebut sudah bertahun-tahun tanpa kontribusi PAD.

Ditulis Oleh: Muhammad Rizki Al Hadid
Kamis, 04 Februari 2021

 

kaltimkece.id Jabatan Khairul Fadly sebagai direktur utama Perusahaan Daerah Pergudangan dan Aneka Usaha (PDPAU) Samarinda berakhir Juli ini. Memegang kendali tertinggi selama dua periode, belum sepeser pun disumbangkan untuk PAD Samarinda. Sorotan tajam pun mengalir deras.

Pada 28 Januari 2021, Ketua Forum Pemuda Pemuda Peduli Pembangunan Daerah, Najir, meminta Khairul Fadly diberhentikan dari jabatannya. “Tidak ada terobosan. Jangan jadikan pandemi sebagai alasan,” ucapnya.

Khairul Fadly telah memimpin PDPAU selama dua periode. Yakni pada 2013-2017 dan 2017-2021. Tak menutup kemungkinan ia bisa menjabat untuk ketiga kali. Mengingat dalam kebijakan perusahaan, ada klausul yang memungkinkan hal tersebut.

“Jika ada yang mau menggantikan saya, silakan saja,” ucapnya kepada kaltimkece.id.

Ketika pertama kali menjabat pada 2013, Khairul dihadapkan serangkaian persoalan perusahaan. Mulai aset, laporan keuangan, hingga kewajiban yang belum diselesaikan dari periode sebelumnya. “Awalnya saya berkantor di balai kota lantaran di Kantor PDPAU ini tidak ada orang dan kegiatan,” ujarnya.

Awal memimpin PDPAU, ia mengaku tidak digaji selama tiga bulan pertama. Hal itu juga telah disampaikan Pemkot sejak jauh hari lewat surat pernyataan. Bulan berikutnya, ia masih tak menerima upah. Namun mulai mendapat fasilitas kendaraan. Termasuk uang operasional.

Dengan situasi tersebut, ia sudah dibebankan persoalan yang sangat kompleks. Ada beban utang Rp 6 miliar perlu dituntaskan. Terbagi lagi utang yang bisa diverifikasi dan tidak. Sementara setiap tahun, keuangan perusahaan diaudit kantor akuntan publik.

“Dengan audit seperti itu, utang piutang harus dikonfirmasi ke orang bersangkutan. Banyak yang tercatat tapi tak bisa dikonfirmasi,” katanya.

Beban utang PDPAU sebenarnya bisa makin ringan mengingat perusahaan pelat merah tersebut memiliki piutang Rp 5 miliar. Namun demikian, tak ada yang bisa ditagih sama sekali lantaran tidak bisa dikonfirmasi.

Selain Kantor Akuntan Publik, PDPAU juga diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI setiap tahun. Seluruh aset dicek. Termasuk ketika pada 2016 PDPAU mengembalikan tanah dengan izin HPL nomor 01 di dekat SMA 8 Samarinda yang dikerjasamakan bagi hasil dengan pengusaha SPBU.

“Kita dapat 17 persen dari penghasilan SPBU. Setahun pernah saya terima tiga kali. Hanya Rp 40 juta setahun,” paparnya.

Penerimaan Rp 40 juta setahun memang tergolong kecil bagi perusahaan daerah. Namun setidaknya, aktivitas ini menjadi contoh bahwa aset-aset PDPAU bisa mendatangkan rupiah. Namun demikian, keadaan perusahaan pelat merah tersebut sudah terlanjur kompleks. Beberapa aset tidak dilengkapi dokumen. Sebagian yang ada pun atas nama karyawan.

Praktis, aset yang bisa diberdayakan menjadi sangat terbatas. Salah satunya tanah di Gang Pusaka Jalan Ir Sutami yang telah dibisniskan sebagai perumahan. PDPAU juga memiliki aset tanah 25 hektare di Sambutan.

Kewajiban pun kian menumpuk. Termasuk kewajiban asuransi yang sejak 2010 belum dibayar, sementara manfaatnya sudah didapatkan. Hal ini dirasakan langsung oleh Fadly. Sejak awal masuk PDPAU belum menerima manfaat apa-apa dari asuransi tersebut, tapi harus membereskan kewajibannya. “Akhirnya saya buat permohonan untuk dicicil,” sebutnya.

PDPAU juga ada kewajiban menyelesaikan pesangon 28 karyawan dengan total Rp 1,2 miliar. Seluruhnya telah dirumahkan sebelum periode Fadly. “November 2010 PDPAU ini mulai jatuh. Tidak ada operasional. Karyawan tercatat tapi tidak ada kegiatan. Dirumahkan. Tak ada duit untuk bayar,” ungkapnya.

Saat ini yang masih dicicilnya adalah pajak periode 1996-2000 senilai Rp 1,2 miliar. Dengan cicilan Rp 30 juta per bulan. “Ini sungguh berat. Apalagi kami sepeser pun tak pernah dapat penyertaan modal,” ucapnya.

PDPAU pernah meminjam uang ke Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Samarinda. Saat itu, mendiang Nusyirwan Ismail ebagai wakil wali kota Samarinda menugaskannya menyiapkan rumah susun sewa (rusunawa) di kompleks pergudangan Jalan Ir Sutami.

Kondisi rusunawa tersebut masih tanpa listrik dan air. Menurut rencana bakal dipakai untuk relokasi warga di Jalan Ruhui Rahayu Samarinda yang sempat demo hingga menginap di Rumah Jabatan Wali Kota Samarinda.

Lantaran tak ada uang dan butuh sekitar Rp 600 juta untuk mengeksekusi tugas tersebut, ia meminjam ke BPR Samarinda. Dalam waktu sebulan, tugas itu dituntaskan. Namun, warga justru menolak dipindah, sementara pinjaman dari BPR Samarinda terlanjur cair.

Menyiasati kewajiban yang terus berjalan, rusunawa kemudian disewakan untuk umum. Biayanya Rp 400 ribu sebulan. Sekarang sudah 95 persen terisi. Utang ke BPR pun sudah lunas.

Dari empat rusunawa PDPAU, hasilnya disebut Fadly cukup lumayan. Tiap bulan menghasilkan Rp 50 juta. Ditambah unit bisnis lain berupa penyewaan sembilan petak gudang. Lantai dua kantor PDPAU pun disewakan. Juga ada perumahan di Jalan Ir Sutami Gang Pusaka yang sudah laku 12 dari 14 unit.

PDPAU juga menyediakan jasa kebersihan ke penyewa gudang dengan nilai Rp 400 ribu per gudang tiap bulan. Fadly juga membuka bisnis tiket pesawat. Sebelum pandemi, mereka biasa melayani perjalanan dinas Pemkot Samarinda.

Tak sampai di situ, Fadly juga mendirikan bisnis pangan. Berjualan ayam potong dan sembako. Sebagaimana daerah lain memberdayakan BUMD menangani penjualan ayam potong. “Kami coba jalankan di dekat rusunawa. Pendapatan pada 2020 sebesar Rp 1,4 miliar,” imbuhnya.

Bisnis ayam tersebut melayani UMKM. Harganya lebih miring karena pakai ayam beku. Kalau pakai ayam segar malah mengurangi pasokan dan jadi inflasi.

Hasilnya langsung positif. Bisnis ayam tersebut membuat Pemkot Samarinda diganjar award TPID terbaik. Pemkot dianggap menguatkan peran BUMD menangani inflasi, terutama masalah kebutuhan ayam potong.

Total PDPAU menerima sekitar Rp 200 juta per bulan dari ongkos sewa empat unit rusunawa. Bisnis pangan pun setahun meraup Rp 1,4 miliar. Ditambah penyewaan gudang Rp 1 miliar per tahun. Sementara biaya operasional dari 30 karyawan dengan gaji UMK Rp 3 juta lebih, pengeluaran per bulan hampir Rp 100 juta. Ditambah lagi operasional bisnis pangan yang tak disebutkan nilainya.

Dari pemasukan tersebut, pelan-pelan kewajiban PDPAU tertangani. Sisa kewajiban pajak pun tinggal Rp 1 miliar.  Bahkan masih tersisa ratusan juta rupiah setahun yang jadi laba perusahaan.

Menurut Fadly, ratusan juta rupiah laba perusahaan tersebut, diperuntukkan dana cadangan usaha untuk investasi lagi. Fadly menyatakan bahwa bisnis pangan masih butuh modal. Minimal punya cold storage. Selama ini, bisnis ayam beku itu hanya menggunakan beberapa freezer box dengan kapasitas besar. Namun cuma mampu menyimpan 1,5 ton. Jika punya cold storage kecil saja, ukurannya bisa 6,7 ton. Kehadirannya pun bisa memperbesar omzet.

“Saya masih punya mimpi. Apalagi pangan ini penugasan yang sayangnya tidak diikuti penyertaan modal,” tuturnya.

Ia meyakini bisnis pangan bisa lebih besar lagi. PDPAU pun optimistis kelak bisa menyumbang PAD. Apalagi jika mendapat penyertaan modal dari Pemkot Samarinda. Fadly telah dua kali mengajukan. Namun keduanya kandas.

Perusda yang Dianaktirikan

Anggota Komisi II DPRD Samarinda Laila Fatihah mengatakan bahwa beberapa perusda di Samarinda tengah dievaluasi Komisi II. “Wali kota terpilih menyiapkan 100 hari kerja. Kami kasih masukan sebagai pertimbangan,” ucap Laila.

PDPAU pun jadi sorotan keras dalam evaluasi tersebut. Tak ada kontribusi dari PAD. Kelanjutannya pun dinilai tak terlalu perlu. Terlebih bila dibandingkan PDAM yang kehadirannya sangat sentral memenuhi kebutuhan air bersih warga kota ini.

“Kami ingin perusda harus ada timbal balik untuk pemkot. Setiap perusda harus memberi PAD walau tetap kami subsidi. Tapi bukan berarti kami subsidi, pemkot tak mendapat apa-apa juga,” ucapnya.

Tim Banggar DPRD Samarinda juga menilai PDPAU belum krusial. Permohonan penyertaan modalnya pun ditunda lantaran masih ada yang lebih prioritas. “Kami ini berhitung. APBD tak bisa dihambur-hamburkan,” ungkap dia.

Pendapat berbeda disampaikan pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, Haerul. Menurutnya, penurunan utang sebagaimana dilakukan PDPAU saat ini, mesti diapresiasi. Apalagi capaian tersebut didapat tanpa penyertaan modal dari pemerintah.

Sebetulnya, ini bisa jadi pertimbangan ke DPRD bahwa PDPAU mampu bekerja tanpa tambahan modal. “Ini contoh klasik. Kalau urusan bisnis diputuskan secara politik ya repot. Eksekutif dan legislatif itu kan badan politik,” pungkas Haerul. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar