Peristiwa

Proklamasi, Kabar Besar yang Telat Sampai di Kaltim

person access_time 4 years ago
Proklamasi, Kabar Besar yang Telat Sampai di Kaltim

Presiden Soekarno, sang proklamator (ilustrasi: Danoo).

Kabar kemerdekaan boleh saja datang telat.
Para pemuda menyambutnya dengan penuh semangat.

Ditulis Oleh: Fel GM
Sabtu, 17 Agustus 2019

kaltimkece.id “Demikianlah saudara-saudara. Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada suatu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini, kita menyusun negara kita! Negara merdeka, negara Republik Indonesia! Merdeka, kekal, abadi! Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita ini.”

Ucapan berapi-api itu keluar dari mulut Insinyur Soekarno pada Jumat, hari kesembilan bulan suci Ramadan 1364 Hijriah. Tepat 17 Agustus 1945, Soekarno yang didampingi Mohammad Hatta baru saja selesai membacakan teks proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat. Kabar kemerdekaan Indonesia mulai meluas di Jakarta dan sekitarnya. 

Pada hari yang sama, teks proklamasi diterima Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei, sekarang Kantor Berita Antara, Waidan B Palenewen. Setelah tiga kali berita proklamasi disiarkan, kantor berita nasional itu disegel oleh Jepang. Namun demikian, berkat kegigihan perjuangan para pewarta, kabar proklamasi akhirnya beredar ke penjuru Jakarta dan Pulau Jawa dalam hitungan hari (Sejarah II, 2007, hlm 93). 

Namun demikian, kabar besar nan menggembirakan itu sukar disebarluaskan ke luar pulau. Pada awal kemerdekaan Indonesia, pilihan media tidaklah banyak. Hanya tersedia surat kabar, radio, atau telegram. Tidak ada telepon apatah lagi internet. Keadaan itu diperburuk dengan penguasaan Jepang terhadap fasilitas utama media-media di berbagai daerah. Meskipun telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, tentara Jepang masih berusaha menutupi-nutupinya. Mereka tetap menyebarkan propaganda Kesemakmuran Asia Raya walaupun nyatanya telah babak belur dihajar pasukan Sekutu.

Kabar Proklamasi di Tenggarong

Jepang berusaha menutupi kabar kemerdekaan Indonesia dengan merampas radio milik rakyat di Tenggarong. Tujuan tentara negeri matahari terbit itu agar rakyat tetap takut dan tunduk kepada mereka. Upaya itu berhasil dijalankan selama sebulan.

Baca juga: Lautan Api Balikpapan, Neraka bagi Tentara Jepang

Sampai akhirnya radio milik warga Tenggarong berhasil dibunyikan. Adalah Kasan, montir listrik asal Surabaya yang tinggal di Tenggarong sejak zaman Hindia Belanda, si empunya radio tersebut. Dia gemar membunyikan berita-berita perjuangan sejak zaman Jepang. Ketika radio dinyalakan di kediamannya, para pemuda berkerumun mendengarkan berita proklamasi bangsa. Rumah Kasan di Tenggarong pun menjadi salah satu lokasi gerakan perjuangan. Di rumahnya pula, HUT pertama dan kedua kemerdekaan RI diperingati (Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan, Sejarah Tujuh Abad Kesultanan Kutai Kertanegara, 2018, hlm 137).

Dari perkakas elektronik milik Kasan, warga mendengar berbagai stasiun radio terus terus-menerus menyajikan maklumat kemerdekaan Indonesia. Di tengah-tengah siaran, terselip kabar pertempuran di Pulau Jawa dan sejumlah daerah. Pejuang kemerdekaan tengah berusaha mengusir Belanda yang kembali datang dengan membonceng Sekutu. Informasi perebutan senjata oleh para pejuang turut membakar semangat pemuda-pemuda Tenggarong. Beberapa hari setelah Idulfitri 1364 Hijriah atau September 1945, mereka mengadakan rapat rahasia di ibu kota Kesultanan Kutai Kartanegara.   

Dokter Suwondo adalah orang yang ikut memelopori gerakan perjuangan di Tenggarong. Dia seorang petugas kesehatan yang pernah bertugas di Long Iram, kini wilayah Kutai Barat. Bersamanya, sembilan pemuda bertemu diam-diam di rumah Muhammad Yusuf Rusdi di kampung Loa Ipuh, Tenggarong. 

Majelis kecil itu memutuskan membentuk badan perjuangan bernama Gerak, kependekan dari Gerakan Rakyat Kutai. Begitu tentara Jepang di Tenggarong dilucuti pasukan Sekutu, Gerak mengobarkan semangat memasang bendera merah putih di rumah-rumah penduduk. Mengetahui hal tersebut, Belanda yang kembali menancapkan kuku kekuasaannya mengambil langkah. Dokter Suwondo, ayah dari tokoh nasional Siswono Yudo Husodo, dipindahtugaskan ke Sulawesi. 

Kabar Proklamasi di Samarinda

Berita proklamasi baru tiba di Samarinda pada 19 September 1945. Kabar itu diterima sebulan lebih dua hari setelah proklamasi dibacakan di Jakarta. Tentara Australia yang bergabung dalam pasukan Sekutu membawa kabar tersebut ke Kota Tepian. Kedatangan pasukan Australia di hilir Sungai Mahakam juga untuk melucuti tentara Jepang. Dalam pelucutan itu, radio-radio yang dirampas Jepang dikembalikan kepada masyarakat.

Baca juga: Zaman Jepang di Balikpapan, Neraka bagi Buruh Paksa

Sama seperti di Tenggarong, masyarakat Samarinda juga menerima informasi kembalinya penjajah Belanda ke bumi pertiwi. Kabar memang tiba dengan telat, tetapi tidak dengan padamnya semangat. Informasi itu membuat kaum pemuda dan tokoh masyarakat Samarinda bergerak. Sederet nama seperti Oemar Dachlan, Ali Badrun Arieph, dan Anwar Barack, menyiapkan rencana penyambutan kemerdekaan Indonesia di Samarinda. Mereka menunjuk Dokter Soewadji Prawiroharjo selaku kepala rumah sakit umum sebagai pemimpin P3KRI, Panitia Persiapan Penyambutan Kemerdekaan Republik Indonesia (Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200-1999, 2017, hlm 126). 

Kepada seluruh kampung di Samarinda, P3KRI meminta mengirimkan perwakilan untuk masuk kepanitiaan. Mereka merancang aksi utama pemasangan bendera merah putih di banyak tempat. Gerakan itu segera memancing amarah Belanda. Sama seperti pemimpin gerakan di Tenggarong, Dokter Soewadji dihukum dengan dipindahtugaskan ke Morotai, kini Provinsi Maluku Utara. 

Tentu saja, usaha Belanda tidak memadamkan api perjuangan para pemuda Kaltim. Hari-hari selanjutnya, gerakan mempertahankan kemerdekaan semakin berkobar. Kaum Republiken di Kaltim memberi perlawanan sengit sampai Belanda “takluk” dalam Konferensi Meja Bundar pada 2 November 1949. (*)

Senarai Kepustakaan
  • Kurnia, Anwar, dan Suryana, Moh, 2007. Sejarah II, Jakarta: Penerbit Yudhistira.
  • Sarip, Muhammad, 2017. Samarinda Tempo Doeloe, Sejarah Lokal 1200-1999. Samarinda: RV Pustaka Horizon.
  • Sarip, Muhammad, 2018. Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan, Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kartanegara, Samarinda: RV Pustaka Horizon.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar