Peristiwa

Kebangkitan Nasional di Kaltim dan Peran Besar Sarekat Islam Melawan Kolonialisme Belanda

person access_time 4 years ago
Kebangkitan Nasional di Kaltim dan Peran Besar Sarekat Islam Melawan Kolonialisme Belanda

Patung Abdoel Moethalib Sangadji di Tenggarong, Kutai Kartanegara (foto: Muhammad Sarip for kaltimkece.id)

Kebangkitan nasional di Kaltim tidak lepas dari peran Sarekat Islam. Sejumlah nama besar tercatat di dalamnya. 
 

Ditulis Oleh: Fel GM
Kamis, 21 Mei 2020

kaltimkece.id Sungai Mahakam masih setia mengalir dari hulu ke hilir ketika situasi politik berubah dengan drastisnya. Hari itu, 11 Oktober 1844, Sultan Kutai Kertanegara harus mengakui pemerintahan kolonial Belanda di timur Kalimantan. Belanda diwakili seorang Resident Zuider en Ooster Afdeling van Borneo di Banjarmasin. Sementara di Kutai, diangkat seorang civil gezaghebber.

Perjanjian ini menyebabkan kesultanan secara de yure di bawah kekuasan Belanda, walaupun tidak secara de facto. Tapi sejak saat itulah, Belanda menerapkan politik diskriminasi di bidang pendidikan dan ekonomi yang merugikan pribumi. 

Baru sekitar 70 tahun kemudian, pada 1914, seorang Sumatra bernama Maraja Sayuti Lubis tiba Samarinda. Ia seorang wartawan sekaligus pimpinan teras Sarekat Islam, organisasi pertama di Nusantara yang didirikan pedagang-pedagang Islam. Lubis tiba ketika Sarekat Islam Cabang Samarinda telah berumur setahun. Para pedagang pribumi yang jengah akan kehadiran Belanda di Pelabuhan Samarinda yang mendirikannya. 

“Pada awalnya, pedagang pribumi terutama dari etnis Banjar mendirikan perusahaan dagang bernama Handelmaatschappij Borneo Samarinda atau HBS pada 14 November 1908,” terang Muhammad Sarip, penekun sejarah lokal, yang menjadi narasumber dalam webinar bertajuk Kalimantan Timur dalam Sejarah Kebangkitan Nasional.

Webinar ini diadakan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Kaltim, sehari setelah peringatan Hari Kebangkitan Nasional, Kamis, 21 Mei 2020. Sebagai narasumber kedua adalah Sainal Abidin, dosen Pendidikan Sejarah dari Universitas Mulawarman. 

HBS, lanjut Sarip, eksis menyaingi dominasi saudagar Tionghoa di Samarinda yang disokong Belanda. Setelah HBS berusia lima tahun, pada 1913, sebagian anggota yang bermukim di Pasar Pagi menginisiasi pendirian Sarekat Islam Cabang Samarinda. Beberapa nama pendirinya adalah Ali Barack (kakek buyut Reino Barack —suami Syahrini), Anang Matarib, Abdul Manaf, dan Yusuf Arieph. 

Sarekat Islam Cabang Samarinda dipimpin seseorang bernama Mohammad Hassan. Laki-laki ini selalu bersedia ketika rumahnya dijadikan tempat belajar anak-anak Samarinda. Fasilitas pendidikan itu berada di bawah naungan Madrasah Musyawaratut Thalibin. 

“Kelak, Mohammad Hassan memiliki seorang anak laki-laki yang dinamakan Abdoel Moeis Hassan,” lanjut Sarip dalam webinar. Adapun Moeis Hassan adalah tokoh republiken yang gigih melawan politik negara boneka bikinan Belanda selepas kemerdekaan Indonesia. Pada awal dekade 1960-an, Moeis Hassan dipercaya menjadi gubernur Kaltim dan kini tengah diajukan sebagai pahlawan nasional. 

Baca juga:
 

Kembali ke petinggi Sarekat Islam sekaligus wartawan, Sayuti Lubis, yang baru saja tiba di Samarinda. Ia gembira melihat perkembangan Sarekat Islam walaupun baru setahun umurnya. Sarekat Islam telah menjadi organisasi yang membangkitkan pergerakan nasional melawan kolonialisme Belanda. Kiprah organisasi ini nampak dari dibukanya Biro Pengaduan. Beragam aduan disampaikan masyarakat seperti pajak yang tinggi hingga kerja paksa (Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialsme dan Kolonialisme di Kalimantan Timur, 1983, hlm 100).  

Di tengah situasi itu, Lubis menyadari bahwasanya Samarinda adalah lokasi yang menguntungkan bagi propaganda pergerakan nasional. Sebagai kota pelabuhan, Samarinda sedari dulu adalah tempat bertemu aneka pedagang dari berbagai pulau. Kota ini juga dijadikan pusat pemerintahan Hindia Belanda di Oost Borneo. Status kota yang demikian membuat sebagian penduduk Samarinda menguasai baca tulis. 

Hal itu sangat penting bagi Lubis sebagai seorang wartawan. Ia segera mendirikan surat kabar mingguan bernama Persatuan. Lewat tulisan-tulisannya, Lubis membangkitkan semangat kebangsaan dan persatuan yang bertujuan menyusun kekuatan. Tujuannya hanya satu, bangsa Indonesia bisa mengubah nasibnya (hlm 101).  

“Karena tulisan-tulisannya, Lubis akhirnya ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda,” jelas Sarip, masih dalam webinar.

Setelah Lubis mendekam di penjara, Sarekat Islam bukannya meredup. Kiprahnya semakin bernas ketika seorang pentolan organisasi bernama Abdoel Moethalib Sangadji datang ke Tenggarong pada 1917. Sangadji adalah seorang Maluku yang turut menggagas pendirian Sarekat Islam pusat. 

Tiga tahun lamanya, Sangadji bermukim di Kaltim. Kehadiran si Jago Tua, demikian ia dijuluki, mempertajam taji Sarekat Islam di Bumi Etam. Sangadji sangat dekat dengan masyarakat Samarinda dan Tenggarong. Ia pun tak kenal lelah menyebarkan semangat pergerakan nasional kepada kaum muda. 

AM Sangadji kembali lagi ke Samarinda pada 1939, menetap sampai 1947. Selama sewindu itu, Sangadji tetap menyebarkan semangat pergerakan nasional dan mencetak kader. Sementara itu, situasi bangsa telah meruncing menuju kemerdekaan Indonesia. Kader terbaik Sangadji di Kaltim adalah Abdoel Moeis Hassan, putra dari presiden pertama Sarekat Islam Cabang Samarinda, Mohammad Hassan. Moeis Hassan-lah yang kelak melanjutkan perjuangan Sangadji pada Revolusi Kemerdekaan selepas proklamasi. 

“Dengan tidak menyingkirkan peran organisasi lain di Kaltim, Sarekat Islam punya andil besar dalam pergerakan nasional,” tutup Muhammad Sarip. (*) 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar