Ekonomi

Pembatasan Produksi Batu Bara, Pertumbuhan Ekonomi Kaltim Tahun Ini Bisa Minus 3 Persen

person access_time 4 years ago
Pembatasan Produksi Batu Bara, Pertumbuhan Ekonomi Kaltim Tahun Ini Bisa Minus 3 Persen

Potret salah satu konsesi tambang batu bara di Kaltim. (dokumentasi kaltimkece.id)

Kelangsungan bisnis batu bara yang mengikuti pasar internasional, membuat pengusaha pikir-pikir untuk memproduksi dalam jumlah banyak.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Selasa, 24 September 2019

kaltimkece.id Ada kekhawatiran atas dampak pemangkasan jatah produksi emas hitam Kaltim. Pertumbuhan ekonomi diprediksi merosot tajam. Bermula dari angka produksi yang tak memenuhi target kewajiban pasok batu bara dalam negeri (DMO).

Batu bara DMO adalah batu bara kualitas rendah dengan kalori 2-3 ribuan kcal/Kg. Emas hitam jenis ini, diperuntukkan industri pembangkit listrik. Sementara batu bara kualitas ekspor, memiliki kalori di atas 5 ribuan kcal/Kg. Biasanya untuk industri besar seperti baja dan manufaktur lain.

Kuota dan realisasi DMO tak dapat dipisahkan dari rencana produksi dan realisasi emas hitam yang direncanakan provinsi tiap tahunnya. Pada 2018, perusahaan izin usaha pertambangan (IUP) di Kaltim merencanakan produksi 103,47 juta ton. Mengikuti rencana tersebut, proyeksi DMO yang dipersyaratkan pemerintah sebesar 25 persen harusnya mencapai 25,75 juta ton.

Sayangnya, target total produksi jauh meleset. Perusahaan batu bara di Kaltim hanya memproduksi 69,64 juta ton. Begitu pula target DMO yang 25 persen, hanya mencapai 17,41 jua ton dari realisasi minimal. Praktis Kaltim hanya mampu memasok 8,32 juta ton. Minus 9,9 juta ton.

Kondisi demikian membuat Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hanya memperbolehkan Kaltim memproduksi 32 juta ton batu bara pada 2019. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara Samarinda (APBS), Eko Prayitno, pembatasan kuota tersebut memukul para pengusaha. Terkhusus pengusaha besar dengan kalori tinggi kualitas ekspor. Sebab, perusahaan tersebut memiliki kontrak penjualan tahunan dengan pembeli yang harus dipenuhi.

Masalahnya, tidak semua perusahaan memiliki kontrak. Ada juga yang mengandalkan trader atau perantara sebagai penjual produk galiannya. Ketika permintaan batu bara internasional menurun, ditambah rendahnya harga batu bara acuan, perusahaan pikir-pikir menambang lebih banyak. Kondisi tersebut ditengarai membuat produksi batu bara Kaltim tak mencapai target.

Khusus di Samarinda, tak banyak lagi perusahaan kecil memproduksi batu bara kualitas DMO. Salah satunya karena konsesi yang kebanyakan mulai habis. Mayoritas pengusaha di APBS mengantongi izin usaha pertambangan (IUP)."Di APBS paling tinggal puluhan perusahaan saja," katanya.

Kalaupun ada perusahaan yang produksi batu bara kalori rendah, perusahaan  tak punya banyak pilihan. Pengalaman puluhan anggota APBS, mereka terpaksa menjual batu bara kalori rendah ke trader. Dari agen penjual itulah nasib batu bara kualitas rendah atau ekspor ditentukan. Dijual menjadi DMO, atau dicampur batu bara kualitas lainnya.

Pencampuran dimungkinkan untuk menurunkan spesifikasi batu bara agar sesuai permintaan pembeli. Alias tidak ketinggian kalorinya. "Perusahaan kecil dipegang trader, biasanya dia ambil untuk di-blending (dicampur) dengan kalori rendah," kata Eko, Senin, 23 September 2019.

"Ini jadi soal. Bargaining positioning kita lemah. Karena dibeli trader di-blending untuk ekspor, jadi (DMO) terserap untuk ekspor," katanya.

Gubernur Kaltim Isran Noor menyadari spesifikasi kalori batu bara tiap perusahaan yang berbeda. Namun, ia menitikberatkan dampak pembatasan tersebut terhadap perekonomian Bumi Etam. Kaltim, harus diakui masih sangat bergantung emas hitam. Hingga triwulan III 2018, Badan Pusat Statistik Kaltim mencatat peran pertambangan batu bara mencapai 45,93 persen dari pertumbuhan provinsi ini.

Isran khawatir pengurangan tersebut memperlambat ekonomi Kaltim. Simulasi Isran bersama Bank Indonesia menunjukkan hal yang cukup menyeramkan. Jika kondisi tersebut dibiarkan, pertumbuhan Kaltim bakal minus 2,8 hingga 3 persen. Dampaknya diprediksi lebih buruk ketimbang 2016-2017 ketika ekonomi Bumi Etam minus 1,8 persen.

Menyikapi itu, dia sudah bersurat langsung ke Presiden Joko Widodo. Orang nomor satu di republik ini tersebut, kata Isran, langsung menelpon Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, di hadapannya. Isran tak merinci apakah setelah komunikasi tersebut ada perubahan.

Isran hanya menekankan pengusaha batu bara untuk jujur soal produksinya. Jangan sampai ada selisih perhitungan antara berapa yang diproduksi dan dijual. "Sebab bisa jadi kerugian negara," katanya.

Ketua Asosiasi Pasar Batu Bara Domestik Kaltim, Dahri Yasin, tersenyum kecil saat disinggung keberadaan pengusaha batu bara yang tak jujur. Pengusaha yang juga politikus Partai Golkar tersebut hanya memastikan jajarannya bakal bekerja sama dengan Dinas ESDM Kaltim. Mencegah tak ada batu bara ilegal yang dijual.

"Per 1 November 2019, ada apliaksi penjualan produksi dan pengangkutan. Jadi angkanya selaras," katanya di kegubernuran Kaltim pada hari yang sama.

Dia belum mendetail dari mana saja batu bara kualitas DMO bakal didatangkan. Yang jelas, setelah dilantik, asosiasi yang terdiri dari 20-an pengusaha tersebut akan rapat kerja dan berkomunikasi dengan Kementerian ESDM soal regulasi penjualan DMO.

Lewat asosiasi itu, pengusaha DMO asal Kaltim dikumpulkan.  Dibantu pemasaran dan pendanaan dengan menggandeng perbankan. Sebab, diakuinya pengusaha batu bara kerap kesulitan memutar modal. Pembayaran baru dicairkan per tiga bulan atau lebih. "Enggak usah berpikir dollar. Rp 10 ribu per ton dikalikan saja sudah lumayan," tandasnya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar