PARIWARA

Pelajar Kaltim di 57 Juta Bibit Pelaku Industri Perfilman Tanah Air

person access_time 5 years ago
Pelajar Kaltim di 57 Juta Bibit Pelaku Industri Perfilman Tanah Air

Foto: Fachrizal Muliawan (kaltimkece.id)

Ketika kekuatan sumber daya alam tak lagi bisa diandalkan, sektor yang satu ini bisa membuka peluang baru.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Jum'at, 12 April 2019

kaltimkece.id Kaltim masih bergantung industri berbasis sumber daya alam. Bila terus demikian, pada masa akan datang Bumi Etam bisa kehilangan tumpuan ekonomi. Industri potensial yang mesti dilirik adalah sektor kreatif. Salah satu di antaranya dunia perfilman.

Melihat hal tersebut, Komisi X DPR RI bersama Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menggelar diskusi nonton bareng film bersama milenial. Berlangsung Kamis, 11 April 2019. Tema dalam acara yang dihelat di Ballroom Aston Samarinda Hotel & Convention Center tersebut adalah Milenial dalam Arus Perfilman Indonesia.

Komisi X DPR RI diwakili wakil ketua Hetifah Sjaifudian. Sementara Pusbang Film diwakili Kepala Bidang Apresiasi, Tenaga Perfilman, dan Arsip Film M Sanggupri. Diskusi juga diisi sineas asal Kutai Kartanegara David Richard dan Madi Rachmad. Keduanya beberapa kali bekerja sama dalam proyek film lokal. Terbaru, film berjudul Ranam, sebuah fiksi yang mengambil lokasi di Muara Muntai, Kutai Kartanegara.

Dalam kesempatantersebut, Hetifah merasa diskusi sedikit mengobati dahaga anak muda Kaltim soal dunia kreatif. “Dalam beberapa pertemuan dengan anak muda, saya lihat Kaltim punya potensi sineas-sineas muda,” ujarnya.

Baca juga:
 

Dari sisi ide, anak muda Kaltim tak kalah dengan Jakarta. Rangkulan pemerintah saja yang belum maksimal. Padahal, tiga tahun terakhir, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membentuk Pusbang Film untuk menarik minat anak muda Indonesia ke dunia perfilman.

“Bahkan Pusbang Film punya beberapa program untuk fasilitas dan dukungan pengembangan sumber daya manusia,” ujarnya. Mulai workshop, dukungan mengikuti festival film di dunia, bahkan membuat festival film. Oleh karena itu, event tersebut, menurut Hetifah, bisa menjadi ajang temu kenal anak muda Kaltim dengan pemerintah pusat. “Agar anak muda tahu pemerintah punya program, pemerintah tahu Kaltim punya potensi,” terangnya.

Dari kacamata Hetifah, film memiliki banyak efek domino. Tak hanya hiburan, juga bisa menjadi sumber literasi, dokumenter sejarah, bahkan promosi sebuah daerah. “Makanya saya harap ada sineas Kaltim menelurkan karya-karya berkualitas,” ujarnya.

Sanggupri mengungkapkan saat ini Pusbang Film sedang giat-giatnya menumbuhkan bibit sineas muda. Ada 57 juta pelajar masuk dalam potensi itu. Nah, para pelajar tersebut menjadi wadah penyemaian bibit-bibit dalam industri perfilman. “Enggak hanya sebagai sineas dan kru pembuatan film. Para pelajar tersebut kelak akan menjadi penonton,” ujarnya.

Jangan salah, peran penonton dalam industri ini juga penting. Terutama untuk menumbuhkan perfilman nasional.

Film Indonesia vs Hollywood

Perfilman Indonesia punya sejarah panjang. Bahkan pada era 80-an, film Indonesia berhasil jadi tuan rumah di negeri sendiri. Nyaris seluruh bioskop lokal dihiasi film-film dalam negeri.

Empat tahun terakhir, penonton film di Indonesia terus tumbuh. Pada 2015 tercatat 16,2 juta penonton. Naik berkali lipat pada 2018 dengan 52 juta penonton. Meski terus naik, film Indonesia nyatanya belum bisa kembali bertakhta. Sebagai gambaran, film Dilan 1990 dengan 6,3 juta penonton, belum bisa mengalahkan Avengers: Infinity War yang menarik 20 juta penonton Indonesia.

Tapi jangan salah. David Richard dan Madi Rachmad menyebut bahwa film Indonesia justru lebih sulit dalam proses pembuatan. Industri film Hollywood lebih menekankan teknologi computer generated imagenary atau CGI. Praktis, lebih banyak teknologi studio digunakan. “Sedangkan Indonesia lebih ke pengambilan gambar di lokasi sesungguhnya,” ujar David.

Pengambilan gambar di lokasi sebenarnya, memberi jalur promosi daerah tempat syuting dilakukan. “Sejauh ini beberapa lokasi pengambilan gambar untuk film Indonesia menjadi obyek wisata,” ujarnya. Dua film di antaranya adalah Laskar Pelangi dan 5cm.

Film Pembawa Pesan Positif

Diskusi Kamis sore itu diakhiri pemutaran film Keluarga Cemara. Film garapan sutradara Yandy Laurens tersebut berhasil menutup acara dengan manis. Pemilihan film pun dilakukan cukup demokratis. Sebelumnya panitia melempar tiga judul film ke media sosial. Calon peserta diminta melakukan voting untuk film Kartini, WR Soepratman, dan Keluarga Cemara. “Dan yang pilihan tertinggi adalah Keluarga Cemara,” ujar Hetifah.

Hetifah menduga film tersebut banyak dipilih lantaran masih cukup baru. Namun, pesan yang dibawa cukup padat. Relevan dengan kehidupan masa kini. “Apalagi pada era digital seperti sekarang, nilai-nilai dalam keluarga mulai pudar.”

Dia melihat, orang-orang fokus membangun jaringan pertemanan dan pergaulan. Padahal jaringan pertemanan tidak abadi. Ujung-ujungnya, kenyamanan ada di lingkup keluaga. “Teman datang dan pergi, keluarga tempat kembali,” kuncinya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar