Peristiwa

Hiruk-Pikuk di Kaltim Menjelang Penyerahan Kedaulatan Indonesia Hasil Konferensi Meja Bundar

person access_time 2 years ago
Hiruk-Pikuk di Kaltim Menjelang Penyerahan Kedaulatan Indonesia Hasil Konferensi Meja Bundar

Front Nasional mengibarkan merah putih di Gedung Nasional pada 27 Desember 1949 (foto: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kaltim)

Hari ini, tepat 72 tahun lampau, Indonesia menerima kedaulatan dari hasil Konferensi Meja Bundar. Samarinda dilanda hiruk-pikuk luar biasa.

Ditulis Oleh: Samuel Gading
Senin, 27 Desember 2021

kaltimkece.id Matahari sedang terik-teriknya ketika rombongan militer yang dipimpin Letnan Kolonel Soekanda Bratamenggala tiba di Pelabuhan Samarinda. Ketika kapal uap baru merapat di dermaga, nama sang letkol segera dielu-elukan ratusan pemuda. Figur penting peristiwa Bandung Lautan Api itu lantas diarak beramai-ramai menuju kendaraan yang sudah disiapkan.

Rabu, 14 Desember 1949, para pemuda dan pejuang di Samarinda percaya, kemerdekaan sudah di depan mata. Kedatangan Letkol Soekanda adalah sinyal kuat bahwa Belanda segera angkat kaki dari Kaltim. Pada masa itu, Indonesia termasuk Kaltim tengah berjuang mempertahankan kemerdekaan di tengah agresi militer Belanda. Selain di medan perang, para cendekiawan republik berupaya mengukuhkan kedaulatan negara lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.

Kehadiran Letkol Soekanda di Kaltim bukan tanpa alasan. Ia datang atas desakan 23 organisasi sosial-politik di Kaltim berhaluan republiken. Koalisi tersebut bernama Front Nasional. Sepekan sebelum kedatangan tokoh militer tersebut, Front Nasional yang dipimpin Abdoel Moeis Hassan–kelak menjadi Gubernur Kaltim–mengeluarkan tiga tuntutan.

Pertama, pasukan Belanda yang terdiri dari tentara kerajaan atau koninklijk leger dan angkatan perang kolonial Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) harus ditarik dari seluruh Kaltim. Kedua, menyerahkan seluruh penjagaan keamanan di Kaltim kepada TNI. Ketiga, mendesak pembaruan bentuk dan susunan pemerintah daerah sesudah pemulihan kedaulatan. Caranya, lewat pembubaran dewan-dewan dan diadakannya pemilihan baru sebagaimana Biografi Moeis Hassan yang ditulis Muhammad Sarip dan Nabila Nandini dalam Abdoel Moeis Hassan Pejuang Republiken dan Pelopor Pembaharuan di Kalimantan Timur (2018, hlm 29-31).

_____________________________________________________PARIWARA

 

Tanda-tanda bahwa tuntutan Front Nasional segera terpenuhi makin terang dari kehadiran Letkol Soekanda. Kehadiran tokoh TNI adalah sinyal militer Belanda di Kaltim sudah kehilangan kuasa. Makanya, ratusan pemuda amat bersemangat menggendong Letkol Soekanda menuju kendaraan yang akan membawanya ke  Gedung Dewan Kalimantan Timur. Lokasi gedung itu kini tepat di pertigaan Jalan Gajah Mada dan Jalan Awang Long.

“Wah, ini menggotongnya, kok, tidak benar? Sakit saya,” kelakar Letkol Soekanda kepada Moeis Hassan, tak jauh dari pelabuhan. Ia begitu gembira melihat sambutan yang luar biasa. Api perjuangan di Samarinda memang menyala setelah berbagai pertempuran di sudut-sudut kota.

Di Gedung Dewan Kalimantan Timur, Lektol Soekanda dijadwalkan bertemu perwira militer Belanda dan pejabat Federasi Kaltim termasuk Komandan Resimen Belanda dari Banjarmasin. Warga yang datang makin banyak. Khalayak berdesak-desakan melihat pertemuan tersebut. Bagian keamanan sampai melarang masyarakat masuk ke gedung saking penuhnya. Hiruk-pikuk tak terhindarkan. Warga yang menonton dari luar memecahkan kaca-kaca gedung. 

Moeis Hassan yang melihat keributan itu berinisiatif mendinginkan keadaan. Ia berdiri di sebuah bangku dan menenangkan massa. Upaya itu rupanya tidak berhasil. Letkol Soekanda kemudian memanggil Moeis Hassan dan memintanya tidak menghentikan masyarakat.

“Biarkan saja mereka. Ibarat klep air yang sudah terbuka, air bakal mengalir dengan sendirinya. Tidak usah dibendung. Biarkan saja,” tutur Lektol Soekanda (hlm 117-118).

Posisi Kaltim Setelah KMB

Selepas dari pertemuan, Letkol Soekanda meresmikan kesatuan TNI di Samarinda. Pasukan tersebut adalah hasil perubahan Batalyon G Brig XVI pimpinan Wahel Tantawy. Batalyon ini terdiri dari mantan pasukan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPIP) dan Barisan Sadewa. Kedua pasukan inilah yang terlibat dalam berbagai palagan di Kaltim dalam upaya mempertahankan kemerdekaan republik.

Sinyal keberhasilan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar makin jelas pada 26 Desember 1949. Pasukan KNIL pimpinan Kapten Plaatselijk Militair Commandant Samarinda, Remmers, menyerahkan kekuasaan kepada TNI. Penyerahan diterima Letnan I Sjoel Soemadipradja sebagai pejabat sementara Komandan TNI untuk Samarinda. Letnan I Sjoel kemudian mengumumkan berdirinya Komando Militer Kota (KMK) sebagai lembaga yang melayani masyarakat untuk urusan kemiliteran. KMK berkedudukan di sebuah gedung bekas Balai Pertemuan Indonesia (BPI) di Makasar Straat, kini Jalan Veteran Samarinda.

_____________________________________________________INFOGRAFIK

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Konferensi Meja Bundar diakhiri dengan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949, hari ini tepat 72 tahun lampau. Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink menyerahkan kedaulatan kepada Sultan Hamengku Buwono IX di Jakarta. Sementara itu, Residen Kaltim di Samarinda, Hollestelle, menyerahkan kedaulatan kepada Ketua Majelis Pemerintah Kaltim, Aji Pangeran Afloes.

Hari yang bersejarah itu dirayakan di Samarinda. Moeis Hassan bersama anggota Front Nasional mengadakan upacara bendera di halaman Gedung Nasional. Di Jalan Panglima Batur itu, mereka mengibarkan bendara merah-putih. Moeis Hassan pun berpidato di gedung tersebut (hlm 29-31).

Seturut kedaulatan RI, dalam pidatonya, Moeis menganggap bahwa negara federal tidak sesuai dengan cita-cita bangsa. Kaltim waktu itu masih berstatus keresidenan yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) bentukan Van Mook. Pemerintahan Federasi Kaltim ini adalah gabungan Kesultanan Kutai, Sambaliung, Gunung Tabur, Bulungan, plus neoswapraja Pasir. Front Nasional berkehendak agar Kaltim keluar dari RIS bikinan Belanda lalu bergabung dengan RI.

Baca juga:
 

Tuntutan Front Nasional mendapat dukungan luar biasa di Kaltim. Gelombang desakan yang kuat menyebabkan pemerintah lokal dan pusat setuju atas integrasi Kaltim ke RI pada 19 Maret 1950. Melalui Surat Keputusan Presiden RIS 127/1950, Kaltim resmi bergabung dengan wilayah RI. Serah-terima dari pemerintah RIS kepada pemerintah RI diwakili Aji Raden Afloes sebagai pelaksana tugas Residen Kaltim kepada Dr Woerdjani selaku Gubernur Kalimantan. Negara federasi kemudian bubar, Kaltim bersetia dengan Republik Indonesia sampai hari ini.  (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar