Lingkungan

Keluhan Isran Noor soal Kebocoran SDA Kaltim

person access_time 5 years ago
Keluhan Isran Noor soal Kebocoran SDA Kaltim

Foto: Sapri Maulana (kaltimkece.id)

Gubernur Kaltim menyoroti pengelolaan sumber daya alam provinsi ini. Regulasi membuat kebocoran tak terkontrol.

Ditulis Oleh: Sapri Maulana
Jum'at, 01 Februari 2019

kaltimkece.id Gubernur Kaltim Isran Noor menggulirkan mimpi besar efisiensi kelola sumber daya alam. Mimpinya adalah menghentikan berbagai kemungkinan bocornya hasil kekayaan SDA.

Hal itu dipaparkannya dalam pertemuan Review 1 Dekade Komitmen Pembangunan Berkelanjutan Kalimantan Timur gagasan Dewan Perubahan Iklim atau DDPI Kaltim di kegubernuran, Jalan Gajah Mada, Samarinda, Rabu 30 Januari 2019. “Kalau tidak begitu, 10 tahun lagi Kaltim kering kerontang. Mau habis batu baranya, kayunya habis, lewat saja itu di Sungai Mahakam,” kata Isran Noor.

Menurut Isran, kemubaziran tata kelola SDA nyata adanya. Misalnya pengelolaan kayu dari hutan alam dan Hutan Tanaman Industri atau HTI. Dari 26 industri kayu olahan di Kaltim, kini tak lebih delapan. Pengusaha kayu olahan kesulitan bahan baku. Padahal, bahan baku dari Kaltim sekadar lewat ke Jepara, Probolinggo, dan Gresik. “Saya mikir ini supaya menutup dulu, tutup dulu, baru memulai,” kata Isran.

Isran memaparkan secara spesifik regulasi yang ingin dikonsolidasikan. Yakni benturan antara UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan sejumlah regulasi sektoral yang bikin daerah sulit bergerak. Semua diatur pusat. Salah satunya soal regulasi ekspor dan impor. Daerah tak bisa mengekspor leluasa. “Padahal kalau kita bisa mengimpor-mengekspor langsung, itu ada efisiensi transportasi,” kata mantan Bupati Kutai Timur itu.

Efisiensi lain dimaksud Isran ialah kepastian angka produksi perusahaan yang mengeruk SDA. Ia pernah meminta bawahannya menghitung rata-rata kapal tongkang batu bara melintas di Sungai Mahakam. Dalam kurun pukul 06.00 hingga 16.00 Wita, sekitar 50 hingga 60 tongkang lewat. Jika satu angkutan memuat 10 ribu metrik ton batu bara, dalam rentang waktu tersebut, ada 600 ribu metrik ton melintas. “Kalikan saja dengan 365 hari,” sebutnya.

Baca juga:
 

Menurut Isran, tak ada yang bisa mengontrol besaran produksi perusahaan. Korporasi sekadar membuat laporan berdasar hitungan masing-masing. Begitu juga dari sektor minyak dan gas. Padahal, dengan bantuan teknologi, jumlah produksi seharusnya bisa dihitung dan dikontrol.

Pada 2017, produksi batu bara dari perusahaan tambang di Kaltim mencapai 82,87 juta ton. Tahun sebelumnya, produksi masih di kisaran 74,17 juta ton. “Kebocoran itu banyak sekali. Ini juga persoalan. Tapi Pusat tidak mampu dan daerah tidak bisa berbuat banyak. Itu yang saya bilang perlunya konsolidasi regulasi,” ucap Isran.

Perlu Diperjelas

Menurut pengamat hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah, misi Gubernur dari paparannya itu adalah sinyalemen untuk Pemerintah Pusat. Regulasi diharap berpihak terhadap keuntungan daerah. Namun, ada dua kelemahan dalam wacana konsolidasi regulasi itu.

Pertama, konsolidasi daerah-pusat akan berjalan jika posisi tawar cukup baik. Hal itu, menurut Castro—sapaan Herdiansyah—harus dijelaskan detail oleh Isran. Gubernur mesti memikirkan cara membangun posisi tawar daerah ini. Bagaimana pula memperjuangkannya.

“Ada delapan anggota DPR, empat anggota DPD (wakil Kaltim di pusat). Suara mereka harus kuat. Termasuk persekutuan di antara daerah-daerah penghasil yang mesti didorong lebih solid,” kata Castro kepada kaltimkece.id, Kamis 31 Januari 2019.

Ia menekankan wacana konsolidasi regulasi harus membumi dan mengakar dengan massa. Tak sekadar konsumsi elite semata. Argumentasi tuntutan juga harus rasional dan kuat.

Kedua, adanya problem politik hukum yang hendak dibangun gubernur. Wacana konsolidasi regulasi dinilai lebih mengarah kepada kalkulasi matematis pendapatan daerah. “Padahal harusnya dimaknai sebagai ruang untuk menjaga dan melindungi aset SDA kita. Mindset ini yang mesti dibenahi.”

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Kaltim Pradarma Rupang turut mengkritisi wacana itu. Perbaikan kualitas hidup dan keselamatan rakyat Kaltim dari kerusakan lingkugan perlu ada dalam agenda konsolidasi regulasi. Jika tidak, desakan Gubernur dirasa sekadar alat legaliltas untuk penghancuran ruang hidup. “Jika dua hal tersebut diabaikan, justru bisa menjadi ancaman,” kata Rupang.

Sebenarnya, tanpa konsolidasi regulasi, Gubernur dinilai memiliki kewenangan mengontrol kelola SDA. Khususnya di sektor tambang batu bara. Misalnya menentukan lokasi pelabuhan atau jetty tambang yang saat ini menyebar di banyak titik.

“Gubernur bisa menolak usulan perusahaan terkait lokasi pelabuhan. Bisa ditetapkan di kawasan tertentu untuk memudahkan pengawasan dan penghitungan produksi batu bara,” kata Rupang.

Apalagi, kebocoran dimaksud, dinilai Jatam karena minim pengawasan. Begitu banyaknya izin batu bara di Kaltim. Untuk mewujudkan pengaturan lokasi, bisa dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW Kaltim.

Jatam mengingatkan konsolidasi regulasi harus sesuai spirit moratorium. Serta, melakukan audit dan pencabutan IUP yang bermasalah. “Konsolidasi regulasi harus dalam rangka keselamatan rakyat dan keberlanjutan alam. Jika tidak, itu upaya memanfaatkan regulasi untuk memeras alam,” kata Rupang. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar