Peristiwa

Ketika Katolik Tiba di Mahakam (1): Kampung Laham, Permulaan yang Tak Direncanakan

person access_time 4 years ago
Ketika Katolik Tiba di Mahakam (1): Kampung Laham, Permulaan yang Tak Direncanakan

Penduduk Laham berlatih paduan suara pada masa awal misi Katolik (foto: Keuskupan Samarinda)

Kampung Laham menjadi titik pertama penyebaran agama Katolik di seluruh wilayah hulu Sungai Mahakam. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 24 Desember 2019

kaltimkece.id Kapal kayu dari hilir Sungai Mahakam itu semenjana ukurannya. Tidak besar, tidak kecil juga. Dari geladaknya, tiga sosok berjubah cokelat yang berjanggut panjang segera turun. Mereka menginjakkan kaki di sebuah kampung bernama Laham. Permukiman ini berdiri sekitar 500 kilometer dari Samarinda yang dihuni suku Dayak sub-etnis Bahau.

Di bawah langit petang yang mulai temaram pada awal Juni 1907, penduduk setempat menatap mereka dengan heran. Bukan terjadi setiap hari, kampung itu didatangi orang-orang bermata biru dan bertubuh jangkung berkebangsaan Belanda. 

Kecanggungan itu rupanya berjalan sejenak saja. Selepas menurunkan perbekalan, ketiga orang Eropa tadi menyapa hangat penduduk dengan bahasa setempat. Warga menyambut mereka dengan baik. Merdunya alunan air Sungai Mahakam pun diam-diam merenggut petang. Ketiga pria itu beruntung karena mendapat tempat bermalam yang disebut kubu. Malam itu, mereka bisa tidur sedikit nyenyak setelah perjalanan panjang dari Samarinda, Long Iram, hingga Laham. 

Kampung Laham, kini sebuah kecamatan di Kabupaten Mahakam Ulu, waktu itu didiami 96 penduduk. Jumlah jiwa sedemikian sudah tergolong ramai kala itu. Posisi Laham disebut strategis karena menjadi perlintasan pelbagai jalur Suku Dayak di Kaltim dan Kalteng. Sebagaimana umumnya masyarakat Dayak kala itu, para penduduk tinggal di sebuah lamin (rumah panjang) sebagai sebuah keluarga besar. 

Adapun ketiga pria Eropa tadi, tidak lain biarawan Katolik. Mereka bernama Pastor Libertus Cluts OFMCap, Pastor Camillus Buil OFMCap, dan Bruder Ivo OFMCap. Pastor Cluts-lah yang dengan teliti mencatat seluruh perjalanan ke Laham dalam jurnalnya. Kronik (catatan perjalanan) itu kini tersimpan di Keuskupan Agung Samarinda. 

Gelar ”OFMCap” yang disandang para biarawan menandakan Ordo Kapusin. Di dalam agama Katolik yang dipimpin seorang Paus, para biarawan dan biarawati memiliki ”marga” sebagai identitas persaudaraan (kongregasi). Marga inilah yang menunjukkan asal biara mereka. Pada masa kini, jumlah kongregasi di dunia telah mencapai ratusan. 

Di bumi Kalimantan, Ordo Kapusin dipercaya Vatikan --pusat Katolik-- untuk menyajikan karya pastoral gereja. Masih dari kronik keuskupan, syahdan, ditunjuknya ordo yang berpusat di Negeri Kincir Angin ini ada hubungannya dengan tiga abad kekuasaan Hindia Belanda di Nusantara. 

Di Laham, Pastor Cluts dan kedua rekannya juga diterima dengan baik karena mampu berkomunikasi dengan penduduk setempat. Sebelum ke sana, mereka telah mempelajari bahasa Bahau selama dua bulan di Long Iram (kini kecamatan di Kutai Barat). 

Strategi Mendahului

Hulu Mahakam dipilih sebagai lokasi menyiarkan agama Katolik setelah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Alasannya, di pedalaman sungai ini belum dijangkau karya misi Kristen Protestan. Menurut undang-undang pemerintah Hindia Belanda, yang dimuat dalam pasal 117 Staatsinrchting van Nederlans-Indie, misi Katolik dilarang berkarya di mana misi Protestan lebih dulu hadir.

Namun demikian, Laham sebagai lokasi misi Katolik sebenarnya di luar rencana. Pastor Cluts dan kolega lebih tertarik memulai karya misi jauh di hulu Sungai Mahakam, sekitar 400 kilometer dari Long Iram. Mereka mendengar ada kampung yang juga ramai bernama Long Deho atau Long Bluu. Kedua kampung ini di daerah Hulu Riam (sebutan di hulu Mahakam, kini Kecamatan Long Apari dan Long Pahangai, Mahakam Ulu). 

Seiring waktu, niat mendirikan gereja di Long Bluu mereka tunda. “Sebaiknya kita tinggalkan dulu. Lebih baik mendirikan stasi di hilir riam,” kata Cluts kepada dua rekannya, seperti ditulis Uskup Samarinda Monsinyur Doktor Michael Coomans MSF berjudul Keuskupan Samarinda: Dari Masa ke Masa

Para misionaris khawatir, jika dimulai dari hulu, bagian hilir didahului golongan Protestan. Memilih Laham pun, masih menurut kronik Paroki Laham, sebenarnya sebuah kebetulan. Para misionaris awalnya melirik Kampung Mamahak Besar, tak jauh dari Laham. Mamahak Besar adalah kampung yang paling ramai. Penduduknya ratusan. Tetapi ketika ketiganya datang, penghuni Mamahak yang hidup “nomaden” akan berpindah mencari ladang baru yang belum diketahui tempatnya. Para misionaris lantas memutuskan, Laham sebagai titik awal memulai kisah panjang di lelikuan Mahakam.

Ketiga biarawan itu lantas mendirikan stasi. Adapun stasi, ialah kelompok jemaat terkecil setingkat desa. Inilah yang menjadi sejarah penyebaran agama Katolik di Kaltim. Stasi yang mereka dirikan 112 tahun lalu merupakan jemaat Katolik pertama di Bumi Mulawarman. Kelak, di Laham pula, gedung gereja Katolik pertama berdiri. 

Meskipun memutuskan Laham sebagai lokasi awal menyebarkan agama, para biarawan masih menemui kendala. Bagi warga setempat, agama Katolik belum menarik hati untuk memeluknya. Stasi yang telah dibangun pun belum memiliki jemaat dari penduduk lokal. Para biarawan mesti berjuang keras menyebarkan ajaran Nasrani. (bersambung)

Artikel selanjutnya, ketuk
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar