Peristiwa

Ketika Banjir Terbesar Menerjang Samarinda-2: Nyawa yang Melayang

person access_time 5 years ago
Ketika Banjir Terbesar Menerjang Samarinda-2: Nyawa yang Melayang

Sogati hanyut terbawa arus Sungai Karang Mumus. Tubuhnya tak ditemukan hingga sekarang. Ilustrasi: Fel GM

Banjir terbesar yang melanda Samarinda pada 1998 membuat empat nyawa melayang. Seseorang di antaranya adalah anak lelaki berusia enam tahun. 

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Minggu, 29 Juli 2018

kaltimkece.id Arminto masih kerepotan mengurusi kedai nasi rawon miliknya yang begitu ramai pengunjung ketika permukaan Sungai Karang Mumus mulai merangkak naik. Kepulangan istrinya ke Kendari, Sulawesi Tenggara, membuat lelaki 35 tahun itu mesti membereskan semuanya sendirian. Dia menyiapkan pesanan dan membersihkan peralatan makan. Seraya itu, matanya tidak lepas dari kedua anak lelakinya yang masih asyik bermain. 

Selasa malam pada 28 Juli 1998, seluruh tugas Arminto selaku penjual makanan maupun sebagai ayah akhirnya kelar. Perantauan Madiun, Jawa Timur, itu segera mengajak kedua anak-anaknya beristirahat. Mereka bersiap tidur di warung sekaligus tempat tinggal Arminto di Pasar Rahmat, Jalan Lambung Mangkurat, saat itu Kecamatan Samarinda Ilir. 

Ketika kantuk sudah menjemput, Arminto mendengar hiruk-pikuk di dalam pasar. Tiba-tiba saja, Pasar Rahmat tergenang padahal seharian tidak turun hujan. Dalam beberapa menit, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Listrik tiba-tiba terputus. Malam menjadi gelap gulita. Hanya lampu penerangan darurat yang terpantul di atas genangan menari-nari ke sana kemari. 

Pagi datang dan air semakin tinggi. Arminto bergegas membawa kedua anaknya, --Muhammad Sogati, 6 tahun, dan Arditya Abdul Aziz, 4 tahun-- menuju tempat yang aman. Ketiganya pergi ke Swalayan Lambung Jaya, sebuah gedung tinggi di Jalan Lambung Mangkurat. Lantai dua swalayan sudah sesak oleh warga ketika Arminto tiba. Banjir di kawasan itu sudah setinggi 1,5 meter. Sementara itu, hampir setengah wilayah Samarinda sudah tergenang oleh banjir yang paling besar dalam sejarah kota.

“Kami bertiga tinggal di swalayan selama beberapa hari,” tutur Arditya Abdul Aziz, kini berusia 24 tahun, anak bungsu Arminto. Kepada kaltimkece.id, Arditya mengaku, hanya ingat bahwa dia asyik bermain bersama anak-anak tetangga di dalam pengungsian. Swalayan itu sudah berubah seperti tempat tinggal. Ibu-ibu memasak dan anak-anak bermain bersama-sama. Para lelaki dewasa mencari bahan makanan serta mengawasi ketinggian air, siang maupun malam. Keterangan lain seputar banjir di Samarinda diperoleh dari cerita ayahnya, Arminto, ketika Arditya beranjak dewasa. 

“Menurut ayah saya, air bersih adalah yang paling sulit dicari,” terang lulusan SMK Kesatuan Samarinda itu. 

Para pengungsi harus berperahu ke Gang Al-Jawahir di samping swalayan jika ingin mandi. Di tepi kalinya, air Sungai Karang Mumus masih cukup bersih. Ketika banjir memasuki hari keempat, ayah Arditya membawa kakaknya, Sogati, mandi di sana. Sementara itu, Arditya dititipkan kepada para tetangga yang sedang mengungsi di swalayan. 

Sore itu, Sogati begitu gembira bermain air bersama anak-anak yang lain. “Kakak saya masuk ke air. Dia memegangi cabang batang pohon di pinggir sungai,” terang Arditya. 

Belum lama berendam, pegangan si sulung lepas. Tubuh kecil Sogati segera terbawa arus deras. Arminto sadar anaknya terbawa arus. Dari atas batang, dia menjulurkan tangan dan mencoba meraih kepala Sogati yang masih terlihat. Dapat!

Cengkeraman Arminto hanya sesaat. Anak sulungnya itu terus meronta-ronta. Pegangan Arminto terlepas. Tubuh Sogati pelan-pelan lenyap ditelan arus sungai. Tak patah arang, masih menurut Arditya, Arminto segera terjun ke sungai demi menjemput anaknya yang sedang berhadapan dengan maut. Namun dia tidak berdaya. Aliran air sungguh deras. 

Warga yang melihat kejadian itu lekas memberi bantuan. Mereka mencari Sogati menggunakan perahu. Pencarian berlangsung berhari-hari tapi tiada hasil. Jasad Sogati lenyap direnggut banjir besar dan tak ditemukan sampai hari ini, tepat 20 tahun musibah mengerikan itu. Sogati menjadi satu dari empat korban jiwa dalam peristiwa banjir besar Samarinda pada 1998 (Kompas, Banjir Samarinda Perahu Laku Keras, 2008).

Sehari setelah kejadian, Arditya bersama sejumlah penghuni Pasar Rahmat harus meninggalkan Jalan Lambung Mangkurat. Banjir pada 1998 itu makin hebat. Menggunakan perahu evakuasi, mereka menuju tempat yang lebih aman. Seingat Aditya, para pengungsi menuju kawasan Solong yang lebih tinggi. 

Arditya lahir, besar, dan menetap di Samarinda. Sementara Arminto, ayahnya, bersama ibunya sudah tinggal di Pulau Jawa sejak beberapa tahun lalu. “Kejadian itu sudah lama sekali. Saya bahkan tidak tak ingat lagi wajah kakak saya,” terang Arditya yang baru-baru ini melangsungkan pernikahannya. 

Arditya pernah berusaha mencari tahu kakaknya. Namun, tidak ada dokumen apalagi foto keluarga yang bisa didapat. Semua hanyut diangkut banjir besar pada 1998. “Seisi rumah habis, termasuk peralatan berjualan bapak. Kami mulai dari nol lagi,” tuturnya. 

Bencana 20 tahun lalu menerjang tiga kecamatan di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus. Sebanyak 105.835 jiwa dari 18.798 kepala keluarga terdampak banjir (Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999, 2017). Sebagian besar korban banjir 1998 mengalami kerugian materi yang sangat besar. Tiada terhitung berapa banyak surat-surat berharga, perabotan, sampai kendaraan, yang musnah kala itu. Kerugian yang sangat besar termasuk bagi Arditya dan keluarga. Tak hanya harta benda, keluarga itu kehilangan orang yang tersayang. (bersambung)

Baca juga: Ketika Banjir Terbesar Menerjang Samarinda-3: La Nina, Benanga, dan Manusia

Editor: Fel GM

Senarai Kepustakaan
  • Kompas, 2008. Banjir Samarinda Perahu Laku Keras, artikel online.
  • Sarip, Muhammad, 2017. Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999. Samarinda: RV Pustaka Horizon.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar