Humaniora

Kisah Manis Sepasang Kekasih di Balik Pentol Bakar Gratis Asal Nginggris di Jalan Pramuka

person access_time 3 years ago
Kisah Manis Sepasang Kekasih di Balik Pentol Bakar Gratis Asal Nginggris di Jalan Pramuka

Rini, Karim, dan lapak pentol gratis mereka di Jalan Pramuka, Samarinda (foto: samuel gading/kaltimkece.id)

Sejoli ini kuliah di Universitas Mulawarman. Mereka menggratiskan pentol bakar kepada sesiapa yang bisa berbahasa Inggris.

Ditulis Oleh: Samuel Gading
Rabu, 03 Februari 2021

kaltimkece.id Kepulan asap dari panggangan menyeruak di kampung mahasiswa, Jalan Pramuka, Samarinda, yang sedang padat-padatnya dilintasi kendaraan. Dari gerobak kecil berwarna cokelat berpayung pelangi, Nur Aini, 23 tahun, sibuk menjaga arang di dalam panggangan agar terus membara. Sebentar lagi, pentol daging yang ia bakar akan matang dengan sempurna.

Selasa, 2 Februari 2021, Nur Aini bersama kekasihnya, Abdullah Karim, 29 tahun, sedang melayani pembeli. Seorang ibu bersama anak laki-lakinya memesan pentol bakar di lapak kaki lima, depan Gang I Pramuka. Sembari menanti sajian selesai dikemas, pembeli perempuan tadi bercakap-cakap dengan Karim. Mereka berbicara dalam bahasa Inggris.

Akan tetapi, pembeli perempuan tersebut berbicara dengan kaku dan patah-patah. Ia menanyakan kebenaran tulisan "Gratis Bagi yang Jago Berbahasa Inggris" yang terpampang di depan gerobak.

"Ya, betul, Bu. Ibu bisa dapat pentol gratis kalau bisa ngobrol berbahasa Inggris dengan saya," jawab Karim, masih dalam bahasa Inggris. Mendengar penjelasan itu, ibu tadi memanggil putranya. Anaknya itu cukup fasih berbahasa Inggris. Setelah bertukar dua tiga kalimat dengan Karim, pentol pun digratiskan. Ibu dan anak tadi pulang dengan semringah.

Karim adalah pemuda dari Jawa Tengah. Sepuluh tahun silam, ia masuk Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Karim memilih berwiraswasta untuk membantu orangtuanya. Adapun kekasihnya, Rini --panggilan pendek Nur Aini-- adalah mahasiswi Fakultas Teknik Informatika, Unmul.

Pasangan ini mulai membuka usaha pada 2017. Karim pada mulanya mendirikan Pare International Languages Course (ILC), sebuah lembaga kursus bahasa Inggris di Jalan Pramuka 3 Nomor 100. Setahun kemudian, mereka membuka warung makan di Jalan Pramuka 3 sebelum berjualan pentol bakar pada 2019.

Dalam sehari, setidaknya dua sampai tiga orang akan beradu bahasa Inggris di depan gerobak pentol. Jumlah pentol yang digratiskan tak menentu saban hari. "Pernah ada yang pesan 5-10 tusuk tapi tetap bayar walaupun fasih berbahasa Inggris, kok,” tutur Karim ketika ditemui reporter kaltimkece.id di tempat ia berjualan.

Rini dan Karim mengatakan, pentol cuma-cuma ini karena ikhtiar semata. Sejoli ini ingin menciptakan atmosfer berbahasa Inggris di Kota Tepian. Mereka hendak menciptakan Kampung Inggris atau English Village di Samarinda.

“Dimulai dari orang-orang di sekitar sini. Banyak yang sudah berani menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari," kata Karim bersemangat.

"Kami memang sengaja posting (pentol gratis di grup Facebook). Waktu itu, Mas Karim yang memfoto. Sama sekali saya tidak menyangka seviral itu," imbuh Rini. Perempuan berkerudung itu berkata, seluruh usaha adalah ide Karim.

Adapun barang dagangan yang tidak gratis, Karim menambahkan, bisa menjual 500 tusuk pentol dalam sehari sebelum pandemi. Namun sekarang, seiring banyaknya mahasiswa yang kuliah dari rumah, paling banter 250 sampai 350 tusuk.

Berawal dari Kampung Inggris

Sepuluh tahun lampau, Karim adalah remaja berusia 17 tahun. Ia baru saja lulus SMA di Brebes, Jawa Tengah. Karim punya cita-cita bisa kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara atau STAN di Jakarta. Akan tetapi, ada satu persyaratan yang baginya sungguh berat. Bahasa Inggris.

Tekad Karim sudah menggebu untuk masuk STAN pada 2011. Dia memberanikan diri merantau ke Kampung Inggris di Desa Singgahan dan Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur. Sebanyak Rp 3 juta Karim bawa untuk belajar dan hidup di sana.

Kenyataan seringkali tak sesuai harapan. Belajar bahasa asing rupanya sesuatu yang sukar bagi Karim. Masalah sebenarnya bukan pada bahasa Inggris. Karim sulit mengikuti pelajaran lantaran ia tidak cakap berbahasa Indonesia. Karim hanya fasih berbahasa Jawa.

"Pada saat perkenalan saja, saya memakai Bahasa Jawa. Waktu itu, ora iso ngomong Inggris blas (tidak bisa Bahasa Inggris sama sekali)," kenangnya lantas tertawa.

Gara-gara tidak bisa berbahasa Indonesia, apalagi Inggris, Karim sering diolok-olok. Dua pekan pertama belajar di Kampung Inggris, ia kerap dihukum pengajar. Karim sempat patah arang dan ingin pulang. Tapi pikiran itu ia buang. Dia lantas mengubah cara belajarnya. Setiap kali pengajar memberinya lima kosakata baru dalam bahasa Inggris, Karim menambah porsi menjadi 50 kosakata.

"Singkat cerita, hanya dalam dua bulan, saya ranking pertama di situ,” tuturnya.

Baca juga:
 

Nasib membawa Karim ke Kaltim. Ia diterima di Universitas Mulawarman, bukan STAN. Karim pun merantau tanpa seorang pun yang ia kenal di tempat tujuan. Karim yang berasal dari keluarga kurang berpunya lantas memilih membuka usaha sambil kuliah. Hasilnya untuk tambahan uang kuliah dan biaya hidup. Lewat kemampuan bahasa Inggris tadi beserta modal Rp 500 ribu, Karim mendirikan lembaga kursus.

Tempat kursus bahasa Inggris itu berkembang pesat. Dalam sehari, rata-rata sembilan anak mendaftar. Jasa kursus di situ memang murah, hanya Rp 300 ribu untuk kelas dasar berbahasa. Sebelum pandemi menerjang, Karim mengaku sempat punya 150 murid. Paling banyak adalah murid sekolah dasar dari wilayah Sempaja Selatan.

Cinta di Bubuhan Samarinda

Rini punya kisah yang sama dengan kekasihnya. Ia adalah mahasiswi yang berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Perempuan muda ini juga bukan dari keluarga berada. Ketika tiba di Samarinda, Rini pertama kali mencari indekos. Di sinilah permulaan pertemuannya dengan Karim. Rini mencari kamar sewa dari grup Facebook Bubuhan Samarinda. Dia tertarik dengan satu unggahan yang menawarkan tempat tinggal.

“Ternyata, yang mem-posting itu Mas Karim," ucap Rini sedikit malu-malu.

Dari bertukar cerita, keduanya sadar punya banyak kesamaan. Jadilah mereka terpanah asmara. Karim dan Rini akhirnya berjuang bersama-sama. Mereka mencari biaya kuliah dengan membuka usaha. Setelah lembaga kursus berkembang pesat, Rini dan Karim mengembangkan sayap bisnis. Warung makan dan lapak pentol mereka buka.

"Alhamdulillah, dari usaha bersama Rini, warung makan dan pentol bisa dapat Rp 17 juta sebulan," tutur Karim.

Cinta memang bisa berakhir pahit, bisa pula manis. Sesungguhnya, semua bergantung kepada mereka yang menjalaninya. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar