Kesehatan

Bunuh Diri karena Dugaan Skripsi, Fenomena yang Mesti Disadari, Orang Terdekat Bisa Jadi Penyelamat

person access_time 4 years ago
Bunuh Diri karena Dugaan Skripsi, Fenomena yang Mesti Disadari, Orang Terdekat Bisa Jadi Penyelamat

Ilustrasi mencegah tindakan bunuh diri (foto: ilustrasi)

Seorang mahasiswa bunuh diri diduga karena masalah skripsi. Fenomena seperti ini bukan satu-dua kali terjadi.

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Selasa, 14 Juli 2020

kaltimkece.id Keheranan yang berlipat-lipat menerjang pikiran Rd setelah mengamati kamera pengawas rumah melalui telepon genggam. Lelaki berusia 41 tahun yang bekerja di Bontang ini melihat gelagat adik angkatnya, Bima --nama rekaan belaka--, yang tidak biasa di Samarinda. Sudah seharian itu, Jumat, 10 Juli 2020, Bima hanya mondar-mandir seperti seorang yang kosong pikirannya. 

Keesokan harinya, Sabtu, 11 Juli 2020, kamera pengawas tidak lagi menangkap aktivitas apapun. Rd makin gundah hingga akhirnya memutuskan pulang ke Samarinda pada tengah hari. Tiga jam melewati perjalanan, ia pun tiba di depan rumahnya di Kecamatan Sungai Pinang. Rumah itu memang Rd titipkan kepada adik angkatnya yang sedang kuliah di Samarinda. 

Sekali pintu diketuk, tidak ada jawaban. Dua sampai tiga kali panggilan pun sama saja. Rd akhirnya mengintip dari celah kecil di pintu samping rumah. Petir bak menyambarnya pada sore bolong. Ia melihat tubuh adiknya yang sudah tak bernyawa di dapur. Rd lekas-lekas memanggil warga sekitar dan ketua RT. Mereka bersama-sama membuka pintu menggunakan kunci serep. Peristiwa yang diduga bunuh diri itu lantas dilaporkan kepada pihak berwajib. Dari hasil visum RSUD AW Sjahranie, korban diperkirakan telah meninggal delapan jam sebelumnya. 

Di muka petugas Kepolisian Sektor Kota Sungai Pinang, Rd memberikan penjelasan. Adik angkatnya adalah mahasiswa rantau yang kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Mulawarman. Tahun ini, Bima sudah memasuki semester 14 menuju semester 15. Hanya dalam hitungan bulan, mahasiswa itu dijatuhi sanksi drop out karena tak kunjung menyelesaikan kuliah. Masalah itulah yang sering Bima sampaikan kepada kakak angkatnya. 

Sebagai mahasiswa angkatan 2013, masa studi Bima semestinya berakhir pada 30 Juni 2020. Namun demikian, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi memberi perpanjangan masa studi. Melalui edaran Rektor Unmul Nomor 911/2020, tenggat studi mahasiswa angkatan 2013 diperpanjang sampai 31 Desember 2020 karena pandemi Covid-19. 

Bima bukannya berpangku tangan belaka. Ia telah melewati seminar proposal pada Juni 2020 silam. Tema skripsi yang ia ajukan adalah isu yang cukup populer yakni perdagangan manusia di Eropa Timur. 

Dekan FISIP Unmul, Muhammad Noor, menyampaikan bela sungkawa atas peristiwa tersebut. Fakultas, katanya, sangat berharap Bima menyelesaikan studi. Dekan tak ingin berasumsi mengenai penyebab mahasiswa tersebut mengakhiri hidup. Yang jelas, sambungnya, kampus terus menggali informasi mengenai peristiwa ini. 

Fenomena Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa

Semakin tinggi stres akademis, ide untuk bunuh diri kian besar. Demikian kesimpulan penelitian Kartika Catharina Ayudanto bertitel Hubungan Antara Stres Akademis dan Ide Bunuh Diri Pada Mahasiswa (2018). 

Kecenderungan ini justru berkembang di negara-negara dengan reputasi pendidikan yang baik. Korea Selatan dengan kualitas pendidikan teratas di Asia adalah negara terbawah dalam hal kepuasan hidup anak-anak. Di Jepang, tingkat bunuh diri di kalangan pelajar juga dilaporkan tinggi. Sedangkan di Amerika Serikat, bunuh diri adalah penyebab kematian ketiga terbanyak di antara pemuda berusia 15-24 tahun. Pelbagai riset menyimpulkan, kasus bunuh diri pada pelajar dan mahasiswa ini memuncak pada masa ujian (hlm 3 dan 55). 

Fenomena ini juga ditemukan di Indonesia, negara di posisi ke-159 dunia dengan angka bunuh diri tertinggi menurut organisasi kesehatan dunia, WHO. Dalam tesis Benny Prawira Siauw, pakar kajian bunuh diri (suicidolog), sebanyak 34,5 persen mahasiswa Jakarta punya ide untuk bunuh diri. Hasil tersebut ditemukan dari 284 responden di sejumlah universitas swasta dan negeri di Jakarta. Satu dari tiga responden mengaku kepada Benny memiliki kecenderungan pemikiran bunuh diri.

Yang pasti, faktor pendorong pemikiran bunuh diri tidak pernah tunggal. Prestasi akademik yang melorot sebenarnya tidak cukup untuk membuat seseorang berpikir mengakhiri hidup. Ada faktor-faktor lain yang ikut mendorong pemikiran tersebut. Satu di antaranya adalah kondisi mahasiswa tersebut. 

Dalam sebuah penelitian di Universitas Airlangga, Surabaya, mahasiswa rantau disebut lebih rentan memiliki kecenderungan ide bunuh diri daripada mahasiswa yang tinggal bersama orangtua. Di antara mahasiswa rantau ini, mereka yang tinggal sendiri dan tidak aktif di kegiatan ekstrakurikuler kampus, memiliki kecenderungan lebih tinggi dibanding mahasiswa rantau yang tinggal di asrama dan aktif di organisasi. 

“Penyesuaian diri sangat penting bagi mahasiswa rantau. Ketika penyesuaian diri ini gagal, muncul perilaku mala-adaptif maupun masalah psikologis yang lain. Salah satunya adalah tindakan bunuh diri,” demikian yang tertulis dalam riset bertajuk Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Ide Bunuh Diri Pada Mahasiswa Rantau Semester Tujuh Fakultas Psikologi Airlangga (2019, hlm 3-4). 

Menurut kajian sosiologis yang lain, ada dua faktor bunuh diri di kalangan pemuda. Yang pertama adalah lemahnya integrasi sosial seperti masalah asmara, tugas akhir, atau persoalan keuangan. Faktor yang kedua adalah fenomena copycat atau peniruan seakan-akan bunuh diri adalah perbuatan yang sedang tren. Itu alasannya, media amat berhati-hati dalam memberitakan peristiwa bunuh diri. 

Dalam masalah tugas akhir, ide bunuh diri biasanya muncul ketika pengerjaan skripsi terkatung-katung sementara tenggat waktu kuliah semakin dekat. Tekanan dapat bertambah ketika keluarga dan teman-teman memiliki ekspektasi yang sangat tinggi kepada mahasiswa yang bersangkutan untuk segera lulus. Belum lagi jika kondisi itu ditambah perisakan (bullying) yang tidak disengaja seperti menyinggung tugas akhir yang belum juga berakhir. Tekanan sedemikian disebut menimbulkan depresi yang bisa bermuara kepada pemikiran bunuh diri.

Pengetahuan akan temuan dan hipotesis di atas sangat berguna untuk mencegah seseorang maupun diri sendiri mengakhiri hidup. Yang pertama adalah mengenal dan mengelola stres akademis dengan benar. Lewat cara ini, setiap mahasiswa dapat mencegah pemikiran bunuh diri sejak dini. 

Langkah yang kedua adalah tidak menganggap remeh ketika seorang teman atau kerabat mencurahkan isi hati mengenai keinginan bunuh diri. Stigma yang masih melekat adalah ide untuk bunuh diri ditanggapi sebagai suatu gurauan, atau, setidak-tidaknya perbuatan mustahil. Padahal, kondisi mental setiap orang dalam menghadapi tekanan berbeda-beda. Ada yang tahan, sebagian lagi rentan.

Langkah terakhir mengurangi fenomena ini berada di tangan komunitas mahasiswa. Salah satu caranya adalah memberikan perhatian kolektif kepada mahasiswa rantau. Terutama bagi mahasiswa rantau yang hidup sendiri, tidak aktif di organisasi, dan mengalami kendala tugas akhir. Seringkali, pemikiran bunuh diri pupus karena perhatian orang-orang terdekat. Jika yang bersangkutan belum menunjukkan tanda-tanda lepas dari stres akademis, menghubungi psikiater atau psikolog sudah sepatutnya dilakukan. (*)

Editor: Fel GM

Catatan Redaksi: Penayangan artikel ini telah memerhatikan secara saksama Peraturan Dewan Pers Nomor 2/Peraturan-DP/III/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri. 

Jangan anggap remeh depresi. Apabila pembaca merasakan keinginan bunuh diri, atau mengetahui teman dan kerabat yang menunjukkan kecenderungan tersebut, sangat dianjurkan untuk menghubungi dan berdiskusi kepada psikiater, psikolog, serta rumah sakit dan klinik kesehatan jiwa.

Senarai Kepustakaan
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar