Lingkungan

Limbah Minyak Jelantah Mencemari Sungai Karang Mumus, Pemicu Banjir dan Berbagai Penyakit

person access_time 3 years ago
Limbah Minyak Jelantah Mencemari Sungai Karang Mumus, Pemicu Banjir dan Berbagai Penyakit

Seorang remaja terjun ke Sungai Karang Mumus. (dok kaltimkece.id)

Nilai indeks mutu air di Sungai Karang Mumus tercatat di poin 32,50 dari semestinya 60.

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Jum'at, 26 Maret 2021

kaltimkece.id Minyak jelantah terkesan persoalan sepele. Namun di Samarinda, kehadirannya telah memberi dampak buruk yang bisa berujung serius. Didapati mencemari Sungai Karang Mumus yang di antaranya tersebar di kawasan padat penduduk.

Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Samarinda tahun 2019-2020 mencatat penurunan ketahanan air atau pencemaran air di kota ini. Nilai indeks mutu air tercatat di poin 32,50 dari semestinya 60. Masuk kategori indeks pencemaran tinggi dengan kualitas air tidak baik. Salah satu penyebabnya adalah parameter minyak dan lemak, disinyalir berasal dari minyak jelantah, telah melebihi batas baku mutu.

Sampel penelitian tersebut bersumber dari tiga titik di Sungai Karang Mumus. Titik pertama adalah daerah bebas pemukiman dan titik kedua daerah padat penduduk. Sedangkan titik ketiga daerah permukiman penduduk dan pasar.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Samarinda, Nurrahmani, menjelaskan bahwa minyak jelantah adalah minyak limbah yang berasal dari jenis-jenis minyak goreng. Seperti minyak jagung, minyak sayur, minyak samin, dan sebagainya. Umumnya bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga hingga usaha kuliner. Mengandung senyawa bersifat karsinogenik yang muncul selama proses penggorengan.

Jika digunakan secara berkelanjutan, minyak jelantah dapat merusak kesehatan manusia. Berpotensi menimbulkan penyakit kanker hingga mengurangi kecerdasan generasi berikutnya. Untuk itu, perlu penanganan tepat agar limbah minyak jelantah dapat bermanfaat. Dan yang terpenting, tidak menimbulkan kerugian dari aspek kesehatan manusia dan lingkungan.

Minyak jelantah yang belum tertangani baik sebenarnya mulai dilakukan pengelolaannya pada 2019 oleh DLH Samarinda. Dibalut dalam program Jelantah Membangun Samarinda alias Jeng Rinda. Bagian dari inovasi pengelolaan sampah di Kota Tepian pada tahun yang sama.

"Pada 2019 hanya berupa instruksi Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda. Disampaikan kepada dunia usaha untuk mendonasikan sebagian minyak jelantah kepada DLH Samarinda yang bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Samarinda. Bertujuan mengembangkan sekolah-sekolah berwawasan lingkungan," urai Nurrahmani, Kamis, 25 Maret 2021, pada Sosialisasi dan Gebyar Jelantah Membangun Samarinda (Jeng Rinda).

Jeng Rinda menggandeng sektor swasta yang bergerak di bidang pengepul limbah dan eksportir minyak jelantah. Dari yang berhasil dikumpulkan DLH Samarinda, dibeli perusahaan tersebut Rp 5 ribu per liter. Hasilnya dimanfaatkan untuk pendidikan.

Sebagai contoh kasus, DLH Samarinda menerima donasi minyak jelantah dari suatu rumah makan sebanyak 90 liter per bulan. Hasil penjualannya disumbangkan untuk membangun wastafel di sekolah.

"Sebagian hasil pengelolaan Jeng Rinda pada 2019 yang berjalan selama Oktober—Desember, disumbangkan ke SD 02 Sungai Kapih Samarinda. Berupa pembangunan enam wastafel," terang Nurrahmani.

Meski begitu, DLH Samarinda tak membatasi pemanfaatan penjualan limbah minyak jelantah untuk pendidikan. Kegiatan yang juga berorientasi terhadap lingkungan turut memungkinkan mendapat pembiayaan.

"Misalkan ada RT mau bikin cat warna warni untuk memperindah lingkungan, siapa tahu dia mengajukan proposal, bisa dari dana donasi itu kita gunakan," lanjutnya.

Seiring gerakan Jeng Rinda yang makin aktif, DLH Samarinda pun mengajukan kepada wali kota Samarinda untuk membuat tabungan khusus penyimpanan hasil penjualan donasi minyak jelantah. Pada 2020 dikemukakan agar kegiatan tersebut tertuang dalam SK Wali Kota Samarinda. Sampai saat ini tahapan tersebut masih berproses. “Semoga sebentar lagi ditandatangani.”

Dibawahi langsung oleh wali kota, penerapan Jeng Rinda bakal kian meluas. Bahkan hingga ke jenjang aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemkot Samarinda. Masyarakat luas yang berniat mendonasikan minyak jelantahnya juga dimungkinkan. Pengumpulan bakal dilakukan sejak level RT. Untuk kemudian digunakan bagi keperluan lingkungan sekitar.

“Yang penting kami mengumpulkan minyak jelantah jangan sampai lari ke air kita," ungkap dia.

Mencegah limbah minyak jelantah tersebar ke air memang hal krusial. Wakil Wali Kota Samarinda Rusmadi Wongso mengkhawatirkan dampak serius yang ditimbulkan jika limbah tersebut tak terkelola dengan baik.

"Jelantah ini mempunyai kandungan lemak tinggi. Ketika menempel di dinding-dinding saluran drainase maka bisa menghambat jalannya air," sebut Rusmadi dalam kesempatan sama.

Menurut mantan dekan Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman tersebut, minyak jelantah yang tidak dikelola dengan baik bisa menutupi permukaan air sungai dan menghalangi masuknya oksigen ke air. Kemampuan air sungai memurnikan diri alias self purification pun terganggu. Tanda-tanda sungai yang kekurangan oksigen ditandai dengan timbulnya bau busuk.

Imbasnya, berbagai penyakit berpotensi dimunculkan. Dipicu minyak dan lemak yang umumnya disenangi bakteri berkembang biak. Kemungkinannya menyebar pun kian besar jika berada di tempat terbuka. Sungai juga berpotensi tersumbat karena lemak dari minyak yang mengemulsi dan membeku. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar