Peristiwa

Kelirunya Klaim Salakanagara sebagai Kerajaan Tertua di Nusantara dan Ayah Mulawarman dari Jawa Barat

person access_time 2 years ago
Kelirunya Klaim Salakanagara sebagai Kerajaan Tertua di Nusantara dan Ayah Mulawarman dari Jawa Barat

Ilustrasi Museum Purbakala di Muara Kaman, Kutai Kartanegara.

Kerajaan Salakanagara di Jawa Barat diklaim yang tertua di Nusantara. Sumber yang sama menyebut Aswawarman dari sana.

Ditulis Oleh: Muhammad Sarip
Senin, 07 Februari 2022

kaltimkece.id Predikat kerajaan pertama di Nusantara sampai hari ini masih dipegang dinasti Mulawarman. Berdiri pada abad keempat, kerajaan tersebut berpusat di Muara Kaman, hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, ada yang bersemangat ingin menganulir predikat tersebut. Caranya, lewat klaim Kerajaan bahwa Salakanagara dan Kerajaan Nan Sarunai lebih tua ketimbang monarki Hindu warisan Kundungga di Muara Kaman.

Sejumlah narasi telah muncul di media nasional. Pertama, artikel berjudul Salakanagara, Kerajaan (Sunda) Tertua di Nusantara yang ditayangkan Tirto.id pada 24 Oktober 2017. Penulisnya bernama Iswara N Raditya. Meskipun isi artikel masih menyajikan perdebatan tentang keabsahan sumber, penulisnya cenderung menguatkan asumsi mengenai kerajaan di Jawa Barat lebih tua dari kerajaan di Kalimantan Timur.

Penulis yang sama selanjutnya memublikasikan artikel Jejak Panjang Nan Sarunai, Kerajaan Purba di Kalimantan. Kerajaan Nan Sarunai diklaim telah berdiri sekitar dua abad sebelum Masehi. Dengan kata lain, Kerajaan Nan Sarunai enam abad lebih dulu berdiri daripada tarikh pembuatan prasasti yupa pada 400–450 Masehi. Kerajaan di bagian tengah dan selatan Kalimantan ini bahkan lebih tua ketimbang klaim Salakanagara. Saya telah menyanggah artikel tersebut dalam artikel Mempersoalkan Klaim Kerajaan Nan Sarunai Lebih Tua daripada Kerajaan Kutai.

Artikel ini akan membahas klaim Kerajaan Salakanegara yang disebut berdiri pada 130 Masehi. Benarkah kerajaan Sunda kuno ini lebih dulu eksis ketimbang Martapura di Muara Kaman?

_____________________________________________________PARIWARA

Penelusuran sumber sejarah Salakanagara bertumpu kepada naskah Pangeran Wangsakerta. Naskah ini disebut-sebut sebagai karya tulis Kesultanan Cirebon pada abad ke-17 Masehi. Penulis Tirto.id pun sebenarnya mengakui bahwa naskah Wangsakerta masih kontroversi. Namun, ia kurang menegaskan aspek kontroversi naskah tersebut.

Yang sebenarnya, level kontroversi naskah Wangsakerta ini sangatlah fatal. Naskah itu pun gagal dijadikan rujukan sejarah karena merupakan naskah palsu. Teks Wangsakerta yang seolah-olah klasik ternyata baru ditulis pada abad ke-20. Analisis ini diungkap oleh Prof Boechari, ahli epigrafi dan arkeologi Indonesia yang ternama setelah Prof Poerbatjaraka, dalam makalah berjudul Beberapa Kritik atas Naskah-Naskah Sejarah dari Jawa Barat pada diskusi panel 16 September 1988.

Sebagai informasi, naskah Wangsakerta dipublikasikan Ayatrohaedi pada 1986. Ayatrohaedi menyatakan, naskah tersebut ditulis secara kolektif oleh “Panitia Wangsakerta”. Total tulisannya lebih dari 1.800 judul yang tersusun dalam lebih dari 50 jilid. Tebal naskah berkisar 10 ribu halaman. Teks di naskah menyebut, panitia atau tim penulisnya dipimpin Pangeran Wangsakerta. Sementara durasi pengerjaan naskahnya selama 21 tahun, dari 1677 hingga 1698.

Sejarawan Prof Nina Herlina Lubis menyatakan, lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) telah menguji naskah fisik Wangsakerta. Hasilnya, kertas dari kulit kayu yang dinamakan daluang yang digunakan sebagai media penulisan Wangsakerta baru berusia sekitar satu abad, dihitung dari 1988. Ada kemungkinan, naskah itu disalin pada akhir abad ke-19. Bisa juga ditulis pada abad ke-20 setelah banyaknya penelitian sejarah di Nusantara. Dengan demikian, ditemukan selisih sekitar 200 tahun dari klaim penulisannya. Dari aspek kritik ekstern, naskah Wangsakerta jelas tidak memenuhi kualifikasi autentisitas alias tidak asli dan bukan sumber primer (Kontroversi tentang Naskah Wangsakerta, 2002, hlm 24).

Dugaan Boechari bahwa naskah Wangsakerta merupakan naskah baru terbukti secara mekanis. Boechari memperbandingkan dengan naskah-naskah klasik dari abad ke-14 dan ke-17 yang tersimpan di Perpustakaan Nasional, Museum Sri Baduga (Jawa Barat), dan di luar negeri. Semua fisik naskah klasik tersebut ditemukan. Berbeda dengan naskah Wangsakerta, setengah jilid pun tidak ditemukan aslinya.

Bandingkan pula dengan naskah Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang populer disebut Salasilah Kutai. Fisik dari naskah orisinal karya historiografi tradisional Kutai ini tersimpan di Perpustakaan Berlin, Jerman. Salasilah Kutai juga telah didigitalisasi dan bebas diakses publik (Islamisasi Kerajaan Kutai Kertanegara Abad Ke-16: Studi Historiografi Naskah Arab Melayu Salasilah Kutai, 2021, hlm 35).

Prof Boechari pun, sebelum wafat pada 1991, akhirnya hanya diperlihatkan contoh salinan dari halaman 1 Wangsakerta yang beraksara Jawa Kuno. Bentuk hurufnya mirip dengan tipografi abad ke-17. Namun, Boechari menganalisis bahwa penulisnya tidak hidup pada abad ke-17. Penulis naskah disebut hanya meniru bentuk huruf klasik itu dan jauh dari berhasil.

“Tentulah timbul dugaan bahwa Panitia Wangsakerta di abad ke-17 Masehi itu tidak pernah ada,” kata Boechari dalam Melacak Sejarah Indonesia Lewat Prasasti (2012, hlm 548).

Ayah Mulawarman dari Jawa Barat?

Jika kritik ekstern menyatakan bahwa naskah itu kemungkinan besar palsu, bagaimana dengan kritik intern? Kritik intern dalam tema ini berupa uji substansi naskah Wangsakerta. Apabila dilihat dari kontennya, naskah ini memang sangat lengkap karena mencakup banyak cerita kerajaan. Naskah Wangsakerta dimulai dengan Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara (PRRBN). Cerita bermula dari terjadinya bumi dan masa pra-aksara di Nusantara.

Kisah dilanjutkan dengan Sejarah Jawa Barat yang diawali kedatangan Dewawarman dari India. Di sinilah persinggungan dengan Kerajaan Martapura dari Dinasti Mulawarman di Kalimantan Timur. Menurut naskah Wangsakerta, alkisah seorang bernama Dewawarman menikahi putri setempat dan menjadi raja pertama Salakanagara. Naskah ini memiliki kedetailan dalam tarikh peristiwa yakni pada awal Masehi. Kerajaan Salakanagara disebut berdiri pada 52 Saka atau 130 Masehi.

Cerita dalam PRRBN disambung dengan kisah menantu dari Dewawarman yang mendirikan Kerajaan Tarumanagara pada 280 Saka. Adapun putra Dewawarman yang bernama Aswawarman, disebut pergi ke Kalimantan dan diambil menantu oleh penghulu setempat bernama Kundungga.

Kisah ini jelas bertentangan dengan berita dari prasasti yupa. Sebagai sumber sejarah yang sezaman, prasasti yupa menyebutkan bahwa Aswawarman adalah putra kandung Kundungga. Aswawarman kemudian memiliki anak laki-laki bernama Mulawarman. Pada masa Mulawarman-lah, kerajaan ini mencapai masa kejayaannya.

Orang yang mengetahui bahasa Sanskerta—walaupun sedikit—lalu membaca satu dari prasasti yupa beraksara Pallawa, tentu dapat melihat maksud teks yupa. Aswawarman adalah anak laki-laki Kundungga, bukan menantunya. Pendapat Prof Boechari juga seragam. Jadi, substansi naskah Wangsakerta dalam cerita relasi kerajaan Jawa Barat dan Kalimantan Timur terbukti mengada-ada.

_____________________________________________________INFOGRAFIK

Kritik intern berikutnya masih menggunakan pendapat Prof Boechari yang pernah menjadi Ketua Jurusan Arkeologi, Universitas Indonesia. Boechari melihat penggunaan istilah baru dalam naskah Wangsakerta. Contohnya adalah widyajana-pada untuk pengetahuan tentang masyarakat (sosiologi) dan widyanagara untuk ahli tata negara. Kedua istilah tersebut mengingatkan Boechari mengenai keahlian Ayatrohaedi dalam menciptakan istilah baru dari bahasa Jawa Kuno.

Ada pula istilah geografis yang mengacu pembagian administratif modern Pulau Jawa dalam naskah Wangsakerta. Sebutan Jawa Kulwan, Jawa Madya, dan Jawa Wetan, dalam naskah Wangsakerta memang dimaksudkan sebagai wilayah modern Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Padahal, pada abad ke-17, belum ada pembagian administratif seperti itu.

Kontroversi naskah Wangsakerta bertambah lagi. Dalam PRRBN, disebutkan bahwa Panitia Wangsakerta di Cirebon mengumpulkan utusan dari berbagai wilayah Nusantara untuk proses penulisan. Setiap delegasi terdiri atas 70 orang. Naskah finalnya konon disetujui Sultan Banten dan Sultan Mataram. Tidak jelas apakah kedua sultan ini turut hadir di Cirebon ataukah hanya menerima salinan naskah Wangsakerta di istana masing-masing. Jika menerimanya, semestinya di Banten, Solo, atau Yogya masih bisa ditemukan peninggalan satu-dua lembar sisa salinan dari abad ke-17, kalau tidak bisa seutuhnya 10 ribu halaman.

Pada akhirnya, kita bisa bersepakat dengan kesimpulan Prof Boechari bahwa naskah Wangsakerta serupa dengan Buku Harian Adolf Hitler yang palsu itu. Skandal hoaks buku harian yang dipublikasikan majalah Stern pada 1983 ini terbongkar. Jenis tinta di buku harian itu rupanya belum ditemukan pada masa Hitler. Kertasnya juga berasal dari masa puluhan tahun setelah kematian Hitler. Naskah palsu seperti ini tentu saja tidak pantas dipublikasikan apalagi dijadikan sumber sejarah.

Dari kritik ekstern dan intern di atas, ada dua kesimpulan naskah Wangsakerta. Pertama, naskah itu secara fisik terbukti tidak autentik. Kedua, substansinya tidak kredibel. Label kerajaan pertama sekaligus tertua di Nusantara sampai masa kini pun tetap dipegang Kerajaan Martapura. Sebuah pemerintahan bercorak Hindu kuno yang didirikan Aswawarman, putra Kundungga, di Muara Kaman, Kalimantan Timur. (*)

Penulis adalah penerima Sertifikat Kompetensi Bidang Sejarah dari Kemdikbud-BNSP

Editor: Fel GM 

Senarai Kepustakaan
  • Boechari. 1988. Beberapa Kritik atas Naskah-Naskah Sejarah dari Jawa Barat. Makalah Diskusi Panel Naskah Sumber Sejarah Kerajaan Tarumanegara, 16 September 1988.
  • Boechari. 2012. Melacak Sejarah Indonesia Lewat Prasasti, 2012. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Lubis, Nina H. 2002. Kontroversi tentang Naskah Wangsakerta. Humaniora Vol. XIV, No. 1/2002: 20–26.
  • Sarip, Muhammad. Kerajaan Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai 400–1635. Samarinda: RV Pustaka Horizon.
  • Sarip, Muhammad, dan Nabila Nandini. Islamisasi Kerajaan Kutai Kertanegara Abad Ke-16: Studi Historiografi Naskah Arab Melayu Salasilah Kutai. Yupa: Historical Studies Journal 5, no. 1 (2021): 33–45. Diakses 21 Agustus 2021
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar