Kesehatan

Jamu Penguat Imunitas Menghadapi Covid-19 dan New Normal, Ramuan Istimewa dari Kaltim untuk Dunia

person access_time 4 years ago
Jamu Penguat Imunitas Menghadapi Covid-19 dan New Normal, Ramuan Istimewa dari Kaltim untuk Dunia

Pembuatan jamu di laboratorium milik Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman (foto: kaltimkece.id).

Inilah ramuan tradisional dari Kaltim. Bahan-bahannya dipasok dari tiga desa di Kutai Timur.

Ditulis Oleh: Robithoh Johan Palupi
Minggu, 05 Juli 2020

kaltimkece.id Pendingin udara bekerja keras menyejukkan ruang laboratorium ketika lima mahasiswa sibuk mencampur bahan baku jamu. Dari pojok ruangan, Profesor Esti Handayani mengawasi para mahasiswa tersebut. Profesor Esti juga sesekali memeriksa suhu ruangan agar tetap dingin. Suhu kamar yang rendah mutlak diperlukan untuk menjaga bahan-bahan jamu tetap steril.    

Ahad, 7 Juni 2020, di Ruang Meranti, Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Profesor Esti bersama mahasiswa sedang memproduksi jamu penguat imunitas (immune booster). Para mahasiswa mencampur bahan-bahan di dalam wadah plastik yang dilengkapi keran di bagian bawahnya. Pada hari itu, sebanyak 260 botol jamu selesai diproduksi. 

Profesor Esti adalah guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman, yang akrab dengan jamu sejak sebelas tahun terakhir. Temuan jamu penggemuk ikan telah membawanya menjadi guru besar termuda di Universitas Mulawarman pada 2019. Ketika virus SARS-Cov-2 merebak di Indonesia pada Februari 2020, Tim Satuan Tugas Covid-19 Universitas Mulawarman, Samarinda, bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim menunjuk Profesor Esti memimpin tim pembuatan jamu. 

“Dengan bekal keilmuan, kami mempelajari sejumlah artikel ilmiah untuk menentukan bahan-bahan jamu. Yang cukup sukar adalah menentukan komposisi yang tepat,” jelas Profesor Esti. 

Profesor Esti bersama para peneliti seperti Dr Fajar Prasetya dari Fakultas Farmasi, dan Profesor Rudianto Amirta dari Fakultas Kehutanan, akhirnya mendapat formula yang tepat. Pada pembuka Maret 2020, tim mulai bekerja. 

Proses Pembuatan Jamu

Di dalam laboratorium Fakultas Kehutanan, Profesor Esti, para peneliti, dan mahasiswa meracik jamu dari sambiloto, meniran, daun kelor, dan jahe. Meniran (Phyllanthus urinaria) adalah tanaman liar yang tumbuh di hutan tropis Asia. Tanaman ini berkhasiat mengendalikan gula darah, mencegah kanker, hingga menangkal radikal bebas. Sementara sambiloto (Andrographis paniculata), bahan jamu penguat imunitas berikutnya, juga dari hutan tropis. Sambiloto amat berkhasiat meringankan pilek, meningkatkan imunitas, serta mencegah kanker.

Komposisi jamu yang lain adalah jahe (Zingiber officinale). Rempah-rempah yang satu ini sudah dikenal dunia lewat beragam khasiat bagi tubuh manusia. Bahan terakhir adalah daun kelor (Moringa oleifera). Khasiatnya seluas daunnya, yakni penuh nutrisi dan baik untuk kesehatan organ-organ dalam. 

Seluruh bahan jamu tersebut memiliki rasa yang pahit. Supaya lebih nikmat ketika diminum, Profesor Esti menambahkan penguat rasa dari kunyit dan madu. Para peneliti memutuskan madu kelulut dari Kabupaten Paser yang paling cocok. Rasa madu ini cenderung masam dan tidak terlalu manis. Setelah seluruh bahan diolah, dicampur, dan ditambahkan penguat rasa, jadilah jamu berbentuk cairan. Para mahasiswa yang memproduksi jamu di laboratorium mengemasnya dalam botol berukuran 200 mililter. Minuman berkhasiat itu lantas dinamai NEESFARM.

Pada awalnya, jamu dibagikan di lingkungan universitas untuk menguji rasa dan khasiatnya. Rupanya, ramuan tersebut disukai. Rektor Unmul, Profesor Masjaya, segera meminta  produk ini dikembangkan. 

 
Baca juga:
 

Setelah itu, Satgas Covid-19 Unmul bersama IDI Kaltim memproduksi jamu untuk dibagikan kepada tenaga kesehatan. Jamu yang dapat meningkatkan imunitas ini dapat menjaga fisik tenaga kesehatan yang bertugas menangani pasien Covid-19 di Kaltim. 

Profesor Esti dan tim juga meminta advis dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Tak perlu waktu lama bagi BPOM mengizinkan jamu diproduksi sepanjang memakai bahan alami. Syarat yang lain, produk tersebut tidak diperjualbelikan. 

Bahan Alami dari Kaltim

“Seluruh bahan jamu penguat imunitas ini dipasok dari sejumlah tempat di Kaltim,” demikian Profesor Esti. Untuk bahan utama seperti meniran, sambiloto, daun kelor, dan jahe, diperoleh dari tiga desa di Kutai Timur. Ketiga desa tersebut ialah Desa Saka dan Desa Sempayau di Kecamatan Sangkulirang, serta Desa Batu Lepoq di Kecamatan Karangan. Sementara itu, pasokan madu kelulut diperoleh dari kerja  sama Unmul dengan Kelompok Petani Hutan (KPH) Kendilo, Kabupaten Paser.

Pasokan bahan baku jamu adalah buah dari kerja sama berbagai pihak. Mulai Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (PKTL KLHK), United Nations Development Programme (UNDP), hingga tiga pemprov di Kalimantan yaitu Kalbar, Kalteng, Kaltim. Ada pula empat pemkab yaitu Ketapang, Sintang, Kotawaringin Barat, dan Kutai Timur. 

Kerja sama tersebut terwujud dalam proyek Penguatan Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan di Kalimantan (KalFor). KalFor bertujuan mendukung program pemerintah mempertahankan hutan yang tersisa di luar kawasan hutan atau di areal pemanfaatan lain (APL). Sementara di ketiga desa, KalFor dibantu pula Kawal Borneo Community Foundation (KBCF), organisasi nirlaba yang mendampingi masyarakat di sekitar hutan Kalimantan.  

Fasilitator KBCF, Hendra, menguraikan bahwa tanaman yang memiliki khasiat di tiga desa ini telah diidentifikasi. Ada empat jenis yang dapat dikembangkan yakni daun kelor, jahe lokal, meniran, dan kunyit. Daun kelor banyak ditemukan di sekitar hutan, demikian halnya meniran yang tumbuh liar. Sementara untuk jahe lokal dan kunyit, perlu upaya budi daya oleh masyarakat.  

Bahan-bahan jamu tersebut sebenarnya sudah dimanfaatkan masyarakat selama ini. Namun demikian, masih dalam tahap rumahan, bukan untuk massal. Ketika kabar mengenai jamu penguat imunitas merebak, ketiga desa merespons dengan sangat baik. Malahan, sambung Hendra, ada desa yang ingin memproduksi jamu dan sudah menyiapkan demplot. 

“Kami berharap, produksi jamu ini memberi dampak ekonomi kepada masyarakat desa,” terang Hendra. 

Kepala Desa Batu Lepoq, Jumaah, mengamini hal tersebut. Warga selama ini enggan menanam jahe dan kunyit karena tidak tahu akan dijual ke mana. Padahal, kalau sudah ada kepastian pembeli, masyarakat siap menanam. Ketika Desa Batu Lepoq dilibatkan untuk memasok bahan baku jamu penguat imunitas, warga pun bersemangat.  

Jumaah mengatakan, berbagai tumbuhan alami di hutan Batu Lepoq memang digunakan sebagai jamu sejak nenek-moyang. Banyak tanaman yang masyarakat lokal kenal sebagai tanaman obat. Kayu deras, begitu Jumaah menyebutnya, adalah satu contoh. Masih banyak akar-akar tumbuhan yang berkhasiat yang tidak bisa ia sebutkan. 

“Kami khawatir nanti kayu itu semakin dicari dan menjadi langka,” tuturnya. 

Adapun kendala yang dihadapi masyarakat, adalah ketersediaan lahan. Selama ini, untuk mengembangkan tanaman obat, warga desa harus meminjam lahan kepada perusahaan kayu setempat. Jumaah berharap, lahan perusahaan tersebut bisa dibebaskan agar masyarakat memiliki wilayah tanam sendiri. 

Produksi Jamu Besar-Besaran 

Ketika jamu mulai diterima luas, dukungan dari Rektor Unmul terus bertambah. Lewat bantuan Rp 100 juta, jamu ini diproduksi dengan target 10 ribu botol hingga Mei 2020. Kabar mengenai jamu buatan Tim Satgas Unmul ini bahkan sampai ke perusahaan nasional, PT Air Mancur. Perusahaan tersebut segera membuat jamu serupa dengan target awal 5.000 botol. Sementara itu, CV Bio Perkasa juga ikut memasarkan madu ini. Pendekatan bisnis dimulai dengan model start up.

 
Baca juga:
 

Dekan Fakultas Kehutanan Unmul, Profesor Rudianto Amirta, mengatakan bahwa kolaborasi ini diharapkan memberi benefit bagi semua pihak. Masyarakat sudah sepatutnya menerima insentif setelah mengupayakan penyelamatan kawasan hutan dengan menanam tanaman obat tradisional. Budi daya madu, misalnya, KPH Kendilo membuktikan hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa madu kelulut mampu memberi efek ekonomi. 

“Ini baru satu komoditas. Banyak sekali manfaat turunan dari pemanfaatan hutan yang bisa diambil jika fungsi konservasi di kawasan hutan terjaga dengan baik,” terang Rudianto Amirta.

Madu dari Kalimantan yang beragam juga merangsang Fakultas Kehutanan meningkatkan intensitas riset. Fakultas bahkan berencana membangun pusat riset madu tropis. Dari beberapa kajian, setiap jenis madu memiliki keunggulan dan spesifikasi. Ada yang mampu mencegah perkembangan kanker payudara hingga kanker usus.

“Covid-19 ternyata menyadarkan kita akan potensi hutan yang belum dimaksimalkan,” kata Rudianto Amirta. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar