Kesehatan

Freddie Mercury dan Naik Turun HIV/AIDS di Kaltim

person access_time 5 years ago
Freddie Mercury dan Naik Turun HIV/AIDS di Kaltim

Foto ilustrasi: Getty Images

HIV memang menular tapi tak semasif tuberculosis dan hepatitis. Stigma buruk penderitanya tak reda-reda.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Selasa, 04 Desember 2018

kaltimkece.id Sesosok tubuh terbaring lunglai di sebuah rumah di Kensington, Inggris. Saat itu sore, 24 November 1991. Kondisinya begitu rapuh. Stamina menurun drastis.

Di samping raga lunglai tersebut, dua kucing setia menemani. Melingkar di atas tempat tidur.

Farrokh Bulsara adalah sosok tak berdaya itu. Ia begitu dikenal dengan nama panggungnya: Freddie Mercury.

Pukul 18.30 waktu setempat, dokter pribadinya, Gordon Atkinson, meninggalkan rumah. Dia datang setelah mendapat info pasiennya tak sadarkan diri. Asisten pribadi Peter "Phoebe" Freestone dan Jim Hutton, kekasih Freddie, yang memanggilnya.

Setelah Gordon pulang, Phoebe dan Jim kembali ke kamar. Tempat tidur sang vokalis flamboyan itu mulai basah. Frontman band legendaris Queen tersebut masih tak sadarkan diri.

Phoebe mengganti seprai kasur. Pada saat yang sama, Jim mengurus kekasih sejenisnya. Memakaikan baju bersih dan celana pendek. Saat itu pula Freddie mengembuskan napas terakhir.

"Saya merasakan dia mengangkat kaki kirinya untuk membantu saya. Itu hal terakhir yang dia lakukan. Saya melihat dan menyadari Freddie telah tiada," ujar Jim Hutton (Somebody to Love: Life, Death, and Legacy Freddie Mercury, 2016).

Dunia musik berduka. Salah satu vokalis terbaik yang pernah ada tutup usia.

Menginjak dini hari, kabar kematian tersiar. Beritanya muncul di mana-mana. Di seluruh koran dan televisi.

Penyebab resmi kematian Freddie adalah bronkopneumonia. Orang Indonesia awam mengenalnya dengan radang paru-paru. Namun, penyakit Freddie itu adalah komplikasi dari Human Immunodeficiency Virus atau HIV, dan Acquired Immune Deficiency Syndrome alias AIDS.

Freddie lahir di Zanzibar, sekarang wilayah Tanzania, Afrika Timur. Meninggal pada usia 45 tahun. Baru dua hari sebelumnya Freddie diumumkan terjangkit HIV.

"Saya ingin mengonfirmasi bahwa saya telah diuji HIV positif dan AIDS. Saya merasa perlu untuk menjaga informasi khusus ini untuk melindungi privasi orang sekitar saya,” sebut Freddie dalam surat pengumumannya, dibacakan Jim Beach, manajer Queen.

“Sudah saatnya teman-teman dan penggemar di seluruh dunia tahu kebenaran. Saya berharap setiap orang bisa bergabung dengan saya, dokter saya, dan semua orang di seluruh dunia memerangi penyakit mengerikan ini,” sambungnya (The Sun, Freedie is Dead, 25 November 1991).

Freddie yang dikenal dengan julukan Mr Fahrenheit, bukan satu-satunya kesohor dunia terjangkit HIV dan AIDS. Sederet artis, bahkan olahragawan, mengidap penyakit tersebut.

Pada era 90-an, HIV dan AIDS dianggap mematikan. Proses menularnya dipercaya mudah. Stigma buruk terhadap pegidapnya pun mengemuka. Orang dengan HIV dan AIDS atau ODHA kerap dianggap pendosa.

Sejak 1988, 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Peringatan ini didedikasikan sebagai kesadaran bahaya AIDS yang dipicu infeksi HIV. Peringatan ini juga bentuk dukungan kepada mereka yang terjangkit.

Kampanye demi kampanye dilakukan. Misinya adalah menghilangkan stigma buruk para pengidap HIV dan AIDS. Namun, baik era 90-an maupun 2000-an, reputasi pendosa masih melekat terhadap penderitanya. Virus tersebut termasuk menular. Prosesnya melalui hubungan seksual hingga pemakaian jarum suntik bergantian.

Masih dalam peringatan Hari AIDS Sedunia, kaltimkece.id mewawancara Hendrik, bukan nama sebenarnya. Ia salah seorang ODHA yang asal Kaltim. Kini menetap di Surabaya.

Dalam percakapan via aplikasi chatting WhatsApp, Sabtu, 1 Januari 2018, Hendrik setuju wawancara ini dimuat. Namun untuk kepentingan privasi, ia meminta kota asal maupun institusi yang berhubungan dengannya disamarkan.

Hendrik mengetahui terinfeksi HIV pada 2007. Saat itu dia masih semester enam salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Bingung bukan kepalang begitu hasil voluntary counselling and testing atau VCT diketahui. Saat itu juga ia merasa hidupnya runtuh. “Cita-cita membanggakan orangtua sirna.”

Sebelumnya, niat VCT atau konseling dan tes sukarela (KTS) jadi pikiran berbulan-bulan. Dimulai setelah berobat di sebuah klinik saat radang tenggorokan. Fokusnya teralihkan ketika hendak menebus obat. Ada banner berisi keterangan bahwa klinik tersebut melayani VCT. “Itu sekitar dua bulan sebelum saya VCT,” ujarnya.

Hendrik penasaran terjangkit atau tidak. Medio 2005 hingga 2006, ia cukup aktif berhubungan seksual. Bukan hanya dengan satu-dua perempuan. “Dan ternyata HIV positif,” kenangnya.

Hendrik akhirnya menerima keadaan. Tapi, tetap saja ada perasaan bingung. Tak ada teman ngobrol soal virus yang menjangkitinya.

Tiga bulan lebih anak kedua dari lima bersaudara itu berselancar di dunia maya. Mendalami virus yang kini menjangkit. “Yang membuat saya bingung, saya tak diberi anti-retroviral atau ARV. Itu adalah obat yang bisa meredam virus tersebut,” ujarnya.

Padahal, dari informasi yang dikumpulkan, ARV diberikan gratis. Baru kemudian dia ketahui, ARV gratis bisa didapat bila jumlah CD4 dalam tubuh di bawah 400 sel per mm3. Hendrik masih di periode awal. CD4 dalam tubuhnya belum rendah.

CD4 adalah salah satu jenis sel darah yang menjadi bagian dari sistem pertahanan tubuh. Jenis sel darah putih tersebut juga dikenal lymphocyte. Sel-sel CD4, disebut juga sel-sel T4, adalah sel-sel penolong. Sel-sel itulah yang maju pertama kali jika terdapat infeksi dalam tubuh.

Hendrik yang kebingungan memutuskan pulang. Niatan kembali ke Kaltim adalah memberitahu penyakitnya kepada orangtua.

Setelah keberanian terkumpul, 1 Januari 2008, Hendrik mengungkap keadaan kepada ayah-ibunya. “Seperti sudah saya prediksi, ibu menangis. Ayah marah besar.”

Hendrik adalah satu-satunya anak laki-laki dari lima bersaudara tersebut. Dalam latar belakang keluarganya, anak laki-laki mengemban tugas meneruskan keturunan.

Keluarga tetap menerima Hendrik. Namun dengan perlakuan beda. Dua pekan di rumah, perubahan sikap mulai terasa. “Saya disediakan alat makan sendiri, bahkan disediakan mesin cuci khusus untuk mencuci pakaian saya,” ujarnya.

Hendrik makin tak nyaman. Ia memilih kembali ke Surabaya. Di tempatnya mengenyam pendidikan, tak sedikit teman memberi dukungan. “Saya diajak ikut acara-acara yang dilaksanakan sesama ODHA,” ujarnya.

Pertengahan 2008, Hendrik mendapat ARV untuk pertama kali. Mulai tahun itu, ARV tak hanya bagi ODHA dengan CD4 di bawah 400 sel per mm3.

Sebelas tahun berlalu, ARV masih dikonsumsi. Keluarga inti telah menerima keadaan Hendrik sepenuhnya. Namun, masih ada penolakan di level keluarga besar. Hendrik memilih tetap di Surabaya.

Sebelas tahun mengidap HIV, belum ada tanda-tanda masuk fase AIDS. “Dulu stigma yang terbangun, kalau kena HIV pasti sebentar lagi meninggal. Buktinya saya sudah 11 tahun dan masih hidup,” pungkasnya.

VCT Sedini Mungkin

Data Komisi Pemberantasan AIDS atau KPA Kaltim, total orang positif HIV di provinsi ini adalah 6.844. Angka tersebut didapat sejak 1993 hingga Juli 2018. Yang sudah fase AIDS ada 1.199 orang. Sebanyak 488 jiwa di antaranya sampai tahap kematian.

Adapun kasus HIV dan AIDS di Kaltim selama tiga tahun ini didapati naik-turun. Pada 2016 ditemukan 777 pengidap. Tahun berikutnya naik jadi 1.202. Sedangkan pada 2018, penghitungan hingga Juli ditemukan 456 ODHA baru.

Menurut Sekretaris KPA Kaltim Yurnanto, naik-turunnya angka tak lain karena program pencarian kasus. Tim KPA Kaltim menyambangi kelompok masyarakat yang berisiko tinggi. Pendekatan dilakukan. Mereka yang berisiko diarahkan VCT. Dengan demikian, segala angka yang bermunculan termasuk indikator keberhasilan program.

VCT memang kunci mengetahui HIV dan AIDS. Paparan virus biasanya terdeteksi setelah tiga bulan. Masa tiga bulan dikenal dengan window periode. "Dan dalam fase HIV positif tak terlihat gejala hingga fase AIDS,” ujarnya.

ODHA dengan gejala AIDS bisa terlihat setelah satu sampai dua tahun. Bahkan, bisa saja hingga 11 tahun belum mengalami gejala seperti terjadi kepada Hendrik. “Semua tergantung daya tahan tubuh,” ujarnya.

Angka HIV positif dan penderita AIDS memang masih bergantung program penemuan kasus. Masyarakat belum sadar perlunya VCT. Meskipun, ada juga keengganan diuji karena yakin positif.

“Banyak menganggap sepele. Padahal, sudah melakukan hal-hal yang berisiko terlular HIV. Seperti hubungan seks berganti-ganti pasangan dan menggunakan jarum suntik bergantian bagi pengguna narkoba,” ujarnya.

“Kami mengajak orang berani VCT. Dengan begitu, penanganan melalui ARV bisa dilakukan sejak dini.”

ARV membantu harapan hidup lebih tinggi. ARV pada fase awal positif HIV menekan jumlah virus dalam tubuh. Bertugas sebagai pencegah replikasi virus menjadi maksimal.

HIV dan AIDS yang belum ditemukan obatnya, membuat vaksinasi berperan penting. Kerja daya tahan tubuh menjadi begitu krusial.

Baca juga:
 

Mengambil contoh Freddie Mercury, bronkopneumonia adalah penyakit yang memiliki obat. Namun, gangguan saluran pernapasan itu tak tertolong karena virus HIV sudah tak terkendali. Obat tak lagi mempan.

Di Indonesia, setiap orang positif HIV kini diberi ARV. Tak lagi harus menunggu CD4 di bawah 400 sel per mm3. Maka, pekerjaan rumah besar KPA kini mengentaskan diskriminasi bagi ODHA.

HIV memang sangat mudah menular. Namun, bila ditarik lebih dalam, penyebaran virus tersebut tergolong memiliki pola penularan paling sedikit. Tuberculosis bisa menular lewat udara. Atau hepatitis, memiliki hampir sepuluh gerbang penularan virus. “Sudah terlanjur HIV dan AIDS dikaitkan dengan penyakit pendosa,” pungkasnya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar