Ragam

Wadai Talam dari Generasi ke Generasi, Kue Tradisional Spesialis Bulan Ramadan

person access_time 4 years ago
Wadai Talam dari Generasi ke Generasi, Kue Tradisional Spesialis Bulan Ramadan

Maskota Muradiah menjalankan tradisi membuat wadai atlam di kelaurganya. (giarti ibnu lestari/kaltimkece.id)

Warung Maskota sudah begitu akrab menemani warga Samarinda Seberang pada Bulan Ramadan.

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Selasa, 19 Mei 2020

kaltimkece.id Begitu santap sahur, kesibukan hilir mudik terlihat dalam dapur sebuah rumah di Jalan Bung Tomo, Kelurahan Baqa, Samarinda Seberang. Rumah tersebut milik Maskota Muradiah. Perempuan 70 tahun itu ibu dari sembilan anak. Telah memiliki 22 cucu.

Walau tak muda lagi, Maskota masih sangat berenergi. Tangannya lincah meracik bahan baku resep kue hingga mengolah adonan. Setelah adonan kue selesai, dibantu anak-anaknya, adonan kue dikukus dan dibakar dengan tungku kayu.

Khusus bulan Ramadan, Maskota dibantu anak dan para menantu, menjual berbagai wadai atau kue dalam bahasa Banjar.  Yang paling menonjol adalah wadai talam. Talam adalah basah dalam bahasa Banjar. Wadai talam antara lain amparan tatak, sari pengantin, sari muka ketan, kue lapis, bingka dan masih banyak lagi.

Pada bulan Ramadan, kue-kue tradisional tersebut dijual di warung milik Maskota. Warung tersebut merupakan hasil renovasi bagian depan rumah Maskota.

Anak bungsu Maskota, Khairunnisa, berusia 25 tahun, mengatakan bahwa saat pandemi, selain menjajakan kue di warung, mereka juga menjajakan secara online. Dan penjualan secara online yang saat ini paling banyak diminati pelanggan.

Wadai talam buatan sang ibunda memang memiliki cita rasa khas. Menjadi menu andalan berbuka puasa bagi para pelanggan setia tiap tahunnya. Resep yang digunakan merupakan warisan turun-temurun dari sang ibunda yang diwariskan mendiang sang nenek, Hatim.

"Selain kue-kue tradisional yang hanya ada di Bulan Ramadan, mereka juga menjual aneka gorengan, aneka bubur, es buah, kolak dan hidangan berat untuk berbuka. Seperti berbagai sayur masak dan lauk. Khusus kue tradisional, Amparan Tatak dan Sari Muka Ketan yang menjadi incaran para pembeli,” ucap Khairunnisa.

Ditambahkan Khairunnisa, Warung wadai talam yang diberi nama sesuai nama sang ibunda, Maskota. Selama Ramadan buka pukul 12.00 Wita. Warung Maskota buka hingga satu hari menjelang Hari Raya Idulfitri.

“Sudah sekitar 40 tahun, mulai tahun 1980, keluarga kami berjualan berbagai jenis kue di rumah dan pasar Ramadan. Sebelum saya lahir. Sudah banyak juga warga Samarinda yang menjadi pelanggan tetap, hingga instansi pemerintah dan swasta. Namun adanya Covid-19 ini memang berpengaruh, pesanan ke instansi pemerintah yang biasa untuk menu berbuka atau berbagi jelang buka puasa agak menurun,” jelas Icha sapaan akrab Khairunnisa.

Dari segi harga, wadai talam terbilang cukup mahal dibandingkan kue lain. Untuk satu potong wadai talam berukuran mika besar seharga Rp 15–25 ribu. Sementara untuk satu loyang dihargai Rp 280 ribu. Meski terbilang cukup mahal, namun rasa serta kualitas yang dihadirkan sepadan dengan harga yang dibayar pembeli. Tiap harinya wadai talam yang dibuat selaku habis terjual.

"Kalau membeli satu loyang harus pesan jauh-jauh hari. Alhamdulillah setiap harinya habis. Misal ada sisa dari penjualan, kami bagikan kepada tetangga, masjid, pemungut sampah, penyapu jalan atau karyawan yang bekerja disini,” tutur icha, anak bungsu dari Maskota.

Pada hari biasa, warung bu Maskota tetap berjualan. Seperti nasi kuning dan aneka kue tradisional lainnya.  (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

Ikuti berita-berita berkualitas dari kaltimkece.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar