Peristiwa

Menelisik Nama ’Noesentara’ di Tanah Kutai sebelum Kerajaan Kutai Kertanegara Berdiri Abad Ke-13

person access_time 2 years ago
Menelisik Nama ’Noesentara’ di Tanah Kutai sebelum Kerajaan Kutai Kertanegara Berdiri Abad Ke-13

Istana Kesultanan Kutai Kertanegara di Tenggarong (diilustrasikan ulang dari arsip milik Digital Collections, Leiden University)

Ada empat dusun yang diduga bernama Noesentara pada abad ke-13. Lokasinya kini di sekitar Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara.

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 18 Januari 2022

kaltimkece.id Syahdan, di sebuah dusun bernama Jaitan Layar di hilir Sungai Mahakam, hiduplah seorang petinggi yang telah lama menikah namun belum memiliki anak. Petinggi dusun tersebut rutin memberi berbagai persembahan kepada Sang Pencipta lewat ritual Hindu kuno. Sampai tibalah suatu malam yang bergemuruh. Sebuah keranjang emas jatuh di depan rumah pasangan suami istri tersebut. Wadah itu berisi seorang bayi yang disebut titisan dewata.

Sebagaimana hikayat beberapa kerajaan yang lain bermula, bayi yang sudah menjadi lelaki dewasa tersebut mendirikan sebuah pemerintahan. Namanya Aji Batara Agung Dewa Sakti. Ia diperkirakan naik takhta pada tarikh 1300-an seperti diringkas dari teks kuno Salasilah Kutai.

Raja yang dihikayatkan sebagai titisan dewa, tulis Muhammad Sarip dalam Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara (2018), berhubungan dengan politik tradisional yang berakar kepada kebudayaan Hindu. Masyarakat setempat waktu itu masih dibagi menurut lapisan kasta. Bayi yang kemudian menjadi raja mesti memiliki keturunan kasta kesatria. Kepercayaan seperti ini diperkirakan terpengaruh dari Kerajaan Martapura yang lebih dahulu didirikan Dinasti Mulawarman pada abad keempat di Muara Kaman, hulu Sungai Mahakam.

“Sementara itu, petinggi di Jaitan Layar bukan dari golongan kesatria sehingga tidak bisa mendirikan kerajaan dan menjadi raja,” tulis Sarip (hlm 49).

_____________________________________________________PARIWARA

Aji Batara Agung Dewa Sakti pun tumbuh besar di Jaitan Layar. Sebelum dia mendirikan kerajaan pada abad ke-14, kawasan pesisir di hilir Sungai Mahakam ini sudah dihuni penduduk Pua Melanti dari suku Kutai kuno. Wilayah tersebut terdiri dari empat negeri atau dusun yang kini masuk Kecamatan Anggana hingga Muara Badak, Kutai Kartanegara. Keempatnya, tulis Sarip yang mengutip penjelasan CA Mees, adalah Jaitan Layar, Hulu Dusun, Sembaran, dan Binalu. Selain Sembaran (Sambera) di Muara Badak, tiga negeri yang lain berlokasi di Kutai Lama atau Anggana (hlm 44).

Hilir Sungai Mahakam ini menarik perhatian Solco Walle Tromp, seorang ilmuwan Belanda yang pernah menjabat Asisten Residen Oost Borneo. Tromp juga termasuk orang yang meneliti manuskrip Salasilah Kutai. Dalam risetnya, Tromp menulis bahwa menurut tradisi lisan setempat, sebelum Kutai menjadi nama kerajaan, wilayahnya menyandang nama Nusentara.

“De Salasila” vangt aan met een verhaal, hoe Koetei aan een vorst kwam. De naam Koetei was toen niet bekend; het land, dat thans zoo heet, droeg volgens mondelinge overlevering, destijds den naam van “Noesëntara,” tulis Tromp.

Terjemahannya berarti, “’Salasilah’ dimulai dengan cerita tentang bagaimana Kutai sampai menjadi sebuah kerajaan. Nama Kutai tidak diketahui pada masa itu; menurut tradisi lisan setempat, yang sekarang disebut demikian, pada masa silam menyandang nama ‘Noesentara’ (Uit de Salasila van Koetei, 1888, hlm 5).”

Tromp tidak sendiri dalam mengemukakan istilah Nusentara. Ilmuwan yang lain bernama SC Knappert memublikasikan penelitian tentang Kutai pada 1905. Makalahnya berjudul Beschrijving Van De Onerafdeeling Koetei. Knappert menulis, “Volgens de inlandsche verhalen zou het landschap Koetei niet altijd dien naam gedragen hebben; vroeger zou het geheeteu hebben “Noesëntara”, en eerst door den zoon van het hoofd van “Djahitan-Lajar” (eene vermoedelijke kolouie van Hindoe-Javanen), met name Adji Batara Agoeng Déwa Sakti, aan dat landschap de naam.”

Artinya, “Menurut cerita penduduk asli, wilayah Kutai tidak selalu menyandang nama itu; dulu disebut “Noesentara”, dan didirikan pertama kali oleh putra dari petinggi “Jahitan-Layar” (diduga merupakan koloni Hindu-Jawa), yaitu Aji Batara Agung Déwa Sakti, telah memberikan nama wilayah itu (1905, hlm 1).”

Merepresentasikan Kaltim

Tujuh abad lewat sudah. Nusantara ditetapkan pemerintah sebagai nama ibu kota negara (IKN) di Kaltim. Bukan kebetulan bahwa wilayah IKN dulunya adalah bagian dari Kesultanan Kutai Kertanegara. Kecamatan Sepaku, PPU, yang menjadi titik sentral IKN pada awalnya bagian dari Kotamadya Balikpapan. Adapun Balikpapan, merupakan wilayah kesultanan sebelum kemerdekaan.

Kepada kaltimkece.id, sejarawan Muhammad Sarip menilai bahwa nama “Nusantara” dipandang ideal karena merepresentasikan seluruh Indonesia. Malahan, jika ditelurusi lebih mendalam, “Nusantara” punya relasi dan relevansi dengan sejarah lokal Kaltim.

_____________________________________________________INFOGRAFIK

Penerima sertifikat kompetensi bidang sejarah dari Kemdikbud-BNSP ini menambahkan, pemilihan nama Nusantara dalam konteks khazanah kearifan lokal cukup representatif bagi komunitas lokal Kaltim. “Pernyataan saya ini khusus terkait aspek sejarah atau historis, di luar konteks politik dan hukum yang bukan domain kompetensi saya,” tegasnya.

Sarip melanjutkan, tak seorang pun yang lebih berhak atas klaim pencipta atau pencetus nama ibu kota baru termasuk kepala negara dan para menteri. Nusantara disebut tidak terkesan Jawasentris maupun Kalimantansentris. Nama ini berbeda dari DKI Jakarta yang seolah-olah ibu kota negara Pulau Jawa.

“Makna dan definisi Nusantara memang beragam. Kalau berpikiran negatif, kecenderungannya mengambil konteks yang buruk. Jika berpikiran positif, toponimi Nusantara akan dimaknai dengan kebajikan dan memoderasi perbedaan,” tutupnya. (*)

Senarai Kepustakaan
  • Knappert, S.C. (1905). Beschrijving Van De Onderafdeeling Koetei. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, Volume 58, Issue 1. 
  • Sarip, Muhammad, 2018. Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara, Samarinda: RV Pustaka Horizon. 
  • Tromp, S.W. (1888). Uit de Salasila Van Koetei. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar