Peristiwa

Menjawab Klaim Daeng Mangkona Pendiri Kota dan Perlunya Merevisi Hari Jadi Samarinda

person access_time 2 years ago
Menjawab Klaim Daeng Mangkona Pendiri Kota dan Perlunya Merevisi Hari Jadi Samarinda

Permukiman di Samarinda pada 1900-an (dari foto milik Leiden University Libraries/KTLV).

Pemkot Samarinda perlu merevisi dan merumuskan ulang teks sejarah berdirinya Kota Samarinda.

Ditulis Oleh: Muhammad Sarip
Jum'at, 21 Januari 2022

kaltimkece.id Polemik selalu mewarnai bulan Januari di ibu kota Kalimantan Timur dalam enam tahun terakhir. Pada saat bersamaan, visual Kota Samarinda dibuat semarak dengan jargon Hari Jadi Kota dan Hari Ulang Tahun Pemerintah Kota. Spanduk dan baliho dipasang, sederet seremoni dan festival dihubungkan momen ulang tahun kota dan pemkot.

Polemik itu adalah kontroversi Hari Jadi Kota Samarinda. Benarkah permukiman pendatang dari luar Kalimantan di Samarinda Seberang sejak 1668 merupakan tonggak berdirinya kota? Benarkah kota di tepi Sungai Mahakam ini didirikan oleh satu orang dari luar Pulau Kalimantan?

Sebelum membahas substansi sejarah, perlu diungkap teknik penulisan sejarah. Yang membedakan antara penulis sejarah yang ilmiah dan yang tidak adalah penerapan metode penelitian. Supaya tenaga bidang sejarah ini terukur dan terstandar kompetensinya, sejak 2020, negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang menjadi Kemdikbudristek) menyelenggarakan program Sertifikasi Kompetensi Bidang Sejarah dengan kualifikasi Penulis Sejarah.

Kompetensi bidang sejarah yang ditetapkan oleh otoritas pengetahuan publik itu di antaranya kemampuan memverifikasi sumber, baik kritik ekstern maupun kritik intern. Unit kompetensi jenis ini penting karena setiap sumber, literatur, pustaka, dan manuskrip yang ditemukan tidak serta-merta kontennya langsung dipercaya sebagai fakta. Ada proses uji validasi dan komparasi. Termasuk juga memeriksa level sumber tergolong asli, primer atau sekunder. Banyak lagi teknis dalam verifikasi sumber, termasuk tidak serampangan mengambil teks dari tulisan nonsejarah hanya karena dianggap mendukung pendapatnya.

_____________________________________________________PARIWARA

Peraturan Daerah (Perda) Samarinda 1/1988 menetapkan teks sejarah berdirinya Kota Samarinda adalah pada 21 Januari 1668. Dasarnya adalah narasi peristiwa kedatangan rombongan Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona di Samarinda Seberang. Penetapan 21 Januari 1668 ini berdasarkan asumsi penambahan durasi 64 hari sejak penandatanganan Perjanjian Bongaya di Sulawesi pada 18 November 1667. Pernyataan ini termuat dalam buku Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda (selanjutnya disingkat MKSKS) terbitan Humas Pemkot Samarinda pada 2004.

Presisi atau ketepatan asumsi 21 Januari tampak disengaja karena Hari Jadi Pemerintah Kota jatuh pada 21 Januari 1960. Di Kaltim, hanya Samarinda yang memperingati hari jadi kota dan HUT pemda dalam satu tanggal yang sama. Mulai medio 1990-an, Pemerintah Kotamadya membangun kompleks makam di Samarinda Seberang dengan papan nama “Makam Lamohang Daeng Mangkona”. Memasuki abad ke-21 pula, dimulai ziarah rutin birokrat ke makam tersebut dalam momen HUT Pemkot. Nama Daeng Mangkona pun dinobatkan sebagai pendiri Kota Samarinda.

Perda 1988 tentang Hari Jadi Kota Samarinda ini berlangsung lebih dari tiga dekade lampau. Kondisinya waktu itu, tenaga bidang sejarah yang berkompeten dan akses sumber sejarah yang terbatas. Buku MKSKS versi Pemkot juga mengandung fabrikasi data alias manipulasi data untuk ‘mengilmiahkan’ narasi La Mohang Daeng Mangkona.

Pembahasan yang pertama tentang narasi La Mohang Daeng Mangkona sebagai pendiri kota. Perlu diketahui, Kesultanan Kutai tempo dulu mempunyai naskah historiografi tradisional bernama Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. Dalam kitab klasik beraksara Arab Melayu tersebut, tertulis enam nama negeri di Samarinda. Enam negeri ini disebut sezaman dengan masa kecil Aji Batara Agung Dewa Sakti, pendiri kerajaan, dengan tarikh abad ke-13 Masehi.

Enam negeri itu adalah Pulau Atas, Karangasan, Karamumus, Luah Bakung, Sembuyutan, dan Mangkupelas. Kini keenam permukiman kuno telah menjadi nama Kelurahan Pulau Atas, Karang Asam, Karang Mumus, Loa Bakung, Sambutan, dan Mangkupalas. Dengan demikian, sebelum kedatangan rombongan dari Pulau Sulawesi, Samarinda bukanlah terra incognita atau kawasan kosong yang tidak berpenghuni. Dalih berdirinya Kota Samarinda karena kedatangan manusia dari pulau seberang otomatis gugur. Permukiman penduduk di tanah Samarinda sudah eksis jauh sebelum kehadiran orang-orang dari pulau sebelah.

Kritik yang kedua, buku MKSKS di halaman 5 menyatakan bahwa kisah kedatangan rombongan Daeng Mangkona pada 1668 dicatat dalam buku Eisenberger tepatnya di halaman 9. Buku Eisenberger sebagaimana tercantum di daftar pustaka MSKS berjudul Kroniek der Zuider- en Oosterafdeeling van Borneo (1936). Ternyata, tidak satu teks pun yang memuat nama La Mohang Daeng Mangkona di seluruh isi buku Eisenberger.

Sebenarnya, dari daftar isi saja, sudah tampak sistematika buku MKSKS tidak sesuai dengan metode historiografi. Buku Kroniek der Zuider- en Oosterafdeeling van Borneo yang ditulis Johan Eisenberger dicatut penyusun buku MKSKS. Seolah-olah, kisah Daeng Mangkona bersumber dari referensi ilmiah.

Pembahasan yang ketiga adalah buku MKSKS di halaman 33 menyatakan, Daeng Mangkona pergi ke Kutai berdasarkan perintah pemimpin Wajo, La Maddukelleng. Di halaman 168, keberangkatan itu disebut pada 1667. Padahal, faktanya, menurut sejarawan Merle Calvin Ricklefs, La Maddukelleng lahir pada 1700 (Sejarah Indonesia Modern, 2016, hlm 102).

Bagaimana mungkin, Daeng Mangkona mendapat perintah pada 1667 dari orang yang baru lahir 33 tahun kemudian? Dengan begitu, kisah Daeng Mangkona ini termasuk anakronistis (tidak cocok dengan zamannya) dan ahistoris (bukan sejarah).

Ada pula pendapat yang membela buku MKSKS dengan dalih seperti ini. Bukankah buku MKSKS ditulis para pakar sejarah Kota Samarinda seperti Dachlansjahrani, H Oemar Dachlan, H Muhammad Noor ARS, dan H Amir Hamzah Idar? Bukankah ini bukti isi buku tersebut sahih?

Begini sanggahannya. Pencantuman nama-nama tokoh lokal sebagai anggota tim penyusun buku MKSKS tidak otomatis menjadi landasan pembenaran isi buku. Inilah pentingnya kompetensi melakukan kritik sumber yang tidak dikerjakan penulis biasa.

Ada contoh hal fatal yang tertulis di awal bab pertama buku tersebut. Kerajaan Kutai Kartanegara dinyatakan sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Sekiranya pernyataan ini dinisbatkan atau disandarkan kepada seorang Oemar Dachlan, niscaya merupakan tindakan penistaan terhadap beliau. Oemar Dachlan adalah wartawan tiga zaman yang dalam banyak media dan buku sangat memahami bahwa Kerajaan Kutai Kertanegara baru berdiri pada 1300-an. Adapun yang diklaim tertua itu adalah Kerajaan Martapura di Muara Kaman yang berdiri pada abad keempat.

Dari satu contoh ini saja, bisa diragukan dan dipertanyakan realitas keterlibatan para pakar dalam penyusunan buku MKSKS. Dengan kata lain, seandainya Oemar Dachlan dkk memeriksa naskah buku tersebut sebelum diterbitkan, mustahil muncul pernyataan fundamental yang ahistoris tersebut. Artinya, kemungkinan besar, Oemar Dachlan tidak terlibat sepenuhnya dalam penulisan buku MKSKS.

 

Solusi dari semua ini adalah Pemkot Samarinda perlu merevisi dan merumuskan ulang teks sejarah berdirinya Kota Samarinda. Tenaga bidang sejarah yang berkompeten alias berlisensi dari negara perlu dilibatkan. Pemilihan 21 Januari tetap bisa dijadikan momen seremoni bagi Pemerintah Kota Samarinda akan tetapi sebatas HUT pemkot. Tanggal ini memang sesuai sejarah terbentuknya Pemerintahan Daerah Kotapraja Samarinda pada 21 Januari 1960. Tonggaknya ketika penyerahan kekuasaan dari Kepala Daerah Istimewa Kutai kepada Wali Kota Samarinda Kapten Soedjono.

Opsi Hari Jadi Kota Samarinda

Sejarah adalah perkara ilmiah yang ditulis sesuai metode historiografi. Adapun penetapan hari jadi sebuah kota, merupakan perkara politik, sosial, dan hukum. Ada sejumlah opsi yang bisa diajukan sebagai Hari Jadi Kota Samarinda.

Pertama, jika Hari Jadi Kota Samarinda dihitung dari riwayat esistensi manusianya, tonggaknya adalah abad ke-13. Tahunnya diestimasi antara 1200-an atau 1250-an. Namun, penanggalannya agak sulit karena keterbatasan sumber sejarah yang autentik. Kedua, jika Hari Jadi Kota Samarinda dihitung dari statusnya sebagai bandar atau pelabuhan dari Kesultanan Kutai, tonggaknya adalah sekitar 1732 ketika ibu kota Kutai Kertanegara dipindahkan dari Tepian Batu (Kutai Lama) ke Pemarangan-Jembayan.

Ketiga, jika Hari Jadi Kota Samarinda dihitung dari keberadaan struktur birokrasi modern, tonggaknya adalah 11 Oktober 1844 ketika ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Kutai Aji Mohammad Salehuddin dan pemerintah kolonial Belanda. Sejak itu, Belanda menempatkan Asisten Residen di Samarinda sebagai pejabat yang mengepalai wilayah Oost Borneo. Ini juga penanda dimulainya status Samarinda sebagai pusat birokrasi di timur Kalimantan.

Keempat, jika Hari Jadi Kota Samarinda dihitung dari awal perencanaan fisik dan infrastruktur kota modern, tonggaknya adalah 16 Agustus 1896 ketika terbit Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda No 75 yang menetapkan Samarinda sebagai Vierkante Paal (wilayah satu pal persegi).

_____________________________________________________INFOGRAFIK

Poin penting dan utama dari polemik ini adalah kerukunan dan persatuan masyarakat Samarinda yang heterogen harus dijaga. Bahasa Banjar yang oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud diakui sebagai bahasa lokal Samarinda tidak serta-merta menjadikan komunitas Banjar memaksakan satu nama untuk diusung sebagai tokoh pendiri kota. Padahal identitas bahasa merupakan satu dari unsur kebudayaan universal yang mendeskripsikan identitas masyarakat pemukim yang punya kekuatan akar sejarah di sebuah kawasan.

Semua pihak semestinya memahami bahwa tidak perlu mencari-cari satu nama dari luar Kalimantan untuk dikultuskan sebagai pendiri Kota Samarinda. Samarinda didirikan secara kolektif oleh penduduk Kutai dan Banjar atas restu Raja Kutai Kertanegara, sebelum adanya permukiman dari pulau seberang. Kultur Samarinda adalah terbuka terhadap pendatang dari manapun asalnya: Jawa, Sulawesi, Sumatra, Timur Tengah, Tiongkok, termasuk Belanda yang pernah menjajah. Semua diterima sepanjang mereka bersikap baik dan beradab.

Sebagai penutup, hendak disebut pelurusan sejarah atau bukan, yang pasti penulisan sejarah memang dinamis dan niscaya perlu direvisi setelah ditemukannya sumber-sumber baru. Terlebih apabila ada temuan kekeliruan fatal yang ahistoris. (*)

Penulis adalah penerima Sertifikat Kompetensi Bidang Sejarah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan-Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar