Ragam

Serba-serbi Bisnis Era Digital

person access_time 5 years ago
Serba-serbi Bisnis Era Digital

Foto: Fachrizal Muliawan (kaltimkece.id)

Zaman terus berganti. Pola bisnis pun demikian.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Minggu, 28 April 2019

kaltimkece.id Dunia digital menjadi lahan berpotensi tinggi. Terlebih untuk memulai bisnis. Namun, siapkah calon-calon enterpreneur Bumi Etam menghadapi dunia global tersebut?

Sabtu pagi, 27 April 2019, Aula Rumah Jabatan Wali Kota Samarinda menjadi lokasi dihelatnya Seminar Genggam Dunia Bisnis di Era Digital. Diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Samarinda.

Baca juga:
 

Tiga narasumber didatangkan. Selain Farid Nurrahman, CEO sekaligus founder Ruangku Co-working Space dan founder Inisiator Muda Samarinda, ada Ahmad Haidir Fersa, founder Brother's Production dan co-founder Katuju.id, serta Adi Chandra, CEO & founder kaltimkece.id sekaligus digital business consultant.

Ketiganya membahas mulai susah payah membangun bisnis, pentingnya fondasi menghadapi tantangan bisnis, serta menguasai distribusi.

Ahmad Haidir Fersa menyadari banyak yang berpikir terjun ke bisnis berbasis digital akan mendapat pendapatan besar. Nyatanya, dari beberapa bisnis yang dibangunnya, ada yang runtuh akibat kurang kuatnya daya saing. Echa, sapaan akrabnya, menceritakan pada beberapa tahun lalu dia bersama beberapa kawan membangun aplikasi Pesan Bungkus. Aplikasi mirip Go-Food. "Ini kami buat sebelum Go-Jek masuk Samarinda. Kami melihat penetrasi bisnis mereka hanya di Pulau Jawa," ujarnya.

Pun ketika aplikasi tersebut masuk Kaltim, Echa masih bernapas lega kala fitur pesan makanan tidak aktif. "Tapi ketika semua fitur Go-Jek diaktifkan, Pesan Bungkus melipir perlahan," ujarnya.

Padahal, secara fitur, pesan bungkus tak kalah dengan aplikasi dari luar Kaltim. Namun, lagi-lagi terkendala sumber daya. Akhirnya dia memutuskan banting setir ke bisnis media bernama katuju.id.

Satu tahun lebih berjalan, katuju.id bersaing di dunia informasi. "Tentu perlahan, pada awalnya konsep yang kami usung adalah netizen journalism, hingga akhirnya punya pewarta sendiri," jelasnya.

Terpenting, selain melek digital, dasar bisnis juga mesti dipikirkan. "Terutama soal riset," ujarnya.

Hal itu diamini Farid Nurrahman. Kendala di bisnis digital dan konvensional sebenarnya tak berbeda. "Ada modal, model, dan pemasaran," ujarnya.

Ketiga ini dasar bisnis yang mesti dikuasai. Ketika modal sudah ada, belum tahu model bisnis karena kurang riset. Pun saat modal dan model sudah ada, bingung memasarkan ke mana.

Belum Terlalu Melek

Farid sempat melakukan voting kecil-kecilan. Dan ternyata, 60 persen peserta seminar lebih suka menggunakan uang fisik ketimbang cashless. Demikian pula untuk urusan belanja online atau konvensional.

Meski demikian, tren berbeda didapat ketika masuk urusan informasi. Soal ini, responden lebih melek digital. Antara koran atau media daring, mayoritas memilih media daring. "Ada 73 responden memilih media online," ujarnya.

Farid merasa perlu ada kebijakan pemerintah agar masyarakat terbiasa dengan model bisnis digital. Belajar dari Pulau Jawa, platform digital di sana bisa jadi besar tak lain karena faktor masyarakat sudah terbiasa. "Mungkin mulai dengan pembiasaan cashless," ujarnya.

Mulai membayar tol, hingga membeli minuman di kafe, semua menyediakan model cashless. Menunggu masyarakat terbiasa, alangkah baiknya menumbuhkan jiwa enterpreneurship. Pasalnya, ketika masyarakat siap tapi para pengusaha belum, akibatnya akan digempur pengusaha-pengusaha dari luar Kaltim yang lebih siap. "Karena bicara digital, maka bicara soal global," tuturnya.

Farid mencontohkan Echa dan Adi Chandra yang sekarang terjun di bisnis digital. Keduanya, telah menjalani dasar bisnis di bidang konvensional. Bagi pebisnis digital, hal-hal konvensional juga harus dilewati. "Ketika dasar sudah terbangun, mental kuat, terjun digitalisasi bisnis pun bisa dilakukan," ujarnya.

Level Selanjutnya, Kuasai Distribusi

Dalam platform digital, distribusi adalah kunci. Menurut Adi Chandra, menawarkan bisnis dan jasa di media digital dan konvensional cukup berbeda. Di toko offline, penjual atau penyedia jasa tinggal menjajakan barang atau jasa. "Dan orang yang lewat di daerah dia menjajakan, kalau orang tertarik maka akan datang," ujarnya.

Sementara dalam dunia digital, saking banyaknya orang menjajakan barang yang sama, sulit melakukan penetrasi ke calon konsumen. Kebanyakan, pengusaha baru akan bingung mau dijajakan ke siapa. Maka itu riset diperlukan.

Adece, sapaannya, menyebut dua cara yang bisa dilakukan. Pertama dengan beriklan sedangkan kedua membangun kepercayaan lewat pengikut. "Terutama kepada pengikut yang memang gemar dengan jasa atau barang yang ditawarkan," ujarnya.

Kesesuaian segmen menjadi krusial. Jangan sampai barang yang dijual adalah sepatu, malah ditawarkan kepada ibu-ibu penggemar busana muslim. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar