Ragam

Kopi Linggang, Identitas Baru Kutai Barat

person access_time 1 year ago
Kopi Linggang, Identitas Baru Kutai Barat

Masyarakat Kampung Linggang Melapeh, Kutai Barat, aktif membudidayakan kopi. FOTO: RJ PALUPI-KALTIMKECE.ID

Kopi bagi masyarakat Linggang Melapeh adalah teman karib. Maraknya usaha kedai kopi di Kutai Barat menjadikan kopi kembali dilirik. Bagaimana upaya para petani Linggang Melapeh kembali mengorbitkan kopi?

Ditulis Oleh: Robithoh Johan Palupi
Sabtu, 20 Mei 2023

kaltimkece.id Akhorina tak henti menyeka keringat. Panas terik pada pertengahan 2017 lalu, seolah diabaikan. Seraung yang dipakai, hanya mampu sekadar menahan panas mentari tak langsung mengenai kepala. Perempuan yang kini memilih tinggal di Kampung Linggang Melapeh itu, tetap semangat memetik kopi yang telah berwarna merah. Aktivitas memetik kopi itu baru berhenti saat anjat yang digendongnya, telah terisi lebih dari separuh.

Kopi bagi Akhorina adalah teman akrab. Tanaman yang awalnya tak terurus, dan tumbuh liar di sela tanaman buah lain seperti rambutan, cempedak, ataupun durian di kebun-kebun petani, sejak 2019 lalu sudah mulai dibudidayakan dengan serius. Lahan seluas satu hektare, ditanami 500 batang kopi. Sebenarnya, sejak 2017 anggota kelompok sadar wisata (Pokdarwis) di Linggang Melapeh sudah merilis merk dagang Kopi Linggang. “Kami memanfaatkan kopi dari Lembo yang ada di dekat kampung kami. Ternyata masyarakat menerima produk kopi kami dengan baik,” ujar Akhorina.

Sejumlah warga Kampung Linggang Melapeh membersihkan biji-biji kopi. FOTO: RJ PALUPI-KALTIMKECE.ID

Lembo sendiri adalah satu kawasan kebun yang berisi beragam tanaman buah. Pada masyarakat Dayak Tunjung (Tonyooi), Lembo juga bisa diartikan kebun lama yang ditinggalkan leluhur. Pada masa lampau, kawasan itu pernah ditinggali masyarakat adat, dan pada masa berikutnya ditinggalkan. Ini lazim mengingat kebiasaan masyarakat Dayak pada masa lampau akrab dengan pola ladang berpindah.

Dari Lembo itulah, Akhorina menyebut jika tanaman kopi sudah berada di Linggang Melapeh sejak ratusan tahun lalu. Hanya saja, sumber literasi untuk memastikan hal ini, sulit untuk dibuktikan. “Sejak nenek moyang kami, kopi sudah ada,” begitu ujar Akhorina.

Sejak Januari 2019, Akhorina dan kelompoknya pun melakukan upaya yang lebih konstruktif. Uji coba budidaya kopi pada lahan seluas 1 hektare dilakukan. Bibit didatangkan dari Kerinci dan Jember. Pusat Penelitian Kopi dan Kakau (Puslitkoka) Jember menjadi rujukan untuk bisa mengakses bibit unggul varietas robusta. Kopi jenis ini lebih cocok untuk kawasan Linggang Melapeh yang memiliki ketinggian pada kisaran 150-200 meter di atas permukaan laut.

“Dengan bibit yang bersertifikasi, kami berharap bisa mendapat tanaman kopi berkualitas, dan panen kami pun meningkat,” ungkap Akhorina yang juga dipercaya sebagai Bendahara Pokdarwis Linggang Melapeh itu.

Sejak ditanam pada 2019 lalu, nama kopi Linggang Melapeh pun kian harum. Konsistensi para petani membuat berbagai sektor tak bisa hanya tinggal diam. Pada 2022 lalu, pemerintah kampung Linggang Melapeh memberikan satu unit mesin pulper sederhana. Mei 2023, Bank Indonesia Kaltim memberikan 4 mesin berupa satu unit mesin huller, satu unit mesin sortasi, satu unit mesin roasting, dan satu unit mesin giling.

Tak hanya dari unsur pemerintahan, perhatian juga datang kelompok masyarakat lain. World Wildlife Fund (WWF) Indonesia Mahakam-Kayan Project juga melirik potensi kopi sebagai bagian penguatan ekonomi masyarakat. Heri, perwakilan WWF Indonesia Mahakam-Kayan Project menyebut jika kopi sudah jadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Kutai Barat. Apalagi saat ini industri kopi juga meningkat. “Sayangnya, kebutuhan bahan baku tidak didukung dengan ketersediaan pasokan dari masyarakat lokal,” ungkapnya.

Inisiasi dari masyarakat melalui Pokdarwis pun ditanggapi dengan baik oleh WWF Indonesia Mahakam-Kayan Project. Pada awal 12 Mei 2023 lalu, Pokdarwis Linggang Melapeh dengan dukungan WWF Indonesia, menggelar Lokakarya Peluang Agrobisnis Kopi di Kutai Barat. Pemateri yang didatangkan pun bukan orang sembarangan. Slamet Prayoga, petani kopi yang sukses dengan brand Malabar Mountain Coffee, Bandung, Jawa Barat, didatangkan ke Linggang Melapeh.

Kopi Linggang Melapeh mulai dilirik banyak orang. FOTO: RJ PALUPI-KALTIMKECE.ID

Peserta kegiatan ini adalah para petani di Kecamatan Linggang Bigung. Terdiri dari 4 kelompok tani, juga para pejabat baik di level desa, maupun kecamatan, serta perwakilan dari  Dinas Pertanian Kutai Barat, Dinas Perindagkop Kutai Barat, Dinas Pariwisata Kutai Barat, KPH Damai, dan BPP Linggang Bigung.

“Kami ingin mencoba mengajak petani lain di desa sekitar untuk bisa melirik kopi sebagai komoditas yang bisa diandalkan. Kami telah membuktikan di Linggang Melapeh, kopi bisa dibudidayakan dan memiliki potensi pasar yang besar,” ungkap Ketua Pokdarwis Linggang Melapeh, Arpan Tor.

Beragam upaya pengembangan kopi ternyata membuahkan hasil. Pada Januari 2022, sertifikat PIRT sudah didapat untuk Kopi Linggang. Hal ini semakin menambah kepercayaan diri para petani. Meski demikian, masih banyak hal yang belum maksimal. “Karena itu pula, kami mendatangkan ahli kopi yang sudah berhasil dengan Malabar Mountain Coffe,” ungkap Akhorina tentang alasan menghadirkan Slamet Prayoga ke Kutai Barat.

Bentuk biji-biji kopi Linggang Melapeh. FOTO: RJ PALUPI-KALTIMKECE.ID

Perempuan yang juga anggota Kelompok Tani Kola Lestari Linggang Melapeh itu menyebut, kendala terbesar para petani saat ini adalah pada proses pasca panen. Proses penjemuran kopi yang masih tradisional, membuat produk yang diolah belum menghasilkan produk yang maksimal.

“Dikarenakan terkendala tempat penjemuran, ruang penyimpanan, juga mesin pengolahan maka untuk sementara masih membeli ke petani dalam bentuk green beans. Selanjutnya, kopi-kopi itu diolah di ruang produksi Pokdarwis untuk proses roasting dan giling,” lanjut Akhorina.

Tak hanya untuk proses pasca panen saja, Slamet Prayoga juga menekankan pentingnya budidaya kopi yang baik. Penataan kebun sudah harus dilakukan sejak akan melakukan penanaman. Petani harus memperhatikan jarak tanam. Selain itu, petani juga diminta untuk secara rutin melakukan pemeliharaan tanaman. Kemudian, saat memanen juga disarankan untuk memetik buah kopi yang benar-benar telah matang. Biasanya, saat buah kopi telah sepenuhnya berwarna merah.

Tampilan kopi kemasan Linggang Melapeh. FOTO: RJ PALUPI-KALTIMKECE.ID

Slamet Prayoga sendiri mengaku kagum dengan semangat petani di Linggang Melapeh. Menurutnya, dari sekian banyak petani yang telah membudidayakan kopi di Kalimantan Timur, hasil yang ditunjukkan petani di Linggang Melapeh adalah salah satu yang terbaik. “Memang masih ada beberapa kendala untuk bisa menghasilkan produk fine robusta. Tapi dari semangat dan apa yang terlihat di kebun mereka, saya yakin akan lebih mudah untuk menghasilkan produk terbaik untuk kelas robusta,” ungkapnya.

Slamet Prayoga juga mengungkapkan, proses pasca panen masih banyak mengalami kendala. Misalnya untuk penjemuran kopi yang belum baik. Akibatnya, kopi yang dihasilkan masih memiliki kencenderungan aroma earthy, atau bau tanah. “Tentu ini masih cukup mengganggu. Tapi secara keseluruhan, kopi robusta Linggang Melapeh sudah cukup baik,” pungkasnya. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar