Ekonomi

Rumah adalah Kebutuhan Dasar tapi Pajaknya Selangit

person access_time 1 year ago
Rumah adalah Kebutuhan Dasar tapi Pajaknya Selangit

Perumahan di Samarinda. FOTO: HAFIDZ PRASETIYO-KALTIMKECE.ID

Pajak bernama BPHTB menyebabkan harga rumah yang sudah tinggi jadi makin mahal. Bisa belasan juta rupiah untuk sebuah rumah, muncul wacana agar dihapus saja.

Ditulis Oleh: Hafidz Prasetiyo
Selasa, 14 Maret 2023

kaltimkece.id Nama pungutan ini ialah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Jenis pajak itu sebelumnya dipungut pemerintah pusat sampai 2009. Sekarang, BPHTB dipungut badan pendapatan daerah kabupaten atau kota. BPHTB di satu sisi merupakan sumber pendapatan asli daerah yang besar. Di sisi lain, ia bisa memberatkan warga yang berjuang memenuhi kebutuhan primernya: papan.

Pungutan BPHTB di Samarinda diatur dalam Peraturan Wali Kota 51/2019 tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB. Pajak ini ditanggung oleh pembeli rumah. Wajib pajak akan dikenai pajak sebesar 5 persen dari harga rumah setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak (NPOP). Besaran NPOP di setiap kawasan berbeda-beda, bergantung nilai jual objek pajaknya. Menurut pasal 87 ayat 4 Undang-Undang 28/2009, besar NPOP paling rendah adalah Rp 60 juta.

Sederhananya, bayangkan seseorang membeli rumah tipe 36 nonsubsidi. Harga jualnya antara Rp 250 juta sampai Rp 300 juta di Samarinda. Apabila penjual dan pembeli sepakat di harga Rp 270 juta, perhitungan BPHTB menjadi: (Rp 270 juta - Rp 60 juta) x 5 persen. Pembeli pun harus membayar BPHTB Rp 10,75 juta. Besar pajak yang harus dibayar seorang pembeli rumah setara dengan harga sepeda motor matic tangan kedua.  

Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Kaltim, Bagus Susetyo, menjelaskan mengenai BPHTB dari kaca mata pengembang. Menurutnya, BPHTB memang merupakan sumber pendapatan besar bagi daerah. Akan tetapi, apabila BPHTB ini dihapus, banyak dampak positifnya. Transaksi properti dipastikan makin bergairah. Harga rumah pun bisa lebih murah. 

“Walaupun kami tentu tidak bisa berharap banyak. Pemerintah pasti bergantung dengan pajak ini sehingga belum ada kemungkinan menghapusnya,” tutur Bagus kepada kaltimkece.id.

Wacana menghapuskan BPHTB sebenarnya bukan barang istimewa. DKI Jakarta adalah contohnya. Pemprov DKI Jakarta memberikan dua kebijakan untuk BPHTB. Pertama, kebijakan 0 persen BPHTB yang dikhususkan untuk kepemilikan rumah pertama. Transaksi properti yang bisa menerima BPHTB 0 persen ialah yang berlokasi di NPOP maksimal Rp 2 miliar. Syarat lain, harus warga yang sudah berdomisili di DKI Jakarta selama dua tahun berturut-turut.

Baca juga:
 

Kebijakan kedua yaitu keringanan BPHTB yang disesuaikan dengan waktu pembayaran. Rumah dengan NPOP Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar yang membayar sebelum Agustus mendapat potongan BPHTB 50 persen. Untuk pembayaran September dan Oktober, potongannya 25 persen. Pembayaran November hingga Desember didiskon 10 persen. 

Di Kaltim, Bagus mengatakan, pengenaan BPHTB sangat beragam. BPHTB di Kutai Kartanegara, misalnya, hanya 2,5 persen dari nilai transaksi. Balikpapan dan Samarinda sama-sama 5 persen. “Semuanya merupakan kebijakan daerah masing-masing. Kami sebagai pengembang, ya, ikut saja,” tuturnya. 

Tingginya nilai tanah dan pajak memang diakui menimbulkan kelesuan di bisnis properti. DPD REI Kaltim menyebutkan, hanya perumahan bersubsidi yang masih primadona. Sementara itu, perumahan komersil atau nonsubsidi masih tersendat sejak 2015. Ia mengatakan, program nasional untuk rumah subsidi di Samarinda targetnya 15 ribu unit setiap tahun. Adapun kebutuhan rumah di Kaltim mencapai 25 ribu unit setahun. 

“Tingginya kebutuhan rumah tentu menjadi potensi kas daerah. Karena itu, saya rasa sulit BPHTB dihapus atau mendapat keringanan seperti di daerah lain,” tuturnya.

Tanggapan Wali Kota

Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menanggapi wacana penghapusan atau keringanan BPHTB. Ia mengakui bahwa BPHTB memang memberatkan sebagian masyarakat. Akan tetapi, apabila melihat kemampuan fiskal daerah, kebijakan populis seperti menghapus BPHTB sukar diambilnya. Kalaupun daerah lain membebaskan BPHTB, Andi Harun menegaskan, tentu telah disesuaikan kemampuan keuangan daerah. 

“Jadi, tidak bisa dibandingkan seperti itu. Mereka (DKI Jakarta) APBD-nya besar sekali. Sampai Rp 90-an triliun,” sebutnya.

Andi Harun, wali kota Samarinda. Meskipun diakui memberatkan sebagian warga, BPHTB masih sulit dihapus atau diberi keringanan. FOTO: ARSIP KALTIMKECE.ID

Menurut Andi Harun, DKI Jakarta wajar mengambil kebijakan membebaskan BPHTB untuk pembelian properti pertama. Kemampuan keuangan daerahnya tinggi ditambah kebutuhan pembangunan mudah memperoleh dukungan pemerintah pusat. “Saya kira, bahkan untuk memberi keringanan pembelian kedua, mereka (DKI Jakarta) masih sanggup,” kata politikus Partai Gerindra ini.

Berbeda dengan Samarinda. Wali Kota mengatakan, kota ini memerlukan banyak program pembangunan. Ada pengendalian banjir, perbaikan tata kota, kesehatan, dan pendidikan. Untuk memenuhi itu semua, Pemkot Samarinda bahkan harus bekerja secara bertahap. Secara tidak langsung, pemkot memerlukan pendapatan dari pajak.

“Walaupun begitu, nanti kami nilai lagi soal ini,” jelas Andi Harun. 

Menurut realisasi PAD dari Badan Pendapatan Daerah Samarinda, BPHTB merupakan sumber utama kas daerah. Sektor ini selalu masuk tiga besar pajak daerah dalam tiga tahun terakhir. Pada 2019, BPHTB menyumbang Rp 62 miliar, bertambah Rp 1 miliar pada tahun berikutnya, dan melonjak tajam menjadi Rp 85 miliar pada 2021. PAD Samarinda yang juga tak kalah besar adalah pajak bumi dan bangunan. 

Desain Grafik: M NAUVAL-KALTIMKECE.ID
 

Andi Harun menguraikan bahwa BPHTB dan PBB adalah penopang utama PAD Samarinda. Kedua sumber kas daerah ini dipastikan terus digenjot untuk mendongkrak APBD. “Memang itu (menggenjot sektor pajak) adalah langkah yang tidak populis. Meskipun, tidak menutup peluang juga kami bakal mengkaji lagi,” terangnya. 

Akademikus Universitas Mulawarman, Purwadi, menilai bahwa tidak ada salahnya Pemkot Samarinda mengkaji kembali besaran BPHTB. Kalaupun kebijakan itu memengaruhi PAD Samarinda, harus ada terobosan kreatif untuk menggali sumber pundi kas daerah yang lain. Ada beberapa peluang yang bisa meningkatkan PAD. Sektor jasa dinilai paling pas digenjot untuk Samarinda. Pelayanan kesehatan dan pendidikan juga memiliki peluang yang sama. 

Purwadi, akademikus Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman. FOTO: ARSIP KALTIMKECE.ID
 

“Belum lagi retribusi parkir dan pasar yang sangat besar potensinya. Sektor pariwisata juga dapat menjadi sumber pendapatan jika dikelola dengan baik,” saran dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis tersebut.

Ia sepakat bahwa pemerintah daerah tidak bisa bergantung dana bagi hasil semata. Harus ada upaya agar pajak daerah tidak membebani masyarakat. 

Dan yang terpenting dari semua itu, rumah adalah kebutuhan primer manusia. Sudah semestinya, pemerintah terus mendorong ketersediaan rumah bagi penduduk dengan harga terjangkau alih-alih mengambil pajak sampai belasan juta rupiah. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar