Mereka

Permintaan Lahan 50 Hektare Sultan Parikesit yang Tak Pernah Dikabulkan

person access_time 5 years ago
Permintaan Lahan 50 Hektare Sultan Parikesit yang Tak Pernah Dikabulkan

Ilustrasi: @wadahpian (kaltimkece.id)

Pada masa era kayu membahana di penjuru Kalimantan Timur, Sultan Parikesit pernah mengajukan hak pengusahaan hutan. Presiden Soeharto tak pernah mengabulkannya. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 19 Februari 2019

kaltimkece.id Kesehatan Sultan Aji Muhammad Parikesit agak kurang baik. Tubuhnya renta karena sudah berusia 84 tahun ketika memutuskan berobat ke Jakarta. Tepat pada 13 September 1973, Parikesit yang telah berstatus rakyat biasa tiba di ibu kota negara. 

Sembari menjalani pengobatan, Sultan diterima dengan baik oleh para petinggi negeri. Salah satunya adalah Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX (Presiden-Sultan Kutai Bicarakan Izin HPH, artikel Suara Karya edisi 1973).

Dalam pertemuan tersebut, Sultan mengutarakan sebuah permintaan. Mumpung di Jakarta, Parikesit ingin berjumpa Presiden Soeharto. Ia ingin menanyakan ihwal hak pengusahaan hutan atau HPH yang diajukannya sejak 1963.

Permintaan untuk bersua itu diluluskan. Ditemani seseorang bernama Haji Bambang Abdurachman, Parikesit akhirnya bertemu dengan Soeharto. Sultan pun menanyakan realisasi HPH yang ia ajukan. Sama sekali tidak luas, hanya 50 hektare. Lokasinya di wilayah Bengalon, kini kecamatan di Kutai Timur, yang hak atas tanahnya memang dimiliki kesultanan. 

Setelah mendengar penuturan Sultan Parikesit, Presiden Soeharto pun berbicara. Menurut Soeharto, hak pengusahaan hutan sekarang ini (waktu itu tahun 1973) sudah tidak mungkin lagi. Tapi, Presiden mengusahakan agar Sultan mendapatkan pengelolaan di lahan Perusahaan Negara Perhutani dengan status sebagai kontraktor.

"Wah, mengapa baru sekarang diajukan? Kenapa tidak dulu-dulu? Sekarang tidak ada lagi hutan yang baik untuk dikerjakan. Yah, sayang sekali, Pak Sultan ketika itu tidak bilang kalau sudah mengajukan sejak 1967,” jawab Soeharto sebagaimana dikutip dalam laporan Majalah Tempo berjudul Parikesit, Sultan Terakhir (1973).

Walau demikian, Soeharto berjanji mengabulkan permintaan Parikesit. Gubernur Kaltim Abdoel Wahab Sjahranie ditunjuk sebagai pelaksana. Selain janji lisan, Soeharto menuangkannya dalam bentuk surat Sekretariat Negara tertanggal 4 Maret 1974. 

Pembicaraan keduanya berlanjut. Sultan menerangkan bahwa ia sedang mengusahakan penggilingan padi di Kutai. Presiden pun berjanji membantu usahanya dengan memberikan satu unit penggilingan padi atau huller. Baik pengelolaan lahan berupa HPH seluas 50 hektare maupun huller, semuanya masih berupa janji. 

Melirik Bisnis Hutan

Permintaan HPH diyakini karena sumber pendapatan Sultan Parikesit di hari tuanya sudah sangat terbatas. Parikesit lepas mahkota setelah Kesultanan Kartanegara Ing Martadipura yang berumur 659 tahun, secara resmi berakhir pada 1 Januari 1960. Parikesit menjadi raja terakhir manakala kesultanan bergabung dengan NKRI. 

Setelah tidak lagi bertakhta, Parikesit sempat ditahan di Balikpapan oleh Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman, Kolonel Suhario Padmodiwiryo. Waktu itu, Suhario menuduh para bangsawan Kutai mencoba menghidupkan kembali pemerintahan feodal atau swapraja. Kolonel Suhario juga menghina bangsawan Tenggarong dengan memerintahkan massa membakar pakaian kebesaran sultan di halaman keraton. Parikesit barulah dibebaskan ketika Orde Lama tumbang pada 1966 (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 2010, hlm 62).

Baca juga:
 

Sepanjang ditahan, Parikesit kehilangan beragam usaha dan sumber pendapatannya. Sultan diketahui hanya menerima pensiun Rp 18 ribu sebulan, kira-kira Rp 500 ribu sekarang. Sultan hidup sederhana. Dia sampai terpaksa menjual barang-barang berharga. Pernah tersiar kabar, seorang Amerika mengangkut barang-barang antik dari Kutai dengan tiga helikopter. Dalam laporan utamanya pada 1 Januari 1970, Majalah Tempo menulis, “Tapi (Parikesit) tak tahu dari mana mendapat makan. Karena itu, ketika ada orang mengerling pedang emasnya, tanpa tawar-menawar lagi dilego hanya dengan harga Rp 300 ribu.”

Bukan tanpa angin dan hujan Parikesit ingin terjun ke sektor usaha perhutanan. Sejak 1967, keran izin pengusahaan hutan dibuka lebar-lebar oleh Presiden Soeharto. Di Kaltim, banyak orang kaya baru bermunculan, sebagian besar adalah kroni-kroni Keluarga Cendana. 

Menukil data Forestry Statistics Indonesia (1998), hampir sepertiga daratan Indonesia telah berstempel HPH pada 1985. Dari seluruh HPH, setengahnya berlokasi di Pulau Kalimantan yaitu 32 juta hektare. Sekitar 11 juta hektare HPH ada Kaltim, dengan kata lain, lebih dari setengah luas provinsi adalah izin kehutanan (waktu itu Kaltim masih bergabung dengan Kaltara).

Beberapa nama tenar muncul sebagai raja kayu Kalimantan. Selain putra-putri dan menantu Soeharto, sosok Muhammad Bob Hasan (keluarga Soeharto) dan Probosutedjo (adik tiri Soeharto) sangat tidak asing. Lingkaran Cendana terpampang jelas dalam rangkuman perusahaan penerima dana reboisasi sejak 1990-1999. Di antaranya adalah PT Musi Hutan Persada (Prajogo Pangestu dan Siti Hardiyanti Rukmana—putri Soeharto), PT Surya Hutani Jaya (Bob Hasan --keluarga Soeharto), PT Menara Hutan Buana (Probosutedjo --saudara Soeharto), PT ITCI Hutani Manunggal TNI (Bambang Trihatmodjo --putra Soeharto), dan PT Adindo Hutani Lestari (Prabowo Subianto--menantu Soeharto waktu itu). 

Adapun sebagian besar HPH Keluarga Cendana, berlokasi di Kaltim. Provinsi yang sama dengan pengajuan HPH oleh Sultan Parikesit. Bedanya, jika HPH milik Keluarga Cendana sekurang-kurangnya 100 ribu hektare untuk tiap izin, Parikesit hanya meminta 50 hektare. Hanya seujung kuku belaka. 

 

Tak Pernah Dikabulkan

Hari berganti pekan, bulan bersalin tahun. Sultan Parikesit masih menunggu janji Presiden Soeharto. Janji yang tak kunjung terpenuhi. Entah bagaimana, HPH belum diterbitkan atas alasan “belum didapatkan daerah yang cukup baik untuk dikerjakan.” Sementara di penjuru Kaltim, izin pengusahaan hutan terus terbit untuk kroni-kroni Soeharto.

Sedang huller-nya, meski sudah datang, tidak bisa dipakai. Suku cadang mesin penggiling padi itu tidak lengkap. Parikesit merasa masygul, terutama persoalan HPH itu. “Hati saya sangat tersinggung,” kata Sultan yang pendiam itu kepada Majalah Tempo. “Bukan karena apa-apa, tetapi karena masyarakat mengira saya sudah mendapat areal.”

Sebenarnya Parikesit terima saja kalau dia tidak diberikan HPH. Parikesit cuma meminta, jika memang keputusan dibatalkan, hendaklah diberitahukan secara resmi. Sampai akhir hayatnya atau delapan tahun selepas pertemuan dengan Soeharto, Parikesit tidak pernah menerima 50 hektare HPH di Bengalon itu. 

Barangkali, karena Parikesit bukan Keluarga Cendana. (*)

Senarai Kepustakaan
  • Barr, Christopher, 2011. Tata Kelola Keuangan dan Dana Reboisasi selama Periode Soeharto dan Pasca Soeharto, 1989-2009, Bogor Barat: Center for International Forestry Research.
  • Majalah Tempo, edisi 1 Januari 1972, Parikesit, Sultan Terakhir
  • Magenda, Burhan Djabier, 2010. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, Jakarta: Equinox Publishing.
  • Suara Karya, edisi 1973, Presiden-Sultan Kutai Bicarakan Izin HPH.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar