Pariwara Mahakam Ulu

Jalan Berliku Bupati Bonifasius Menimba Ilmu, Sempat DO Karena tak Punya Biaya, Lanjut S2 di Usia Kepala Lima

person access_time 2 years ago
Jalan Berliku Bupati Bonifasius Menimba Ilmu, Sempat DO Karena tak Punya Biaya, Lanjut S2 di Usia Kepala Lima

Bupati Mahulu, Bonifasius Belawan Geh memberi pengarahan kepada mahasiswa penerima beasiswa GCM. kaltimkece.id (Nalendro Priambodo)

Getirnya pengalaman masa muda melecut semangat Bupati Bonifasius mencetuskan program melahirkan generasi cerdas Mahulu. 

 

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Sabtu, 09 Oktober 2021

kaltimkece.id Sampan kecil tak bermesin membawa Bonifasius Belawan Geh menyusuri Sungai Mahakam yang kelihatan tenang. Di langit timur, matahari masih mengintip malu-malu ketika Boni mengikuti arus sungai ke hilir untuk menuju sekolah. Dorongan air cukup membantunya menghemat tenaga. Hanya sekali-dua kali, tangannya pelan-pelan mengayuh dayung.

Suatu pagi pada 1974, Boni, panggilan pendek Bonifasius, akhirnya tiba di SD 017 Mamahak Besar, Kecamatan Long Bagun. Usianya baru 8 tahun dan Long Bagun masih bagian dari Kecamatan Long Iram di bawah Kabupaten Kutai. Hampir setiap pagi, Boni dan beberapa teman-temannya mendayung dari kebun orangtua menuju sekolah. Jika air Mahakam pasang begitu tinggi hingga banjir, mereka harus berjalan kaki.

"Kira-kira 6 kilometer dari kebun ke sekolah," terang Bonifasius kepada kaltimkece.id . Bonifasius sekarang menjadi orang nomor satu di Kabupaten Mahakam Ulu.

Murid SD Mamahak Besar seperti Boni baru merasakan kelelahan luar biasa ketika pulang. Mereka mudik melawan arus untuk sampai di kebun. Sepulang sekolah, Boni biasanya membantu orang tuanya yang menanam padi, rotan, dan pohon buah-buahan.

Berasal dari keluarga petani berpenghasilan pas-pasan, Boni ingin sekali mengubah nasib. Pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk membawa kehidupan yang lebih baik, begitu kata orang tuanya. Begitu lulus SD pada 1980, Boni segera melanjutkan sekolah di Tering, kini kecamatan di Kutai Barat. Lelaki kelahiran Mamahak Besar, 17 September 1966, itu mendaftar di sekolah Katolik SMP WR Supratman kemudian tinggal di asrama.

Boni tetap bertekad melanjutkan sekolah setelah lulus SMP pada 1983. Dia menuju Samarinda untuk mengenyam pendidikan di SMK Cendana. Begitu menuntaskan pendidikan di sekolah keguruan tersebut, Boni sempat masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mulawarman, Samarinda.

“Saya ingin fasih berbahasa Inggris supaya bisa kerja dengan orang bule. Karena gajinya lumayan besar,” kenang Boni menceritakan impian masa remajanya ketika membekali dan memberi pengarahan ratusan mahasiswa penerima beasiswa Gerbang Cerdas Mahulu, Jumat, 8 Agustus 2021. 

Semangat Boni mengecap pendidikan setinggi-tingginya tak pernah pudar sampai sebuah berita diterima. Ketika sibuk kuliah pada 1988, ibunya di Mamahak Besar sakit keras. Boni harus pulang. Melalui pelabuhan di Sungai Kunjang, Samarinda, Boni naik kapal penumpang selama tiga malam. Kuliah Boni akhirnya terhenti. Selain harus merawat ibunya, perlu waktu panjang untuk perjalanan bolak-balik Samarinda-Mamahak Besar. 

“Bapak saya bilang, kamu tidak bisa kembali (kuliah) lagi. Bapak sudah tidak punya uang lagi,” sambung Boni dengan nada tercekat. “Zaman saya susah, tidak ada beasiswa,” sambungnya. 

Lanjut Kuliah

Boni akhirnya memutuskan bekerja dengan modal ijazah SMK. Dia diterima sebagai kepala tata usaha di PT Hutan Tanjung Pura, sebuah perusahaan kayu di Long Bagun. Gaji yang diterimanya Rp 300 ribu per bulan. Ketika berhenti dari perusahaan setelah dua tahun bekerja atau pada 1991, tabungannya sekitar Rp 900 ribu. Sebesar Rp 400 ribu diberikan kepada orang tua, sisanya dipakai sebagai modal mencari sarang walet.

Dengan Rp 500 ribu di tangan, Boni berburu sarang burung di hutan Long Bagun. Boni juga biasa membeli sarang burung dari pemburu lain yang ditemuinya di perjalanan. Setelah seminggu keluar-masuk belantara Borneo, Boni biasa menjual sarang burung kepada seseorang bernama Haji Abas. Dia memperoleh keuntungan Rp 500 ribu setiap kali transaksi. Jumlah tersebut lumayan besar karena saat itu Indonesia belum melewati krisis moneter. Uang sebesar Rp 500 ribu pada 1990-an kira-kira setara Rp 2,5 juta sekarang.

Dalam waktu singkat, Boni sudah menabung Rp 3 juta. Menyadari keuntungan yang besar dari jual-beli sarang walet, dia berpikir untuk mendalami bisnis tersebut. Boni lalu memberanikan diri menyewa sebuah gua pada 1993 selama setahun. Hasilnya bagus. Sarang walet yang dihasilkan gua itu berkualitas super dan dihargai tinggi. Dia akhirnya membeli gua di daerah Batu Ayau seharga Rp 30 juta. Dari gua itu, Boni bisa mengumpulkan 115 kilogram sarang walet setiap kali panen.

Belajar dari bawah, pria berkulit putih itu semakin terbiasa berbisnis. Selain sarang walet, Boni mencoba peruntungan di bisnis kayu yang sedang meledak di Kaltim. Dia memulai kerja sama dengan perusahaan dari Tiongkok untuk pengelolaan kayu bulat. Sampai pada 1999, Boni mengurus izin pengelolaan hutan. Perusahaan kayu yang didirikannya kian berkembang setelah menerima Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, IUPHHK, seluas 13 ribu hektare di Kutai Kartanegara.

Boni terus meluaskan bisnisnya hingga ke Samarinda. Pertambangan batu bara yang masif di Kaltim memberi celah bisnis. Tiga unit kendaraan dibeli perusahaan Boni yang bergerak di bidang jasa alat berat. Pada 2005, Boni, seorang anak petani miskin dari Mamahak Besar, telah dikenal sebagai pengusaha besar di Kaltim.

Meski pun sudah mulai berkecukupan materi, suami dari Yovita Bulan ini tetap menaruh perhatian di bidang pendidikan. Di tahun 2006, Boni kembali berkuliah di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Samarinda. Tiga tahun delapan bulan kemudian, persisnya di 2010, Boni berhasil lulus. Ia pun menyandang gelar Sarjana Hukum. 

Sejurus itu, nama Bonifasius mulai banyak diperbincangkan termasuk para tokoh masyarakat hulu Mahakam. Pada awal 2012, sejumlah elemen masyarakat tengah berjuang memekarkan hulu Mahakam yang masih masuk wilayah administrasi Kutai Barat.

Boni dihubungi presidium pembentukan Kabupaten Mahakam Ulu. Sebagai pengusaha, lelaki yang menikah dengan Yovita Bulan itu memiliki banyak kenalan yang dapat membantu perjuangan masyarakat Mahulu di pusat. Boni yang lahir, besar, dan memulai bisnis di Mahulu, tak berpikir dua kali untuk memutuskan ikut berjuang.

Selama empat bulan pada awal 2012, dia menghubungi sejumlah kenalannya yang bisa berkomunikasi dengan Komisi II DPR RI, komisi yang membahas pembentukan daerah otonomi baru. Sampai akhirnya, Komisi II DPR yang diketuai Markus Nari menyetujui pembentukan Kabupaten Mahulu dan resmi disahkan di sidang paripurna pada 14 Desember 2012.

Begitu kabupaten termuda di Kaltim terbentuk, sejumlah tokoh kembali menghubunginya. Mereka meminta Boni tidak meninggalkan kabupaten yang baru lahir itu. Boni yang terpanggil untuk mengabdi di kampung halaman segera memutuskan terjun ke dunia politik. Dia menemui teman lamanya di Samarinda bernama Ipong Muchlissoni, ketua DPD Partai Gerindra Kaltim. Ipong, kini bupati Ponorogo, Jawa Timur, meminta Boni memimpin partai berlambang kepala burung garuda itu di tingkat kabupaten.

Selajur dengan itu, Boni terpilih sebagai anggota DPRD dalam Pemilihan Umum 2014. Waktu itu, DPRD Mahulu masih bergabung dengan Kutai Barat. Di kabupaten induk, Boni duduk sebagai wakil ketua DPRD Kutai Barat. Ketika DPRD Mahulu berdiri, Boni yang memenangkan Gerindra di Mahulu dipercaya menjadi ketua DPRD.

Dalam aturan Partai Gerindra, ketua partai atau ketua DPRD di daerah yang memenangi pemilu wajib maju dalam pemilihan kepala daerah. Boni lantas berpasangan dengan politikus senior dari PDI Perjuangan, Juan Jenau, dan bertarung di pilkada pertama Mahulu. Pasangan itu menang pada Pilkada Serentak 2015. Boni dilantik sebagai bupati definitif pertama di Mahulu oleh Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak pada 17 Februari 2016.

Motivasi untuk Generasi Muda

Pada pilkada kali kedua di Mahulu tahun 2019, Bonifasius kembali terpilih sebagai bupati bersama pasangan barunya Yohanes Avun. Di tengah-tengah kesibukannya memimpin kabupaten termuda di Benua Etam ini, bapak lima anak ini rupanya masih menyempatkan melanjutkan studi S2. Tepatnya, 27 September 2021, Bonifasius berhasil lulus Magister Ekonomi dari Universitas Mulawarman dengan predikat sangat memuaskan. Sebuah kado manis memperingati perayaan hari ulang tahunnya ke 55 pada 17 September lalu. 

Beragam foto dan video momen-momen kala Boni diwisuda S2 ditayangkan panitia kepada ratusan mahasiswa dan orang tua yang ikut dalam pengarahan bagi penerima beasiswa Gerbang Cerdas Mahulu. Bonifasius menyampaikan, apa yang ditampilkan bukan untuk pamer. Namun lebih untuk memotivasi para mahasiswa Mahulu agar lebih giat belajar. Generasi muda tidak boleh kalah dengan dirinya yang sudah berusia kepala lima. 

“Saya susah payah kuliah sampai diwisuda S2. Apa gunanya buat saya, ini hanya untuk memberi semangat pada kalian. Orang tua bangka seperti saya saja masih mau berkuliah,” ucap Bonifasius dengan tangan mengepal mengayun ke depan disambut tepuk tangan. 

Keyakinan bawah pendidikan adalah gerbang mengubah peradaban di kabupaten berjuluk Urip Kerimaan masih ia pegang. Karena itu program beasiswa Gerbang Cerdas Mahulu (GCM) selalu digulirkan sepanjang dua periode masa jabatannya sebagai bupati. 

Lewat program ini, putra-putri terbaik Mahulu diberi kesempatan berkuliah ke berbagai universitas dan sekolah tinggi ternama di berbagai penjuru nusantara. Para mahasiswa dan orang tua tak perlu khawatir biaya. Biaya kuliah sampai uang saku ditanggung Pemkab Mahulu. Boni tak ingin, generasi muda Mahulu merasakan getirnya pengalaman masa mudanya putus sekolah karena tak punya biaya. 

“Zaman saya susah. Beasiswa tidak ada. Harapan saya, adik-adik jangan mengalami hal demikian (putus kuliah) seperti saya,” tutup Bonifasius disambut tepuk tangan. (*)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar