Lingkungan

Mangkir Berjamaah dari Kewajiban Reklamasi dan Pascatambang

person access_time 4 years ago
Mangkir Berjamaah dari Kewajiban Reklamasi dan Pascatambang

Aktivitas pertambangan batu bara dekat Tahura Bukit Soeharto. (dokumen kaltimkece.id)

Sebanyak 679 --dari 1.404 IUP-- masuk daftar wajib jamrek. Masih banyak yang menunggak.

Ditulis Oleh: Arditya Abdul Azis
Senin, 05 Agustus 2019

kaltimkece.id Situasi Kaltim kini menggambarkan perilaku perusahaan tambang yang melupakan kewajiban lingkungan. Kandungan emas hitam yang semula tertimbun, menjadi danau buatan yang terbengkalai. Alih-alih dikembalikan seperti semula, bekas galian batu bara jadi maut yang merenggut puluhan nyawa.

Kondisi terkini, 70 persen lubang tambang belum direklamasi. Kaltim pun jadi mayoritas dari 1.735 lubang tambang yang ditemukan di Indonesia. Realisasi jaminan reklamasi atau jamrek disebut mandek. 

Dari paparan Dinas Energi Sumber Daya Mineral yang diikuti Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Kaltim pada 23 Mei 2017, ada 679 perusahaan tambang masuk daftar wajib dana jamrek. Jumlah itu berasal dari 1.404 izin usaha pertambangan (IUP). Dan dari 679 wajib jamrek itu pun, baru 413 menyetorkan atau hanya 60 persen di antaranya (selengkapnya lihat infografis).

Kewajiban membayar dana jamrek diamanatkan Undang-Undang 9/2009 tentang Pertambangan Minerba. Besarannya bergantung permohonan permulaan pembukaan lahan. Dihitung menurut luasan dan kedalaman konsesi yang digarap.

Menurut ketentuan, setelah pembayaran dana reklamasi, uang disetor ke rekening bersama. Ditandatangani perusahaan penerima izin dan pemerintah sebagai pemberi izin. "Jika hanya satu pihak tanda tangan, dana tersebut tidak bisa cair," terang Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, kepada kaltimkece.id.

Skema pembiayaan bersumber dari deposito yang diwajibkan kepada penerima izin, yaitu jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang. Namun, selama ini pemerintah kesulitan menagih. Alasan paling umum adalah perusahaan yang tutup dan sulit dilacak.

Terdapat empat rekening bank menampung dana jamrek yang disetor pemegang IUP se-Kaltim. Tersimpan dalam bentuk deposito bersama. Untuk mencairkan, perlu persetujuan pemprov dan perusahaan penyetor.

Dari penelusuran Jatam, per 7 Februari 2018, masih ditemukan perusahaan tak menempatkan dana jamrek. Sedangkan pada 2017, didapati pemilik konsesi tambang 376,4 hektare di Kutai Kartanegara, mencatatkan tunggakan Rp 4,8 miliar dari 2014-2016. Ada juga pemilik konsesi 312 hektare di Samarinda menunggak Rp 557,5 juta. Sedangkan pemilik konsesi 196 hektare di Kelurahan Loa Bakung, Sungai Kunjang, Samarinda, menunggak Rp 189,4 juta.

"Gubernur Kaltim bisa meminta untuk mencari perusahaan yang mangkir dan tidak bertanggung jawab. Kemudian memanggil pelaku usaha. Mengerahkan sumber daya yang ada untuk mencari alamat dan keberadaannya," sebut Rupang.

Pelaksanaan reklamasi pascatambang tertuang dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Peliknya, ketentuan itu tak memerinci prosedur reklamasi yang seharusnya. Penutupan lubang sebatas kegiatan reboisasi atau revegetasi. Mengembalikan galian sebagaimana kondisi semula, diklaim sulit dilakukan.

Persoalan Pelik

Kepala Bidang Mineral dan Batu Bara, Dinas ESDM Kaltim, Baihaqi Hazami, menjelaskan penyebab karut-marutnya proses reklamasi pascatambang. Masalah berawal dari kewenangan di tingkat pemerintahan kabupaten/kota yang dilimpahkan kepada Pemprov Kaltim.

Dari 1.404 IUP dilimpahkan pada 2014, tidak semuanya didapati menambang. Ada yang sebatas mengantongi izin. Ada pula baru melaksanakan kegiatan eksplorasi. Termasuk yang sudah tahap produksi.

"Kami tidak bisa juga asal menyalahkan prosesnya pada masa lalu. Walaupun memang ada kesalahan di sana yang berdampaknya sekarang," kata Baihaqi Hazami saat dihubungi kaltimkece.id, Sabtu siang, 3 Agustus 2019.

Jamrek tak bisa asal digunakan. Dana berupa deposito bagi pengusaha tambang, hanya bisa dicairkan penyetor setelah memenuhi tanggung jawab reklamasi. Sebaliknya, bila mangkir dari kewajiban, dana jadi hak Pemprov Kaltim.

Namun demikian, lanjut Baihaqi, banyak masyarakat gagal paham. Beranggapan dana jamrek bisa menutup lubang tambang secara keseluruhan. "Padahal tidak begitu. Tanggung jawab reklamasi itu di perusahaan masing-masing," terangnya.

Dana jamrek tersimpan di bank BUMD dan BUMN atas nama gubernur Kaltim. Yang tersimpan saat ini adalah Rp 279 miliar ditambah dana jaminan pascatambang Rp 94 miliar. Rata-rata perusahaan yang telah menyetor adalah yang masih beroperasi.

"Jadi tidak bisa dana Rp 279 miliar digunakan menutup lubang ilegal. Nanti ketika ada perusahaan sudah menyelesaikan tugas, tidak ada lagi dana mau dicairkan. Bisa dituntut kami," sebut Baihaqi.

Penetapan dana jamrek dihitung berdasar luas pembukaan lahan. Beberapa aspek lain termasuk proses mobilisasi peralatan tambang. Beda lokasi, beda pula nilainya. Ketentuan dan dasar penetapan yang kemudian muncul dalam dokumen rencana reklamasi, ditetapkan melewati teknis penghitungan dari inspektur tambang.

Selanjutnya, dokumen diajukan ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim untuk menerbitkan perintah penempatan jamrek. Bukti setoran dana berupa deposito dan bank garansi, selanjutnya diserahkan kepada DPMPTSP Kaltim dengan tembusan ke Dinas ESDM Kaltim.

Sedangkan bagi perusahaan yang masih aktif dan beroperasi produksi, pencairan diajukan kepada Pemprov Kaltim sesuai luasan yang direklamasi. Inspektur tambang terlebih dulu meninjau dan mempelajari lokasi, sebelum memberi surat rekomendasi kepada DPMPTSP Kaltim.

Tahap akhir berproses di DPMPTSP Kaltim yang menginstruksikan kepada perbankan untuk mencairkan kepada perusahaan terkait. Biasanya, dokumen rencana reklamasi diselesaikan pada awal tahun.

Sementara bagi perusahaan yang mangkir dari kewajiban, dana jamrek jadi hak pemerintah. Pencairan dilakukan atas klaim setelah perusahaan beberapa kali menolak panggilan pemerintah. Namun, sejauh ini, belum satupun dana jamrek diambil Pemprov Kaltim.

Menurut Baihaqi, lubang tambang yang banyak menganga berasal perusahaan yang tak lagi beroperasi. Demikian juga bekas aktivitas tambang ilegal. "Mereka belum setorkan dana jamrek. Sisanya bisa jadi belum membayar atau sudah membayar tapi bukti-buktinya masih perlu ditelusuri," ucapnya.

Dinas ESDM Kaltim menegaskan komitmen mengejar setoran jamrek pengusaha tambang. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia dilibatkan. Perusahaan yang sudah tak beroperasi namun belum menyelesaikan kewajiban, jadi buruan. "Tapi kalau orangnya belum meninggal," sebut Baihaqi.

ESDM Kaltim dan BPK RI disebut keteteran. Kebanyakan pengusaha merupakan investor dari luar Kaltim. Bahkan dari luar negeri. Kerap ditemukan alamat yang tidak sesuai. Selain itu, data pengusaha yang dikantongi ESDM juga banyak telah meninggal dunia. Tak sedikit hilang jejak dan tak jelas rimbanya.

Di sisi lain, Pemprov tak bisa terus-terusan membiarkan bekas galian menganga. Gubernur Kaltim Isran Noor mewacanakan penutupan dengan biaya APBD. Pemprov tengah mendalami dasar hukum yang memungkinkan kebijakan tersebut. Prioritas adalah lubang dekat permukiman.

 
Baca juga:
 

Sejauh ini, lanjut Baihaqi, penutupan lubang tambang dilakukan perusahaan dengan hasil galian lubang tambang yang baru. Atau dikenal dengan pola backfilling. Metode ini juga diatur dalam undang-undang. Namun, dalam praktiknya perusahaan kerap menyisakan satu lubang yang dibiarkan.

Dalam beberapa kondisi, lubang tambang sengaja tak ditutup dengan pertimbangan tertentu. Salah satunya air dari kolam tambang yang dimanfaatkan untuk keperluan warga atau pertanian. Secara teknis, jika lubang dibiarkan atas permintaan warga, tanggung jawab revegetasi dijalankan di sekitar bekas galian.

Menurut ESDM Kaltim, reklamasi pascatambang setiap satu hektare memerlukan USD 12,5 ribu atau setara Rp 176.631.250. Jika dikalkulasi dengan simpanan dana jamrek dan pascatambang, konsesi yang ter-cover dana tersebut sekitar 2.111 hektare. Padahal, menurut presentasi Gubernur Kaltim pada 2018 silam, luas lubang tambang yang menganga di Kaltim menembus 1,3 juta hektare.

Baca juga:
 

Dari evaluasi serta finalisasi Dinas ESDM Kaltim, jumlah IUP tercatat sampai Juni 2019 adalah 382 yang sudah clean and clear. Sedangkan IUP masih mengajukan proses perpanjangan mencapai 133. Dengan luas area pertambangan yang terdata, dana jamrek tentu jauh dari cukup. Medan pertambangan yang sulit, memerlukan biaya mobilisasi yang juga tak sedikit. Selain reklamasi, revegetasi pun sangat bergantung medan, area, situasi, dan teknis pengelolaan tanah permukaan oleh perusahaan pertambangan.

Reklamasi yang diartikan sebagai proses pemulihan fungsi lahan, sosial, ekonomi, dan lingkungan, tak cukup dijalankan satu atau dua tahun. Malah bisa sampai 20 tahun. Sejatinya pun, tak ada reklamasi tambang yang benar-benar mengembalikan tanah ke kondisi semula. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar