Peristiwa

Kaltim Jadi Daerah Pertama di Luar Jawa-Sumatra yang Bergabung NKRI dan Ancaman yang Menyertainya

person access_time 3 years ago
Kaltim Jadi Daerah Pertama di Luar Jawa-Sumatra yang Bergabung NKRI dan Ancaman yang Menyertainya

Gubernur Kalimantan Dr. Murdjani dan Ketua Front Nasional Abdoel Moeis Hassan tahun 1950 (duduk paling depan deretan ke-6 dan ke-7 dari kiri). Foto: dari buku Ikut Mengukir Sejarah, 1994.

Hari ini, tepat 71 tahun yang lalu, Kaltim resmi keluar dari RIS dan bergabung dengan NKRI. Disertai ultimatum ‘memengaruhi keamanan dan ketenteraman umum.’

Ditulis Oleh: Muhammad Sarip
Sabtu, 10 April 2021

kaltimkece.id Pagi yang sibuk di sebuah kantor yang terbuat dari kayu di tepi Sungai Mahakam, Samarinda. Beberapa pegawai sedang menyiapkan sebuah acara yang amat penting. Mereka menata meja dan kursi sedemikian rupa. Pengeras suara dipasang. Berkas-berkas penting ditumpuk dalam map. Tak lupa, pena disediakan.

Senin itu, 10 April 1950, jelang pukul 10 pagi, seluruh persiapan telah rampung di kantor Asisten Residen/Koordinator Kalimantan Timur. Rombongan pejabat tiba pun tiba di bangunan yang posisinya kini persis di Kegubernuran Kaltim, Jalan Gajah Mada, Samarinda. Dua sosok utama dalam pertemuan itu adalah Aji Pangeran Afloes dan Dr. Murdjani. Afloes adalah pelaksana tugas Residen Kaltim sedangkan Murdjani mewakili pemerintah Republik Indonesia.

Sesuai agenda, Afloes secara resmi menyerahkan otoritas Keresidenan Kaltim kepada pemerintah RI. Kaltim resmi keluar dari Republik Indonesia Serikat atau RIS, wilayah negara uni Indonesia-Belanda. Dengan demikian, Keresidenan Kaltim hanya menjadi bagian RIS kurang dari empat bulan.

Tuntutan Keluar dari RIS

RIS adalah negara federal yang dibentuk berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Perundingan yang diselenggarakan dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 itu dihadiri perwakilan RI, majelis negara federal BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), dan Belanda.

KMB melahirkan RIS yang beribu kota di Jakarta pada 27 Desember 1949. RIS merupakan negara perserikatan antara Indonesia dan Kerajaan Belanda. Ada tujuh negara bagian dan sembilan daerah otonom di dalamnya. Hasil KMB tersebut dianggap merugikan Indonesia. Sejumlah tokoh pergerakan lantas menuntut pembentukan RI, negara kesatuan yang tak diakui Belanda dan terpaksa beribu kota di Yogyakarta. Tuntutan menyeruak hampir di seluruh daerah. Tiada terkecuali Kaltim yang berstatus daerah otonom RIS (Sejarah Indonesia Modern, 2016, hlm 350).

Semangat integrasi Kaltim ke dalam RI sebenarnya tak lepas dari gerakan pejuang di Kaltim. Para tokoh pergerakan di Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, Sanga Sanga, dan lain-lain, setia mendukung Proklamasi Negara Indonesia 1945. Mereka terbagi dalam dua gerakan yakni jalur diplomasi politik dan gerakan bersenjata.

Desakan supaya Kaltim bergabung ke RI semakin masif dan bergelora selepas pelaksanaan hasil KMB 27 Desember 1949. Front Nasional menjadi penggerak utama yang menyokong tuntutan rakyat Kaltim. Front ini terdiri dari koalisi 23 organisasi sosial dan politik di Kaltim yang berhaluan republiken, mendukung perjuangan kemerdekaan RI 1945. Gabungan organisasi tersebut memilih Abdoel Moeis Hassan sebagai ketuanya. Front Nasional kemudian bermarkas di Gedung Nasional di Stamboel Straat, kini Jalan Panglima Batur di Samarinda (Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999, 2017, hlm 150–151).

Front Nasional menyampaikan pernyataan penting tepat pada hari pengakuan kedaulatan RIS 27 Desember 1949. Di halaman Gedung Nasional, diadakan sebuah upacara dengan Moeis Hassan sebagai inspekturnya. Moeis Hassan dalam pidatonya menegaskan bahwa bentuk RIS yang diakui Belanda bukanlah tujuan perjuangan kaum Republiken. Negara federal RIS dianggap tidak sesuai dengan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Moeis Hassan berpendapat bahwa bentuk yang cocok untuk Nusantara adalah negara kesatuan. Karenanya, ia menginginkan Keresidenan Kaltim keluar dari RIS dan berintegrasi ke Negara RI (Abdoel Moeis Hassan Pejuang Republiken dan Pelopor Pembaharuan di Kalimantan Timur: Sebuah Biografi, 2018, hlm 33).

Sebulan kemudian, pertengahan Januari 1950, Front Nasional juga menuntut Federasi Kaltim bergabung ke RI. Pemerintahan Federasi Kaltim merupakan gabungan Kesultanan Kutai, Sambaliung, Gunung Tabur, Bulungan, plus neoswapraja Pasir. Ketika itu, Federasi Kaltim warisan Van Mook berada di bawah RIS, bukan RI (Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa, 1992, hlm. 123).

Tuntutan Front Nasional mendapat sambutan baik dari Kesultanan Kutai Kertanegara. Hanya beberapa hari kemudian, pada 23 Januari 1950, Sultan Aji Muhammad Parikesit memproklamasikan persetujuan bergabung dalam RI. Sultan Kutai tersebut membacakan pernyataannya di hadapan masyarakat yang berkumpul di Lapangan Kinibalu, tepat di belakang Kantor Residen Kaltim (Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara, 2018, hlm 155). Lokasinya sekarang persis di belakang Gedung Lamin Etam. Lapangan bersejarah tersebut lenyap setelah Masjid Pemprov Kaltim didirikan di situ.

Baca juga: 
 

Selanjutnya, tuntutan Front Nasional dipenuhi pemerintah lokal dan pusat. Diawali Februari 1950, lembaga Dewan Kalimantan Timur menyampaikan aspirasi kepada pemerintah RIS agar mewujudkan tuntutan rakyat Kaltim. Pada 10 Maret 1950, Federasi Kaltim menyampaikan hal serupa. Enam hari kemudian, giliran Residen Kaltim meminta Pemerintah RIS mewujudkan aspirasi Front Nasional. Nota resmi Residen Kaltim bernada ultimatum. Jika kemauan dan tuntutan rakyat Kaltim tidak dipenuhi, maka akan memengaruhi keamanan dan ketenteraman umum di Kaltim.

Bergabung ke NKRI

Pemerintah Pusat RI di Yogyakarta merespons tuntutan Kaltim. Pada 19 Maret 1950, Residen Kaltim menerima surat kawat dari Pemerintah RI yang menyatakan persetujuan dan sanggup menerima penggabungan Kaltim ke RI. Presiden RIS, Sukarno, lantas mengeluarkan Keputusan Presiden RIS No 127 tertanggal 24 Maret 1950 yang berbunyi, “Menghapus daerah Kalimantan Timur sebagai bagian Republik Indonesia Serikat dan menggabungkannya kepada Republik Indonesia” (Kalimantan Timur dengan Aneka Ragam Permasalahan dan Berbagai Peristiwa Bersejarah yang Mewarnainya, 2004, hlm 44–45).

Pada lini masa yang sama, tanda-tanda senjakala RIS makin tampak. Pelbagai sentimen dan pergolakan di daerah-daerah tambah marak. Pergolakan melibatkan kaum republiken-unitaris maupun federalis dan anasir-anasir yang prostatus quo alias lebih memilih berinduk ke Kerajaan Belanda. Parlemen RIS, Mohammad Natsir, bahkan mengajukan “Mosi Integral” pada 3 April 1950. Ketua Fraksi Masyumi tersebut menyerukan bentuk negara kesatuan untuk Indonesia sebagai solusi mengatasi perpecahan.

Kaltim akhirnya bergabung ke RI secara de facto lewat upacara serah-terima dari Pemerintah RIS kepada Pemerintah RI. Pada 10 April 1950, hari ini tepat 71 tahun yang lalu, Kaltim resmi keluar dari RIS. Kaltim diwakili Aji Raden Afloes sebagai Plt Residen Kaltim, sementara pemerintah RI diwakili Dr. Moerdjani yang diutus dari Yogyakarta. Bertindak sebagai saksi, Menteri Dalam Negeri Mr. Soesanto Tirtoprodjo (Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa, 1992, hlm. 128).

Sejarah mencatat bahwa Kaltim adalah daerah pertama di luar Jawa dan Sumatra yang menggabungkan diri ke wilayah RI. Status Kaltim pada awal bergabung ke RI adalah keresidenan di bawah Provinsi Kalimantan yang beribu kota di Banjarmasin. Pemerintah RI menunjuk Ruslan Muljohardjo sebagai Residen Kaltim. Adapun Murdjani, ditetapkan sebagai Gubernur Provinsi Kalimantan, meneruskan jabatan yang sebelumnya dipegang Pangeran Mohamad Noor (Sejarah Daerah Kalimantan Timur, 1978, hlm. 78).

Setelah Kaltim, makin banyak daerah yang keluar dari RIS. Kondisi RIS kian memprihatinkan. Pada HUT ke-5 Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1950, negara federal RIS akhirnya dibubarkan. Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan.

Setengah abad berlalu. Kaltim telah menjadi provinsi di bawah NKRI. Wacana negara federal kembali mengemuka dari Bumi Etam. Selepas masa reformasi, DPRD Kaltim menyampaikan tuntutan resmi kepada Presiden KH Abdurrahman Wahid, Ketua DPR Akbar Tandjung, dan Ketua MPR Amien Rais, agar RI menganut sistem negara federal.

Pengajuan bentuk negara federal dilatarbelakangi ketimpangan pembangunan antara Pulau Jawa dengan luar Jawa semasa Orde Baru. Padahal, Kaltim merupakan daerah yang sumber daya alamnya telah memberi sumbangsih besar kepada negara. Menurut Keputusan DPRD Kaltim tertanggal 8 November 1999, negara federal diusulkan agar Pemerintah Daerah Kaltim diberikan kewenangan sepenuhnya mengelola sumber daya alam. Aspirasi parlemen Kaltim ini tidak terealisasi.

Baca juga:
 

Ide federalistis lantas mengalami peyorasi atau perubahan makna pada masa kini. Stigma yang melekat adalah bentuk negara federal berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Adalah NKRI harga mati yang menjadi jargon pengubur wacana federalisme bagi Indonesia. Dengan kata lain, tuntutan negara federal dari Kaltim bisa dianggap membahayakan persatuan dan kesatuan. Padahal, yang tak banyak orang ingat, Kaltim justru daerah pertama di luar Jawa dan Sumatra yang bergabung dengan republik ini. Sebuah tuntutan, pilihan, dan keputusan atas nama persatuan dan kesatuan. (*)

Penulis adalah alumnus Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah Kemdikbud 2020

Editor: Fel GM

Senarai Kepustakaan
  • Dachlan, Oemar. 2000. Kalimantan Timur dengan Aneka Ragam Permasalahan dan Berbagai Peristiwa Bersejarah yang Mewarnainya. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
  • Ricklefs, M.C. 2016. Sejarah Indonesia Modern, cetakan ke-11 (dicetak pertama kali tahun 1991). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Sarip, Muhammad. 2017. Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999. Samarinda: RV Pustaka Horizon.
  • Sarip, Muhammad. 2018. Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara. Samarinda: RV Pustaka Horizon.
  • Sarip, Muhammad & Nabila Nandini. 2018. Abdoel Moeis Hassan Pejuang Republiken dan Pelopor Pembaharuan di Kalimantan Timur: Sebuah BiografiSamarinda: RV Pustaka Horizon.
  • Tim Penyusun. 1978. Sejarah Daerah Kalimantan Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1976/1977.
  • Tim Penyusun. 1992. Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa. Samarinda: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar