Peristiwa

Menelisik Sejarah Samarinda dan Kisah Daeng Mangkona yang Diragukan Kebenarannya

person access_time 4 years ago
Menelisik Sejarah Samarinda dan Kisah Daeng Mangkona yang Diragukan Kebenarannya

Wajah Kota Samarinda tempo dulu (foto: universiteitleiden.nl/KITLV Leiden)

Kisah kedatangan rombongan Daeng Mangkona diragukan kebenarannya. Sumber-sumbernya teramat sedikit dan tidak bersesuaian. Sumber yang lain diduga hanya dicatut.  

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 21 Januari 2020

kaltimkece.id Hari ini tepat 60 tahun lalu, Pemerintah Kota Samarinda berdiri. Hari ini pula, persis 352 tahun yang lalu, Kota Samarinda diklaim lahir. Demikianlah maka 21 Januari menjadi tanggal yang sangat istimewa bagi ibu kota Kalimantan Timur.  

Tidak ada keraguan mengenai penetapan hari lahir pemkot pada 21 Januari 1960. Landasan historisnya valid. Pemerintahan di Samarinda memang terbentuk ketika Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit, menyerahkan pemerintahan. Kekuasaannya dibagi menjadi tiga wilayah yang disebut daerah tingkat II hasil pemekaran Daerah Istimewa Kutai. Ketiga daerah tersebut ialah Kabupaten Kutai, Kotapraja Samarinda, dan Kotapraja Balikpapan.

Serah terima tersebut ditandai dalam sebuah upacara di Istana Kesultanan Kutai di Tenggarong. Kapten Soedjono menjadi Kepala Daerah Tingkat II Kotapraja Samarinda. Bupati Kutai dijabat Aji Raden Padmo. Aji Raden Sayid Mohammad menjadi wali kota Balikpapan. Dengan demikian, 21 Januari 1960 sebenarnya tak hanya hari lahir Pemkot Samarinda. Lini masa ini juga menjadi kelahiran Pemkab Kutai (kini Kutai Kartanegara) dan Pemkot Balikpapan.

Samarinda mengambil jalan berbeda. Pemkab Kutai dan Pemkot Balikpapan sama-sama tidak merayakan hari jadi pemerintah daerah. Keduanya mencukupkan diri dengan memperingati hari jadi kota. Tenggarong, misalnya, memiliki hari jadi pada 28 September 1782. Adapun Balikpapan, dinyatakan berdiri pada 10 Februari 1897. Keduanya punya fondasi sejarah masing-masing. 

Tidak demikian Samarinda. Kota ini sebenarnya tidak pernah merayakan hari lahir kota sampai pada 1988. Penulis sejarah lokal, Muhammad Sarip, melihat keadaan itu lebih disebabkan ketiadaan data dan informasi akurat. Belum ada riwayat berdirinya Samarinda. 

"Baru pada 1988, muncul Peraturan Daerah Nomor 1 yang menyatakan bahwa hari jadi Kota Samarinda adalah 21 Januari 1668," terang Sarip yang telah menulis buku Samarinda Tempo Doeloe, Sejarah Lokal 1200-1999. Istimewanya, hari jadi yang dimaksud tepat bersamaan dengan hari jadi pemerintah kota.   

Keistimewaan --atau lebih tepat disebut kebetulan-- inilah yang membuat Sarip menelisik lebih dalam. Mengapa hari jadi Kota Samarinda bisa bertepatan tanggal dengan berdirinya pemerintahan Samarinda? Padahal, rentang waktu kedua momen ini sangat jauh yakni 292 tahun atau nyaris tiga abad. Jika keduanya terjadi pada tanggal yang sama, sungguh istimewa. 

Kontroversi Daeng Mangkona

Dalam penjelasan perda, 21 Januari 1668 diklaim sebagai hari kedatangan rombongan Bugis Wajo di Samarinda Seberang. Menurut Sarip, klaim ini harus diuji faktanya. 

Dalam sebuah pustaka berjudul Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda terbitan pemerintah kota (2004), Sarip menemukan sebuah pengakuan. Bahwasanya, terang dia, 21 Januari 1668 hanyalah sebuah perkiraan. Titik masa ini diestimasi berdasarkan penambahan 64 hari sejak Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667.

Penetapan tarikh 1668 inilah yang tidak selaras dengan cerita bahwa Samarinda didirikan seseorang bernama La Mohang Daeng Mangkona. Dalam kisah tersebut, Mangkona ditulis sebagai anak buah La Maddukkelleng, pahlawan nasional Sulawesi Selatan. Mangkona berlayar dari Pasir menuju muara Sungai Mahakam atas perintah La Maddukkelleng. 

Kejanggalan dalam kisah ini ditemukan lewat penelusuran tarikh. Menurut Sarip, sumber-sumber terpercaya menyebutkan bahwa La Maddukkelleng belum lahir pada 1668. Sang pahlawan itu, menurut sumber primer, baru lahir tiga dekade kemudian atau tepatnya pada 1700. Bagaimana mungkin, seseorang yang belum lahir, bisa memerintah anak buahnya menuju muara Sungai Mahakam? 

"Di sini terjadi anakronisme atau ketidakcocokan waktu dan pelaku," ulas penulis buku Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan, Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara, tersebut.

Sarip sebenarnya berusaha menelusuri kemungkinan riwayat Daeng Mangkona di berbagai arsip dan literatur primer yang kredibel. Namun demikian, sumber primer yang diklaim memuat nama Daeng Mangkona, setelah diperiksa ulang, tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

"Lebih tepatnya, hanya pencatutan," kata dia. 

Nama Mangkona hanya muncul dalam buku atau tulisan yang sifatnya sumber sekunder, ketiga, dan seterusnya. Sebagai contoh, naskah saduran Lontara Samarinda yang diklaim berdasarkan tulisan I Kirana Kapitan Ranreng Daeng Risompa. Naskah ini berisi riwayat kedatangan Bugis di Samarinda yang diklaim dipimpin Daeng Mangkona. 

Naskah ini tidak bisa diakses publik karena diklaim sebagai milik pribadi Moh Noor ARS. Moh Noor adalah pejabat Bidang Kebudayaan Kaltim pada 1960-1970-an. Ia wafat pada 2000-an. 

"Bahkan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah tidak memiliki naskah tersebut. Tidak biasanya ketika referensi yang sebegitu penting justru tidak dipublikasikan," sebutnya.

Di samping versi Lontara Samarinda, asal-usul Bugis di Samarinda juga tertulis dalam naskah Salasila Bugis di Kutai. Sarip menyatakan, naskah ini bisa dijangkau publik. Isinya sudah ditransliterasikan ke aksara Latin dan diteliti ilmuwan Belanda, Solco Walle Tromp, pada 1887. Hasil penelitian berupa karya tulis berjudul Eenige Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai

Tulisan berbahasa Belanda ini diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh antropolog Frieda Amran. Terjemahan plus saduran tersebut dipresentasikan dalam Seminar dan Dialog Internasional Kemelayuan Indonesia Timur di Universitas Hasanuddin, Makassar, 6 Oktober 2016.

"Isinya ternyata bertolak belakang dengan versi Lontara," ungkap Sarip. 

Menurut Salasila Bugis, pimpinan Bugis yang meminta izin kepada Raja Kutai untuk bermukim di Samarinda adalah Anakhoda Latuji. Nama ini bersesuaian dengan tokoh Bugis dalam surat perjanjian antara Bugis dengan Raja Kutai. Surat perjanjian tersebut telah diteliti ahli sejarah Constantinus Alting Mees untuk keperluan disertasinya. Surat tersebut dimuat dalam bukunya yang legendaris yang berjudul De Kroniek van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting (1935).

"Adapun nama Daeng Mangkona, tidak sepotong pun ditemukan dalam Salasila Bugis," pastinya. 

Sarip juga mengulas sosok Moh Noor, pemilik sumber Lontara Samarinda yang tidak bisa diakses publik tersebut. Sepanjang pengetahuan Sarip, Moh Noor adalah seorang penulis. Ia pernah mengundang kontroversi ketika menulis riwayat sejarah Kutai Martapura (kerajaan Kutai kuno di Muara Kaman). Ketika menjabat sebagai kepala Inspeksi Daerah Kebudayaan Kaltim, Moh Noor memimpin penerbitan Majalah Kudungga pada 1967. Majalah itu terbit empat edisi. 

"Majalah ini yang pertama kali memuat daftar lengkap raja yang memerintah di Kerajaan Kutai Martapura di Muara Kaman," jelas Sarip. 

Pada saat majalah diterbitkan, seorang mahasiswa bernama Mohammad Asli Amin sedang menyusun skripsi. Tugas akhir lelaki yang kelak menjadi pemerhati sejarah lokal ini bertema Kerajaan Kutai. Ia kemudian mengonfirmasi Moh Noor perihal sumber primer susunan raja di Muara Kaman. 

Sebuah pertanyaan wajar dari Asli Amin karena hingga saat itu, penggiat sejarah lokal dan nasional hanya mengetahui beberapa nama raja Kutai Martapura. Kudungga, Aswawarman, dan Mulawarman, adalah raja yang tertulis dari sumber yang jelas, prasasti Yupa. Nama-nama itu juga masuk manuskrip Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. 

Kepada Asli Amin, Moh Noor mengatakan bahwa sumber daftar raja Kutai Martapura adalah ucapan dukun dalam sebuah upacara balian. "Cara heuristik (pengumpulan sumber sejarah) seperti ini tidak dikenal dalam metode penelitian sejarah," jelas Sarip.

Makanya, Sarip kemudian mempertanyakan referensi milik Moh Noor yang menyebutkan bahwa Daeng Mangkona adalah pendiri Kota Samarinda. Lagi pula, penelitian dua ilmuwan bernama SW Tromp dan CA Mees justru berbeda dari sumber tersebut. 

"Adalah sebuah ironi ketika Pemerintah Kotamadya Samarinda pada 1988 justru menjadikan narasi ini (yang bersumber dari referensi Moh Noor) sebagai dasar penetapan hari jadi kota," imbuhnya.

Usulan Revisi 

Sarip berprasangka baik. Kemungkinan pada tiga dasawarsa silam, para penyusun sejarah Kota Samarinda tidak mengetahui keberadaan naskah Salasila Bugis di Kutai. Tidak ada naskah pembanding sebagai rujukan di luar yang disorong saat itu. 

Solusi dari polemik ini, sambung Sarip, adalah perlunya eksekutif dan legislatif Kota Samarinda membatalkan Perda 1988. Sudah sewajarnya, sejarah Samarinda ditelaah serta direkonstruksi dengan metode historiografi. 

Pemkot Samarinda sebenarnya mulai terbuka dengan penyusunan sejarah kota. Dalam situs resmi pemerintah kota, narasi pendirian Samarinda tidak lagi mengacu satu versi. Ada tiga kisah yang berhubungan dengan tarikh lahirnya Samarinda, terutama jika mengacu kedatangan rombongan Bugis Wajo. 

Pertama, versi sesuai perda pada 21 Januari 1668. Versi kedua berdasarkan catatan Kesultanan Kutai Kertanagara. Rombongan Bugis Wajo datang pada 1708. Terakhir, berita lisan kedatangan rombongan pada 1730-1732.

Penulisan sejarah memang dinamis dan tidak bersifat final. Revisi harus terus berjalan seiring terungkapnya sumber yang tersembunyi dan tersingkapnya tabir yang menutupi sejarah. "Sejarah yang dibelokkan, akan melurus pada waktunya," tutup Sarip. (*)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar