Peristiwa

Riwayat Kopi di Kaltim, Raja Kutai Kertanegara yang Pertama Menikmatinya pada Abad Ke-15

person access_time 3 years ago
Riwayat Kopi di Kaltim, Raja Kutai Kertanegara yang Pertama Menikmatinya pada Abad Ke-15

Sultan Kutai Kertanegara Aji Muhammad Sulaiman bersama para pangeran. Leluhurnya diperkirakan sebagai orang Kutai pertama yang meminum kopi (foto: Universitas Leiden, KITLV 3612)

Orang Kutai diperkirakan bertemu minuman kopi pertama kali pada abad ke-15. Sang raja yang pertama menikmatinya.  

Ditulis Oleh: .
Minggu, 20 Desember 2020

kaltimkece.id Muhammad Syahril Rasyid, 42 tahun, menunjukkan sejumlah sampel biji kopi lokal yang ia dapatkan dari Kutai Timur. Biji-biji robusta yang belum dipanggang itu ia peroleh dari Kecamatan Bengalon, Kaubun, dan Teluk Pandan. Sementara biji kopi liberika atau lebih dikenal dengan kopi nangka dari Kecamatan Karangan.

“Orang ‘kan tahunya kopi itu asam atau pahit. Nah, kopi-kopi lokal ini unik. Jika kopi dari luar Kaltim biasanya punya sensasi rasa buah cherry sampai wine, robusta di sini punya sensasi seperti ada rasa kacang mete,” kata pemilik Rumah Koffie, kedai kopi rumahan di Jalan Pinang Dalam, Sangatta Utara, tersebut.

Syahril terjun ke bisnis kedai kopi sejak 2015. Selain mendatangkan kopi-kopi berkualitas baik dari luar Kaltim seperti malabar, gayo, dan toraja, ia mengumpulkan biji-biji kopi lokal. Biji-biji tersebut disortir dan dijemur secara berkala agar tetap kering. Kadar airnya dijaga sekitar 12 persen.

“Persoalannya, kopi-kopi lokal yang dibawa ke sini biasanya dalam jumlah kecil. Mungkin ini karena pola perkebunan rakyat yang terkadang hanya menjadikan kopi tanaman sela atau sekadar ada di kebun. Belum serius digarap sebagai potensi ekonomi desa,” papar mantan fasilitator Lembaga Penguatan Masyarakat Desa Kutai Timur ini.

Kopi telah menjadi bagian tren kekinian dan bagian dari gaya hidup. Kian menjamurnya kedai dan kafe yang menyediakan minuman ini adalah buktinya. Sayang, keadaan tersebut tidak mendorong pertumbuhan pertanian kopi lokal di Kaltim.

Menurut buku Kalimantan Timur Dalam Angka 2020 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Kaltim, lahan perkebunan kopi di Kaltim seluas 2.529 hektare pada 2019. Lahan kebun kopi turun dibanding 2018 seluas 2.550 hektare. Kebun kopi tersebut tersebar di Paser seluas 876 hektare, Kutai Barat 944 hektare, Kutai Kartanegara 498 hektare, Kutai Timur 99 hektare, Berau 88 hektare, dan Penajam Paser Utara 15 hektare.

Lahan perkebunan kopi yang berkurang menyebabkan produksinya ikut turun. Pada 2019, produksi Kaltim hanya 223 ton kopi. Padahal pada 2018, produksinya 297 ton.

Riwayat Awal Kopi di Kaltim

Syahdan, kopi sudah dikenal di Kaltim sejak zaman Majapahit. Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang dimuat dalam De Kroniek Van Koetai (1935) mencatatnya. Pada waktu itu, Maharaja Sakti dan Maharaja Sultan berkunjung ke Majapahit. Kedua kakak-beradik dari Kerajaan Kutai Kertanegara itu hendak belajar mengenai tata pemerintahan serta adat istiadat keraton di tanah Jawa.

Pada suatu malam yang sudah larut setelah hari yang panjang untuk belajar, mereka dijamu santapan dan minuman. Aneka jamuan itu di antaranya, “Kahwa dan téh, serta dengan djoeadahnja berdjenis-djenis roepanja dan tjita rasanja jang seperti dodol dan noman dan madoe moengsoe dan serikaja dan lelapon sitoekoepan,” demikian bunyi salasilah tersebut (hlm 207).

Kahwa merupakan kata Melayu yang diambil dari kata Arab qahwa. Artinya kopi (berupa minuman, biji kopi disebut bun). Istilah Arab ini juga yang diadaptasi menjadi koffie dalam bahasa Belanda, cafe dalam bahasa Perancis, dan coffee dalam bahasa Inggris. Kopi pun akhirnya diserap oleh bahasa Indonesia.

Yang istimewa adalah Maharaja Sultan dapat dikatakan sebagai raja sekaligus orang Kutai pertama yang mencicipi kopi. Setidaknya demikian jika mengutip Eisenberger yang menulis bahwa Maharaja Sultan berkunjung ke Majapahit antara 1450–1500. Boleh juga dikatakan, kopi sudah dikenal di lingkungan Kesultanan Kutai saat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara selesai ditulis oleh Tuan Chatib Muhammad Tahir pada 1265 Hijriah atau 1849.

Kedigdayaan Kopi Jawa

Pramoedya Ananta Toer dalam novel berlatar belakang sejarah, Arus Balik, menyebutkan bahwa kopi sebagai minuman dibawa saudagar-saudagar Arab melalui Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Masuknya kopi bersamaan dengan arus perdagangan sekaligus penyebaran Islam. Namun demikian, baru belakangan tanaman ini ditanam dan dikembangkan di Jawa.

Dalam Majalah Tempo edisi khusus Kopi: Aroma, Rasa, Cerita (2018), disebutkan bahwa benih kopi arabika pertama didatangkan ke Jawa oleh Belanda. Benih itu dibawa pada 1696 dari Malabar, India. Setelah itu, kopi Jawa diekspor ke Amsterdam. Kopi menjadi komoditas ekspor pertama yang memecahkan rekor harga lelang.

Kopi jawa segera menjadi primadona dan menguasai pasar Eropa. Produk ini menggantikan posisi kopi mocha dari Yaman. Benih kopi arabika dari Jawa jenis Coffea Arabika L. Var. typica --lebih dikenal dengan nama tipika, sempat diminta Raja Louis XIV dari Prancis. Sang raja memintanya untuk dijadikan koleksi kebun raya Jardin de Plantes di Paris.

Benih kopi dari kebun raya itu kemudian dibawa ke koloni Prancis di Karibia. Belanda juga membawanya ke Suriname. Dari kedua tempat itu, benih kopi jawa menyebar ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Kedigdayaan kopi jawa surut menjelang 1880. Serangan jamur Hemileia vastarix menyebabkan pohon-pohon kopi mati. Jamur tersebut memakan daun seperti karat. Petani menyebutnya penyakit karat daun. Pada 1880, Jawa kehilangan potensi ekspor sekitar 120 ribu ton kopi dan menyebabkan pasar kopi dunia panik. Belanda sempat menanam Coffea canephota var. liberica atau liberika untuk menggantikan tipika jawa tapi gagal.

Pada 1900, perusahaan perkebunan Soember Agoeng di Jawa Timur membeli 150 benih kopi Coffea canephora var. robusta asal Kongo, atau lebih dikenal dengan kopi robusta. Benih itu didapatkan dari Pembibitan Hortikultura Kolonial di Brussels, Belgia.

“Robusta terbukti lebih tahan karat daun. Karena itu, konon, nama robusta berasal dari kata robust yang artinya kuat.” (hlm 10)

Perusahaan Kopi di Kutai

Kalimantan Timur, pada waktu itu di bawah Kesultanan Kutai, menerima pengaruh dari meredupnya kopi jawa. Sempat tersebar antusiasme dalam mengembangkan kopi liberika yang dianggap varietas kopi Indonesia pada 1890-an. Ada harapan, kopi ini bisa memperbaiki nilai ekspor.

Lindblad mencatatnya dalam Antara Dayak dan Belanda Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880-1942 (2012). Adalah suatu hal biasa menanam kopi dan tembakau secara bersamaan di lahan sepanjang pinggiran Sungai Mahakam dan delta sungai Samarinda setelah 1895. Kopi sempat ditanam perusahaan-perusahaan perkebunan yang mendapatkan konsesi. Bahkan, perusahaan-perusahaan itu bersaing sengit.

“Salah satu dari saudara laki-laki Van Gilse van der Pals di Samarinda meminta tiga konsesi dengan perkebunan yang terbesar di Loa Janan (antara Samarinda dan Tenggarong), sebesar 7.000 hektare. Pengoperasian dilakukan dalam tahapan yang eksperimental. Kompetitor lokalnya, HI Everts, yang mempunyai perkebunan di Mahakam, daerah Sebulu (antara Tenggarong dan Muara Muntai), di mana ia memperoleh konsesi sebesar 3.500 hektare. Tidak serupa dengan periode peningkatan tembakau, kebanyakan individu pengusaha swasta kekurangan dukungan dari sebuah perusahaan. Dua perkebunan kembar, Karang Mumus dan Karang Mumus-Ketjil, yang terletak di pusat Samarinda dan dikelola oleh Kutei Landbouw Maatschappij (perusahaan pertanian Kutai), dibentuk dengan pengecualian terhadap aturan ini.” (hlm. 29-30)

Perkembangan perusahaan kopi di tanah Kutai ini tidak menggembirakan. Hambatan utama adalah pasar yang gagal atau kompetisi yang tidak sehat. Tanah di Kutai juga dianggap tidak mendukung pertumbuhan kopi yang efisien. Pada 1911, setengah dari konsesi kopi telah ditinggalkan. Sisanya masih berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Yang jelas, tak banyak lagi perusahaan perkebunan. Kopi pun akhirnya hanya ditanam di perkebunan rakyat.

Walaupun demikian, kebiasaan minum kopi oleh rakyat Kaltim tak surut bahkan hingga zaman Jepang. Sambas Wirakusumah menulis, meskipun ekonomi Kaltim pada zaman Jepang kian merosot, minum kopi tetap jalan.

“Hanya kurang lebih setahun setelah Jepang berkuasa, rakyat sudah terpaksa makan nasi yang bercampur singkong. Untuk minum kopi, kebanyakan digunakan gula merah sebagai pemanis. Sebab hanya orang yang bekerja pada kantor Jepang yang mendapat pembagian gula pasir. Itupun dalam jumlah yang terbatas,” tulis Sambas dalam Sejarah Daerah Kalimantan Timur, 1978, (hlm 68).

Suatu hal yang menarik apabila keadaan pada masa itu disandingkan dengan zaman sekarang. Kopi gula aren kini menjadi satu di antara tren kopi kekinian. Padahal, pada masa lalu, kopi dengan pemanis tersebut adalah tanda kesusahan hidup. (*)

Ditulis oleh Chai Siswandi, penggiat literasi sejarah Kutai. Tinggal di Kota Bangun, Kutai Kartanegara.

Editor: Fel GM

Senarai Kepustakaan
  • BPS Kaltim, 2020. Provinsi Kalimantan Timur Dalam Angka 2020. Samarinda
  • Constantinus Alting Mees, 1935. De Kroniek Van Koetai. NV Vitgerij v/h CA Mees, Santpoort (N.H).
  • Dr J Eisenberger, 1936. Kroniek set Zuider-En Oosterafdeeling Van Borneo. Drukkerij: Lim Heat Sing. Bandjarmasin.
  • J Thomas Lindblad, 2012. Antara Dayak dan Belanda Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880-1942. Malang: Lilin, Jakarta: KITLV-Jakarta.
  • Sambas Wirakusumah dkk, 1978. Sejarah Daerah Kalimantan Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Jakarta.
  • Tempo, 2018. Kopi: Aroma, Rasa, Cerita.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar