Hukum

Arti Penting Pengesahan RUU TPKS bagi Ratusan Penyintas Kekerasan Seksual di Kaltim

person access_time 2 years ago
Arti Penting Pengesahan RUU TPKS bagi Ratusan Penyintas Kekerasan Seksual di Kaltim

Unjuk rasa yang mendorong pengesahan UU TPKS (foto: arsip kaltimkece.id)

Ratusan korban kekerasan seksual disebut sulit mendapatkan keadilan. UU TPKS jadi harapan bagi mereka.

Ditulis Oleh: Samuel Gading
Selasa, 12 April 2022

kaltimkece.id Setelah sepuluh tahun diperjuangkan, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disahkan. RUU ini diketuk dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani, Selasa, 12 April 2022. Kehadiran UU TPKS pun disebut harapan bagi ratusan korban kekerasan seksual Kaltim yang kesulitan mencari keadilan. 

Menukil catatan Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, setidaknya ada 513 korban kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2021. Sebanyak 34 persen korban adalah orang dewasa dan 66 persen anak-anak. Kekerasan seksual menjadi yang tertinggi dengan 216 kasus. Sebanyak 191 korban di antaranya anak-anak. 

Sementara itu, hanya dua bulan sepanjang 2022, DKP3A mencatat jumlah kekerasan seksual sudah 40 kasus. Sebanyak 33 korban adalah anak-anak dan tujuh korban orang dewasa. 

_____________________________________________________PARIWARA

Kepala DKP3A Kaltim, Noryani Sorayalita, menjelaskan bahwa kebanyakan kasus terjadi di lingkungan rumah tangga. Riset yang diperoleh DKP3A menyebutkan, mayoritas pelaku kekerasan seksual tidak lain orang dekat atau anggota keluarga korban. Dari 16 sampel kasus, hanya satu yang pelaku kekerasan yang bukan keluarga. 

"Jadi bisa ayah, paman, saudara, pacar, teman, bahkan kakek. Bukan orang jauh (pelakunya). Bukan bermaksud suuzon tapi sebagai orangtua kita harus waspada menjaga anak-anak," jelas Noryani kepada kaltimkece.id melalui sambungan telepon. 

Berdasarkan pengakuan beberapa keluarga korban, Noryani melanjutkan, sebagian besar kasus kekerasan seksual tidak sampai ke pengadilan. Banyak kasus di Kaltim berhenti di tingkat penyidikan karena sejumlah alasan. Satu di antaranya adalah kehadiran saksi mata. Aparat hukum sering kesulitan mencari saksi yang bisa membenarkan keterangan korban. 

"Padahal, kalau ada saksi, kekerasan itu tentu tidak terjadi. Selama ini ada pemahaman seperti itu," jelasnya. 

Kepala Bidang Hukum dan Advokasi Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC-PPA) Kaltim, Sudirman, membenarkan fakta tersebut. Dari 50 kasus kekerasan seksual yang ditangani TRC PPA, tidak satu pun yang masuk ke meja hijau. Faktor ketiadaan saksi menyebabkan rata-rata korban kekerasan seksual sulit mencari keadilan. Padahal, beleid mengenai kekerasan seksual diatur dari Pasal 285, 289, sampai Pasal 296 KUHP, mulai dari pencabulan hingga pemerkosaan. 

"Rata-rata (laporan kasus) berhenti di kepolisian. Jarang sampai pengadilan. Kepolisian memiliki kendala sehubungan pembuktian kesaksian," bebernya. 

Kehadiran UU TPKS, jelas keduanya, menjadi solusi berbagai kasus kekerasan seksual. Bagi Sudirman, beleid ini mengakomodasi segala bentuk kekerasan kepada perempuan dan anak. Sementara bagi Noryani, kehadiran RUU TPKS memiliki fungsi pencerdasan masyarakat agar terhindar dari kekerasan seksual. 

"Kasus kekerasan seksual harus diselesaikan untuk menimbulkan bagi pelaku. UU TPKS menjadi payung hukum bagi korban. Jangan takut dengan stigma atau sanksi sosial. Penegakan hukum diperlukan untuk memberi efek jera," tegasnya. 

Tentang UU TPKS

Dikutip dari BBC Indonesia, UU TPKS memasukkan sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Kesembilannya ialah pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual. Ada dua poin yang dihapus yaitu pemerkosaan dan aborsi. 

Meskipun dinilai masih belum sempurna, UU TPKS dianggap memiliki beberapa capaian. UU ini berpihak kepada korban. Lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat juga diizinkan berperan mendampingi dan melindungi korban kekerasan seksual. 

Ada pula ketentuan melarang pelaku kekerasan seksual mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama proses hukum. UU juga mengatur ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping. Semuanya demi memastikan pemenuhan hak korban mendapatkan keadilan, pemulihan, dan perlindungan.

_____________________________________________________INFOGRAFIK

Akademikus dari Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Orin Yusta Andini, menilai bahwa dalam peradilan pidana selama ini, satu saksi dianggap bukan saksi. Baru UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU Tindak Pidana Perdagangan Manusia yang secara eksplisit mengatur. Dalam dua UU tersebut, satu saksi dianggap cukup sepanjang didukung alat bukti lain.

"Jadi, kalau kekerasan seksual di lingkup rumah tangga, satu saksi cukup asal didukung alat bukti yang lain seperti surat, keterangan ahli, keterangan terdakwa, dan petunjuk termasuk alat bukti elektronik. Kita perlu lihat dulu (isi) UU TPKS yang sudah disahkan ini sehingga bisa lebih jelas," kata Andini.

Sementara itu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat, Kepolisian Daerah Kaltim, Komisaris Besar Polisi Yusuf Sutejo, belum bisa berkomentar banyak mengenai pengesahan RUU TPKS. Ia mengaku, belum menerima salinan UU sehingga belum bisa menjawab ihwal kesulitan korban kekerasan seksual memperoleh keadilan karena ketiadaan saksi. 

"Itu spesifik teknis penyidikan. Kalau saya sampaikan, dikhawatirkan menjadi celah bagi orang berbuat. Saya (juga) belum baca RUU TPKS. Akan tetapi, pada prinsipnya, kami sesuai prosedur. Polisi tidak boleh berpihak, harus sesuai prosedur hasil pemeriksaan," tutupnya. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar